Mandi Merang, Kenangan Masa Kecil dan Tradisi Menyambut Ramadan

Oleh: Denik

Ramadan. Bulan yang sangat dinantikan oleh semua umat muslim di penjuru dunia. Bulan yang penuh dengan kebarokahan. Bulan diturunkannya Al-Qur’an Nur Karim. Kitab suci umat muslim sebagai petunjuk dan pegangan hidup mereka.

Tak terkira bahagianya hati ini manakala masih diberikan kesempatan untuk menjumpai bulan Ramadan. Tentu tidak boleh disia-siakan kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Sebab tidak semua orang bisa merasakan kembali nikmatnya bulan suci Ramadan.

Ada banyak kisah yang terukir seiring bergulirnya bulan Ramadan. Suka dan duka silih

berganti mewarnai datangnya bulan Ramadan. Menggoreskan kenangan yang tak mudah

dilupakan. Terutama kenangan masa kecil.

Sebagai anak dari keluarga Jawa yang kemudian hijrah ke Jakarta, ada kisah tersendiri saat datangnya bulan Ramadan di perantauan. Seru, lucu, dan haru kala mengingatnya kembali. Bagaimana tidak? Seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, mesti beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat yang memiliki tradisi turun-temurun.

Tradisi tersebut adalah mandi merang bersama-sama di pancuran. Awalnya saya bingung dan tidak tahu harus bagaimana? Namun teman-teman dan masyarakat di lingkungan yang baru saya tinggali tersebut sangat ramah serta pengertian. Mereka mengajak dan membimbing saya tanpa menghukumi.

“Wah, Elu orang Jawa sih ya? Jadi kagak ngerti beginian. Udah ntar ngikut aje. Merangnya pake punya kite aje.”

Ajakan dengan logat Betawi yang khas. Karena saya memang tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya orang Betawi asli. Jadi tradisi masyarakat Betawi dalam menyambut bulan suci Ramadan salah satunya adalah mandi merang.

Dilansir dari halaman Wikipedia, mandi merang atau keramas merang memang salah satu tradisi masyarakat Betawi yang tujuannya untuk menyucikan diri. Tradisi itu sudah ada sejak tahun 1950-an. Awalnya mandi merang tersebut dilakukan di sungai-sungai sekitar Jakarta yang masih bersih. Seiring berjalannya waktu dan kondisi air sungai di Jakarta yang tak bersih lagi. Maka tradisi mandi merangnya tidak perlu ke sungai. Melainkan di pancuran rumah masing-masing.

Zaman saya kecil masih banyak kebun dan pekarangan yang luas. Kebanyakan dari mereka kamar mandinya masih di luar. Karena sumber airnya pun masih dari sumur. Ketika melaksanakan tradisi mandi merang, mereka berbondong-bondong menuju sumur masing-masing. Ada juga yang bergabung dengan temannya. Seperti saya yang diajak oleh tetangga. Sebab anaknya kawan sekolah.

Merang merupakan bekas tangkai padi yang mengering kemudian dibakar. Abu itulah yang kemudian direndam, selanjutnya dioleskan ke tubuh dan rambut.  Setelahnya baru dibilas dengan air biasa. Seru dan ramai suasana di pancuran tempat kami mandi merang. Apalagi buat saya yang baru pertama kalinya mengikuti tradisi mandi merang. Saya bersyukur memiliki orangtua yang terbuka dalam menerima tradisi masyarakat setempat. Sehingga tidak melarang ketika kawan-kawan mengajak serta saya untuk mandi merang.

“Sana ikut saja biar tahu,” ujar ibu saya.

Masyarakat yang melakukan tradisi tersebut beranggapan bahwa dengan mandi keramas sebelum Ramadan, maka ibadah yang dijalani akan lebih khusyuk. Jadi ritual mandi merang tidak hanya dimaksudkan untuk membersihkan badan, tetapi juga sebagai upaya membersihkan hati. Saya kecil pun mempercayai hal tersebut.  

Kini tradisi mandi merang  tak lagi dilakukan. Selain merangnya yang sudah sulit didapat. Kemajuan zaman mengubah cara pandang masyarakat setempat. Terutama generasi mudanya. Namun bukan berarti tradisi mandi merang hilang sama sekali. Masyarakat Betawi yang tinggal di bantaran sungai Cisadane, Tangerang masih melakukan ritual tersebut. Bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah setempat. Tujuannya untuk melestarikan tradisi dan budaya Betawi.

Jadi lebih keseru-seruannya saja sih. Saya pun berpikiran demikian. Karena ternyata seru juga menyaksikan tradisi mandi merang yang dilakukan masyarakat di bantaran sungai Cisadane. Sebab saya pernah merasakan ritual mandi merang. Tradisi masyarakat Betawi yang menggoreskan kenangan indah di hati.


Photo by Navin Thomsy on Unsplash

6 Comments on “Mandi Merang, Kenangan Masa Kecil dan Tradisi Menyambut Ramadan”

    1. Saiki Yo ne Kon ngulang emoh. Gatel koyo’e… Hahaha. Mbiyen Yo ora mikir ngono’e. Sing penting seru.

    1. Oh, gitu ya Mba? Jadi enggak pakai merang? Maaihkah sampai sekarang? Di tempat saya sih sudah tidak ada lagi tradisi macam itu.

  1. Sukses terus menulisnya…
    Semoga next bisa ikutan ke pelosok2 lagi… Walau yang dekat2 saja yang bisa dijelajah dengan motor cantik dan gagah.
    Sabar dulu….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *