Cerpen Lia Nathalia: Berharap dalam Mimpi

Ruang administrasi fakultas teknik penuh, hampir sulit menemukan Pak Atang, petugas administrasi di antara kerumunan orang. Situasi semacam ini selalu berulang tiap mau ujian akhir semester. Suara-suara orang bernegosiasi, atau bertanya berseliweran. Semua menumpuk di seputar meja kerja Pak Atang.

Tak semua orang yang ada di ruangan itu ingin berurusan dengan Pak Atang, seperti halnya kami. Kami sibuk berdiskusi mengenai kemungkinan soal ujian kalkulus nanti. Mata kuliah yang bisa bikin banyak dari kami mati kutu dan mungkin harus mengulang pada semester ganjil tahun berikutnya.

Widodo membawa beberapa contoh soal lama. Ada koneksi kakak angkatan yang dia kenal. Aku dan Budi sedang berusaha memecahkan soal demi soal di hadapan kami.

“Selamat sore. Maaf kak, kalian anak semester berapa ya?” Diskusi kami terhenti. “Emang kenapa?” tanya Widodo dan Budi berbarengan.

“Yeee…ditanya malah balik nanya. Kalian anak semester berapa?” tak kalah perempuan berkulit kuning langsat itu menyelak. Dengan ogah-ogahan Budi menjawab. “Terus kenapa?”

“Ah…berarti kalian sudah lulus dong Analisa Struktur Statis I?” perempuan itu bertanya lagi. Kami hanya mengangguk.

“Kalau begitu, kalian bisa bantu aku memecahkan soal gaya pada contoh ini ya?” tanyanya sambil mengangsur coret-coretan berisi gambar dan rumus.

Kami bertiga melihat kertas itu. Aku kemudian berinisiatif menjelaskan. “O.K. Thank you ya kak. Kalian sudah menjelaskan, saya sudah paham sekarang. Oh ya, saya Mayang. Semester I. Thanks a lot,” jelasnya sambil meninggalkan kami. Bahkan dia seperti tak tertarik mengetahui nama-nama kami.

Itu satu dari lima perempuan di semester satu kata Widodo. Dan yang menyebut namanya Mayang tak pernah bergabung dengan kawan sesama jenisnya.

“Guys, yang semester atas bikin taruhan. Siapa yang bisa pacarin si Mayang yang waktu itu nanyaiin kita soal Struktur. Ikut ga kita? Gopek-an doang,” kata Budi. Dia jelaskan kenapa para senior hanya buka taruhan untuk Mayang dan bukan untuk kawan seangkatannya yang lain. Kami sepakat ikut taruhan. Budi akan sampaikan ke kakak tingkat kalau kami akan ikut serta. Untuk ukuran anak teknik, Mayang termasuk lumayan lah, karena miskinnya kaum Hawa di jurusan ini. Iseng-iseng ikutan, siapa tahu dapat Mayang, dapat duit pula. Itu motivasinya.

Halte 905

Semester berganti dan semua berjalan normal. Kesibukan bekerja sambil kuliah membuat kami semua tak terlalu merasakan waktu berlalu karena tugas kuliah tak mengenal belas kasihan, memberi ekskulisfitas buat kami.

Usai kuliah hari ini, aku bergegas ke parkiran motor. Penat sekali dan ingin segera sampai rumah. Masakan ibu sudah terbayang menanti, yang pastinya akan nikmat dinikmati usai mandi nanti.

Di rumah sambil menikmat masakan ibu, bayangan Mayang duduk di halte sendirian,  melintas di kepalaku. Besok aku berencana bawa helm cadangan, kalau bertemu Mayang, mau kutawari mengantar pulang. Siapa tahu, taruhan dari akhir semester lalu, berhasil kumenangkan. 

Ternyata tak berjalan mulus semua rencana itu. Beberapa kali kami sempat berpapasan dengan Mayang ketika ada kuliah yang kelasnya bersebelahan, tapi dia seolah menganggap kami tak ada.

“Bis, ada yang nantang tanding catur di Halte 905. Kita coba yuk kelar kuliah,” kata Budi suatu sore sebelum kuliah Mekanika Tanah mulai. Aku, Widodo dan Budi ke halte usai kuliah, mau cari tahu soal tantangan main catur. Kalau hanya main sembilan langkah, rasanya bisa kuatasi.

“Ayo kamu bisa kak, jangan bikin malu Teknik lah,” dari antara kerumunan orang di halte Mayang memberi semangat. Wah, harus menang, pikirku. Dan sukurnya memang menang. “Hebat kak, menang. Kapan-kapan ajarin dong main catur,” katanya usai aku menang tanding. Kuiyakan. Itu adalah awal Mayang mulai sering menyapa kalau berpapasan di kampus. Sekali, dua, Mayang juga sempat minta tolong dijelaskan beberapa mata kuliah. Pelan-pelan kami mulai berteman.

Sebelum semester genap kelar, aku sudah menang taruhan. Mayang jadi pacarku. Lumayan, jadi punya pacar sekalian dapat duit. Widodo dan Budi kusuruh tutup mulut soal taruhan itu, jangan sampai Mayang tahu, setidaknya selama satu bulan, sesuai perjanjian taruhan. Setelah satu bulan aman, Mayang bisa kuputuskan.

Merajut Hari

Bisma dan Mayang pacaran bukan rahasia. Satu fakultas teknik tahu. Yang mereka tak tahu, ternyata jadi pacar Mayang itu penuh derita batin. Jangan harap ada adegan mesra. Semua hanya seputar mata kuliah yang sulit dipahami, rumus-rumus, gambar teknik dan tetek bengeknya. Tak ada cerita malam mingguan, mesra-mesraan. Mayang tak mau itu. 

