Oleh: Lisa Adhrianti
Ramadhan adalah bulan refleksi sekaligus koreksi. Allah memberikan Ramadhan dan memaksa umatnya untuk berpuasa satu bulan penuh dengan ganjaran yang setimpal. Pahala amalan dilipatgandakan, hawa nafsu dibelenggu, penghapusan dosa dan janji kebahagiaan abadi menanti. Bagiku yang masih sering merasakan derajat keimanan yang naik turun, Ramadhan selalu menghadirkan nuansa tantangan sekaligus peluang yang menyisakan banyak pertanyaan serta kekahwatiran. Pertanyaan seperti apakah mampu untuk menghidupkan Ramadhan hingga menemui titik akhir yang memuaskan? berikut juga kekhawatiran apakah amalan Ramadhan diterima? bagaimana jika ini merupakan Ramadhan terakhir? sudah siapkah perbekalan diri untuk berpulang? semua selalu bergelayut dalam pemikiran, ditambah lagi dengan hal-hal lain yang bersifat remeh temeh yang kadang justru melalaikan seperti bagaimana bisa menyambut Idul Fitri dengan suka cita dan serba baru? bagaimana tetap bisa menuntaskan pekerjaan duniawi meski menjalani Ramadhan?.
Iman itu sungguh mahal harganya, menjaga intensitasnya untuk bisa istiqomah saja luar biasa beratnya. Jika seharusnya melalui Ramadhan dapat memberikan kesempatan untuk lebih kuat dan kencang berbenah, mengapa masih saja terbebani dengan pernak pernik yang receh dan tidak memberikan esensi ukhrowi tersebut. Padahal Rasul telah bersabda dalam hadist riwayat Tirmidzi “Celaka orang yang berjumpa dengan bulan Ramadhan kemudian keluar dari bulan tersebut namun dosa dosanya tidak diampuni oleh Allah”. Kecelakaan ini bahkan kerap tidak kita sadari karena nilai evaluasi akhir tersebut tidak diperlihatkan secara kasat mata oleh Allah dan kita pun merasa selalu aman melewati Ramadhan tanpa tangisan kerinduan.
Astaghfirullah…seharusnya lidah ini lebih kelu, dada bergetar menahan isak, malam-malam akhir semakin dihidupkan, urusan duniawi semakin disingkirkan, sedekah semakin dimampukan untuk meraih sebenar-benar cahaya bagi kehidupan fana ini, kelembutan hati dan nikmat iman kian terpatri kokoh hingga waktu berpulang kembali. Namun kabut futur acapkali semakin kencang menyelimuti, dan kemudian menghadirkan tanya apakah kita layak dimaafkan setelah berulang-ulang kali mengkhianatiNYA dengan berbagai maksiat? lalu kemudian dengan penuh iba begitu ringan melantunkan harap dalam doa “Allaahumma innaka ‘afuwwun kariim tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii”.. Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau Mencintai Pemaafan, maka maafkanlah aku”. Aaakh…Allah kok baik banget sii ya? Mendengar hambanya melafazkan doa ini saja dapat mengembalikan lagi kepercayaan dan kasih sayang tulusNYA kepada kita.
“Hayooo….ditunggu kajiannya mbak!” pesan singkat dari kolega baik itu mengejutkanku.
“Kajian apa nih?” jawabku
“Kajian tentang menjadi manusia berkualitas dengan iman dan taqwa” jawabnnya ringan.
“Waaah…saya justru lagi merasa dititik terlemah ni..” Hanya berusaha ingat saja sebagai rutinitas tapi ruhnya lagi kurang” timpalku.
“Bagus masih ingat futurnya….ada yang tidak sadar kalau sedang mengalami futur heheheh” jawannya.
“Iya betul Pak, dan mohon doa selalu agar tetap ingat”…..
“Aaminnn” pembicaraan kemudian selesai dan menyisakan perenungan-perenungan terkait andai ini adalah Ramadhan terakhirku, apa yang diinginkan?”
Jika ini adalah Ramadhan terakhirku… pasti aku ingin menjadi berkembang dengan keilmuan komunikasi sebagai latarnya yang mampu untuk dapat membangkitkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan keseharianku sebagai khalifah di muka bumi ini, menjadi pribadi berkualitas yang dapat konsisten mengimplementasikan isi kitab suci dan hadist nan agung itu sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan hakiki, mempersiapkan jejak husnul khatimah beserta warisan kebermanfaatan tiada henti untuk meraih kehormatan abadi. Ya semoga….semoga aku mampu senantiasa bersandar pada kalam Ilahi. Semoga Dia berkenan dan menghantarkan hamba-hamba terbaiknya bersamaku untuk menemani pencapaian tersebut. InsyaaAllah!
Photo by Nijwam Swargiary on Unsplash
love.. bu Dr. Lisa ❤