Semua hati pernah tercabik, pernah terluka kecil bahkan mungkin terluka parah. Kadangkala semua luka itu tetap menganga tak kunjung sembuh. Bahkan bisa jadi melebar dan menghabiskan energi, menenggelamkan hari-hari yang seharusnya berharga, melelehkan waktu yang sejatinya digunakan untuk berkarya dan menghamba pada-Nya.
Bukan, bukan orang lain yang akan menyembuhkannya. Bukan, bukan pembuat luka yang datang dengan mempesona membawak penawar derita. Tapi diri kita sendirilah yang harus menguatkan diri untuk bangkit dari keterpurukan, menolong diri sendiri membangun kembali semangat dan kepercayaan.

Melawan rasa sakit dengan berusaha melupakan semua kejadian bukan satu-satunya jalan yang tepat untuk dijalani. Luka dalam ini hanya tersimpan rapi tertutup ari-ari nan tipis, sedikit kaitan akan membuat robek dan menghamburkan kembali sumpah serapah kebencian dari luka yang tak termaafkan. Bahkan sakitnya bisa jadi lebih dari nyeri dari kesakitan sebelumnya. Wahai, di mana kedamaian dalam sisa umur kita? Haruskah kita hidup dalam kesia-siaan?
Berulang kali jatuh bangun dalam menata hati, tetapi hati tetaplah hati, jaringan lunak yang rapuh ini tak seteguh karang yang tegar di lautan. Sekian waktu menunggu luka menganga menjadi sembuh sedia kala.
Memaafkan adalah kunci utama untuk membangun ketentraman hati yang hakiki. Memaafkan bukanlah kekalahan, tetapi kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan mengelola hati milik kita sendiri, melawan keegoisan dan ujub dari harga diri yang ingin dinilai tinggi oleh semesta alam. Kemenangan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Untuk itulah mengapa dalam banyak ayat Tuhan meminta kita menjadi pemaaf, bukan sekadar melupakan kesalahan.
Jangan lari dari kenyataan, semua takdir harus dijalani dengan kepasrahan dalam penghambaan. Hidup harus berlanjut, kedamaian hati harus kita ciptakan agar lebih mengerucutkan diri pada tujuan hidup sejatinya, liya’buduun (untuk beribadah kepada Maha Pencipta).
Gemetar seluruh raga saat memaksa diri menuliskan kembali semua kepahitan dalam barisan kata demi kata. Terisak-isak menahan rasa yang membuncah kala mengulang kembali rekaman layar yang sudah dimatikan. Sesekali meleleh air mata menengok kisah lama yang tak ingin lagi diungkit. Tetapi jiwa ini harus menang, melawan dengan hebat semua rasa yang tak nyaman. Semua kisah sudah berlalu dan Tuhan berhak menilai bagaimana seorang hamba menyikapi semua takdir, ujian dan cobaan dalam hidup dan kehidupannya. Jangan biarkan diri terkungkung dalam lara yang menyengsarakan. Semua rasa kepedihan yang tersimpan hanya akan mendatangkan kesedihan majemuk yang merusak diri dan harapan lebih dalam.
Writing for Healing, mengubah kisah pahit menjadi pembelajaran manis yang pantas dibagikan. Mengubah air mata menjadi senyum harapan saling memaafkan. “Kelak Waktu Menghapus Lara” sebuah buku berisi kisah luar biasa, kumpulan cerita yang menginspirasi. Banyak peristiwa yang tak pernah terbayangkan akan terjadi pada diri kita, tetapi harus dilewati sebagai pembelajaran hidup yang dipenuhi rasa syukur.
Penulis: Cicih Mulyaningsih
Editor: Lufti Avianto