Waktu sebulan berlalu dan aku bukannya segera memutuskan Mayang, tapi tertantang buat mengalahkan egonya.

“Bis, ayah dan ibu kan punya kami setelah lama kosong. Kami sudah ingin sekali gendong cucu,” kata ibu saat menemaniku makan malam kali ini. “Kalau kamu belum punya pacar, ibu cariin ya. Nggak usah dipikirin soal biayanya, kamu fokus saja kuliah sambil bantu-bantu ayah,”sambungnya.

“Bu, nggak usah repot-repot cariin perempuan buatku. Aku punya pacar kok,” sambarku cepat, takut kalau-kalau ibu sudah punya beberapa kandidat dan mengeluarkan deretan foto atau video seperti di film-film atau drama Korea.

Mata ibu berbinar senang. “Wah, kok kamu nggak kenalin ke kami. Mana nomor telponnya. Ibu mau kontak dia. Siapa namanya? Kalau begini, ibu bisa segera punya cucu,” gegas ibu. “Namanya Dewi Mayangsari bu,” kataku dengan rasa bangga bisa melihat binar bahagia dia mata perempuan yang melahirkanku.

Dari Mayang kemudian aku tahu kalau ibu, ayah dan bahkan adikku Dimas tiap hari menelponnya silih ganti. Yang pasti tiap waktu makan siang, ibu dan ayah akan menelpon. Ibu juga kerap kirim makanan ke kantor Mayang.

Mayang agak keberatan dengan perlakuan ibu, ayah dan Dimas, tapi karena segan, akhirnya menerima saja telpon dari tiap anggota keluargaku.

Dengan menggunakan alasan ibu, ayah dan Dimas, Mayang sudah membolehkan aku main ke tempat tinggalnya. Dia tinggal di sebuah rumah kos perempuan sejak Pak Cokro ayahnya mengusir Mayang dari rumah karena suatu alasan yang masih belum mau diceritakan Mayang.

Mayang memang tak suka cerita soal pribadinya. Aku hanya tahu Mayang yang aku temui di kampus dan dua sahabatnya Bambang Irianto dan  Juniarto Sakti. Keberadaan dua sahabatnya ini cukup mengganggu perasaanku sebagai laki-laki. Aku selalu curiga kalau Bambang dan Sakti diam-diam suka juga dengan Mayang.

Makin hari, makin sulit buatku untuk berpisah dengan Mayang. Entah karena rasa ibaku karena dia harus tinggal sendiri atau karena desakan ibu dan ayah agar aku segera menikah, pokoknya aku makin ingin segera menikahi Mayang.

Walau tak pernah mengeluh dan tak ingin dibantu, aku paham Mayang cukup kesulitan mengatur keuangannya. Diskusi-diskusiku dengan Widodo dan Budi berakhir tanpa solusi untuk menolong Mayang.

“May, kita nikah yuk. Ibu dan ayah sudah ingin sekali punya cucu,” nekad aku utarakan keinginanku malam itu. Mayang kaget, tapi cepat bisa menguasai diri. 

“Tapi kita kan beda mas,” kata Mayang. 

“Tak masalah, kita bisa tetap menikah dengan perbedaan masing-masing,” jawabku menenangkan.

“Mas kasih tahu ibu dan ayah dulu soal perbedaan kita. Selama ini kan mereka belum tahu,” sambung Mayang. Aku berjanji akan menyampaikan pada ibu dan ayah.

Jalan Kenangan

Kalau sedang jatuh cinta memang segala sesuatu akan terasa indah, dunia serasa milik berdua dan seterusnya. Itulah yang kurasakan bersama Mayang.

Jalan kaki dari kampus ke tempat kos Mayang lebih dari 10 kilometer, kami jalani dengan riang. Apalagi saat Mayang yang menolak untuk tangannya digandeng. Rasa senang yang seperti itu, sensasinya sulit tergantikan.

Atau dari rumahku ke food court Pelangi dekat kampus Universitas Mayaka Bumikarta yang berjarak lebih dari tujuh kilometer, sering kami lakoni dengan berjalan kaki. Yang penting kualitasnya. Mayanglah cinta pertamaku.

“Bisma, selama ibu masih hidup, tak akan ibu biarkan anak-anak ibu menikah dengan orang berbeda keyakinan. Titik. Lupakan dia. Besok, ibu kenalkan dengan anak perempuan rekan bisnis ayah. Kamu juga sudah kenal kok,” tegas ibu.

Mungkin aku pengecut, tapi sejak itu aku tak bertemu Mayang lagi. Sesuai keinginan ibu, tiga bulan kemudian aku dan Putri Lestari naik pelaminan. 

“Bis, dia masih belum menikah,” bisik Widodo dan Budiarto tentang Mayang. Hatiku tercekat. Aku terlalu pengecut bahkan untuk memutuskan hubungan kasih kami bertahun-tahun lalu. 

Hari ini pun aku tak berani bertanya lebih jauh tentang keadaan Mayang. Selalu terasa perih dan sedih kalau mengingat dia. Sepanjang tahun-tahun perpisahan kami, tak sekalipun sampai detik ini aku bertemu Mayang. Dia seperti menghilang begitu saja, menguap seperti tak pernah ada sebelumnya.

Dalam mimpiku paling dalam, aku masih selalu berharap dapat bertemu Mayang. Kalau di alam nyata ini aku tak diperkenankan bertemu dengannya, setidaknya di alam mimpi sekali saja aku bisa melihat Mayang dan minta maaf karena tak berani berpihak padanya dulu.


Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *