“Aku nggak punya ide. Ihiks!”
“Mau nulis, tapi idenya nggak ada.”
“Detlen bentar lagi, tapi belum dapet ide.”
Ada yang senasib? Kamu nggak sendiri, Gaes. Rata-rata, orang yang berkutat dengan tulis menulis pernah mengalami hal itu. Kalau nggak terikat deadline, mungkin aman-aman saja. Namun, kalau ada deadline yang harus dipenuhi, wah, alamat mumet sepanjang hari.
Konon, kabarnya, ide itu bertebaran di udara. Tinggal kita tangkap dan menjadikannya tulisan. Semudah itu mencari ide, katanya. Nyatanya? Sudah jungkir balik, sudah putar-putar keliling rumah, sudah senam sambil jemur diri, tetap saja tidak ada yang terlintas.
Jadi, harus apa? Harus gimana?
Tulisan ini adalah tulisan pertama dari tiga tulisan tentang strategi mencari ide. Sengaja dijembrengin satu-satu supaya postingan LWC full, eh, maksudnya supaya mudah dipraktikkan. Teman-teman bisa pilih cara mana yang paling gampang, atau bisa juga dicoba satu-satu.
Strategi pertama adalah mulai dari hal yang disuka.
Pernah jatuh cinta? Pasti tahu dong, seperti apa rasanya suka sama orang. Bawaannya mau cerita tentang doi ke semua orang. Kalau perlu sednuia harus tahu kalau doi itu baik, lucu, rajin menabung, suka membantu nenek-nenek menyeberang jalan, buang sampah di tempatnya, dan semua hal-hal baik lainnya. Seakan-akan, kita tidak pernah kehabisan kata dan bahan kalau cerita tentang doi.
Begitu juga sama menulis. Ya nggak harus menulis tentang doi, sih. Intinya, kita bisa mencari ide dari apa yang kita suka. Tinggal cari poin-poin yang akan ditulis, lalu eksekusi. Selanjutnya, biarkan tulisan itu mengalir dengan sendirinya.
Misalnya, kita suka musik tapi nggak suka masak. Kenapa kita nggak menulis tentang musik saja, atau hal-hal yang berhubungan dengan musik? Kita bisa buat ulasan lagu, ulasan konser, cara-cara baca not balok, review merek alat musik, banyak. Karena suka, pasti akan mudah menemukan hal untuk dibahas.
Hasilnya pasti akan beda, Gaes. Kalau kita memang suka bahasannya, kita akan tune in dan menikmati proses menulis. Nggak sebentar-sebentar beranjak dari laptop buat cari camilan, atau malah buka sosmed. Seolah-olah, kita terkunci di depan layar, dan nggak akan berpaling sampai tulisan selesai. Mirip-mirip orang jatuh cinta yang (merasa) nggak bisa pindah ke lain hati.
Apa yang kita tulis pun jadi lebih detail. Sebagaimana kita cerita tentang doi yang rajin menabung dan sebagainya tadi, tulisan kita pasti dibumbui dengan hal-hal spesifik. Nggak semua orang tahu dan paham tentang hal spesifik itu. Kita tahu karena kita memang suka. Tulisan kita pun pada akhirnya bisa bawa wawasan baru buat pembaca.
Feel-nya juga terasa beda antara orang yang menulis satu bahasan karena suka dan orang yang menulis bahasan sama tapi karena kewajiban. Yang golongan kedua itu mungkin agak mirip nikah paksa. Misalnya nih, dalam pemakaian istilah. Kita—yang memang suka—pasti bisa menaruh istilah itu dengan tepat. Sedangkan, mereka yang terpaksa dan tahu hanya dari hasil bertapa di Goa Mbah Google, istilah itu disampaikan sebatas informasi belaka.
Contoh lagi?
Setiap blog harus ada niche-nya. Niche itu apa? Niche Ardilla, yang artis ’90-an? Ibukan, dong! Niche itu semacam bahasan inti di blog kita. Misalnya nih, blogini sebagaian besar bahasannya tentang gadget. Berarti, niche-nya itu gadget atau teknologi.. Boleh saja kita buat tulisan tema pariwisata, asalkan ada hubungannya sama gadget. Contohnya, tulisan tentang kamera saku yang jago buat foto puncak Monas dari bawah. Kalau tema pariwisata yang kita tulis sebatas piknik ke Monas, blog kita ambyar!
Nah, ini masuk golongan penuh cinta atau paksaan? Mengutip kalimat khas Youtuber: sila tinggalkan jawaban di kolom komentar, Gaes.
Oke deh, belum punya ide untuk menulis? Yuk, ulik lagi kesukaan kita. Mudah-mudahan bermanfaat.
Happy writing and enjoy the challenge!
Menulis itu mudah jika yang ditulis hanya huruf A—Z
-Iecha Superpoint-
Photo by Pin Adventure Map on Unsplash
thanks alot of information mantap