Eri, gadis hitam manis yang nasibnya tak semanis wajahnya. Berkali-kali gagal dalam percintaan membuat hatinya menebal. Kesendirian semakin nyaman bersemayam menemani kesehariannya.
Di sisi lain semua orang seakan sepakat untuk selalu mengingatkan dia akan kesendiriannya. “Udah punya pacar belum?” sekali bertanya belum cukup untuk menghilangkan mood Eri.
Semakin lama keadaan itu membuat nona manis berpikir keras. Separah itukah luka di hatiku hingga tak lagi berhasrat memiliki kekasih?
Bertahun-tahun Eri hanya berteman sepi hingga lelaki itu muncul seperti lebah dan tetiba mengengatnya tanpa permisi.
Kali pertama bersitatap dengannya Eri merasakan sengatan yang membekas di ruang-ruang kosong hatinya. Sosok Bira, lelaki yang muncul tiba-tiba, kerap bermain-main di kepalanya. Mata Bira yang paling Eri ingat. Hitam pekat dengan bulatan putih jernih.
Dan setelah pertemuan-pertemuan yang mendebarkan, Eri mendapati hatinya terperangkap dalam percikan-percikan intens antara mereka.
Apakah ini nyata? Batin Eri tak berani berharap banyak.
“Bira! Lama enggak kelihatan,” sapa Edo lantang. Tubuhnya seakan melayang dari pintu masuk ke meja yang mereka tempati.
Bira menoleh ke asal suara. Sontak lelaki jangkung itu berdiri dan menyambut Edo. “Hai Bro, apa kabar?”
“Aahh kamu kemana saja? Tiba-tiba menghilang tanpa jejak.” Sambut Edo tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.
“Aku duduk di sini ya, Ri.” Edo lalu menarik kursi dan duduk nyaman antara Eri dan Bira.
Dalam kelompok itu ada satu cowok dan dua cewek. Eri dan Meera. Mereka tergabung dalam tim relawan yang datang dari berbagai latar belakang. Karena kota tempat tinggal Eri tergolong kota kecil mereka kerap bertemu dalam berbagai aktivitas maupun seminar dan pelatihan.
Hanya saja Eri belum pernah bertemu Bira sebelumnya. Seperti kata Edo tadi Bira seperti sosok mahkluk halus yang keberadaannya terkadang nyata dan terkadang maya.
“Gimana kondisi di lapangan? Aku dengar banyak warga yang belum tersentuh bantuan pemerintah.” Edo membuka obrolan yang sempat terputus karena kedatangannya tadi.
“Benar sih tapi sudah mulai tertangani. Pihak BPBD lumayan sigap menanggapi keluhan warga.” Suara Bira memecah lamunan Eri.
“Kamu ngomong apa, Do?” tanya Eri gagap.
Semua yang di meja itu menoleh ke arah Eri dengan tatapan ‘helo Eri ngapain aja daritadi’, dan Eri yang tertangkap basah melamun menjadi salah tingkah.
“Kamu gak pa-pa, Ri? Kayaknya kamu kecapean deh,” timpal Meera sambil menatap Eri khawatir.
“Ngg enggak apa-apa. Eh aku balik duluan yah. Kayaknya aku memang kecapean.” Eri berdiri dan menyeret kakinya menjauh.
Tiba-tiba dari arah belakang.
“Eri. Tunggu!”
Eri menoleh. Bira berlari mengejarnya.
“Langkah kamu lebar juga untuk perempuan mungil seperti kamu,” ucapnya tenang ketika tiba di depan Eri.
“Ada apa?”
“Kuantar kau pulang,” ucapnya pendek sambil berlanjut ke parkiran. Eri mematung tak mengerti.
“Kenapa masih di situ? Bukannya kamu bilang kalau kamu capek?”
Seperti dihipnotis Eri melangkah pelan mendekati Bira. Langkahnya kini sejajar dengan patung es itu.
Dengan sedikit perjuangan Eri melompat naik ke motor Bira. Tubuhnya semakin terlihat kecil.
Angin malam tak menembus tubuh mungil Eri berkat jaket Bira yang kedodoran meliuk-liuk diterpa angin di badan Eri.
Laju motor dengan kecepatan 100 km/jam membuat Eri sedikit ngeri di belakang. Tangannya ragu antara hendak memeluk jelmaan patung dewa Yunani itu ataukah membiarkan tubuhnya terombang-ambing di atas motor besar itu.
Seperti dituntun kekuatan gaib ataukah dorongan rasa takut karena Eri tak biasa naik motor, tiba-tiba tangan Eri telah melingkar di pinggang Bira. Lelaki itu tetap tenang dan fokus membawa lari motornya hingga ke rumah Eri.
“Laen kali gak usah repot nganterin aku pulang. Tapi makasih.”
Bira tak menjawab. Setelah menstater motor tatapannya beralih pada Eri. Bira pamit dengan pesan yang sangat jelas, “Mulai sekarang aku akan anterin ke mana saja kamu pergi.”
Motor itu lalu melaju membelah lengangnya malam. Eri terpaku di depan pagar rumahnya. Sejak tadi ketrampilan Eri tak jauh-jauh dari bengong atau bego.
Mengapa aku dan mengapa Bira? Batinnya nelangsa. Kecewa dan takut ditinggalkan masih membayangi-bayangi pikiran gadis itu.
“Kamu tahu obat mujarab untuk sebuah luka?” tanya Bira di sore saat mereka berdua selesai bertugas.
“Waktu.” Eri menerawang melintasi bentangan laut di depan mereka.
“Tepat.”
“Gak juga.”
Bira tersenyum kecil.
“Pengalaman?” tebak Bira.
Eri bergeming. Sesungging senyum pahit terbentuk di bibirnya. Tapi tak lama. Wajahnya kembali datar.
“Kamu enggak mau mencoba lagi?”
“Mencoba? Apa yang dicoba?” suara Eri meninggi.
“Mencoba dengan kemungkinan gagal?” serangnya lagi.
Pandangan Eri beralih pada laki-laki itu—menatap wajah nyaris sempurna dengan senyuman yang mampu membuat setiap perempuan bertekuk lutut mengharap cintanya–tapi hanya sebentar.
Eri menolaknya. Kenangan pahitnya lebih dominan dibanding keinginan untuk membuka hatinya kembali.
Baginya lebih baik sendiri daripada kembali terluka. Eri benar-benar betah menyendiri.
Tetapi bukan Bira namanya kalau tak menantang badai. Tekadnya seperti ombak musim timur. Kuat dan bersifat menerjang.
Penolakan Eri bagai lambaian nyiur yang semakin menarik lelaki itu mendekat meluluhkan bongkahan-bongkasan es di hati Eri.
Kehadirnnya adalah untuk menerjang musim dingin yang sudah terlalu lama mendekam di hati gadis berwajah sendu itu.
Sesungguhnya dibalik keras hatinya Eri tetap menggantungkan harap pada Sang Pemilik Hati.
Jauh sebelum hari dimana Eri bertemu Bira, gadis itu telah melantunkan banyak lagu rindu. Menaikkan doa dengan hantaran penuh harap. Doa yang naik ke langit dalam ratusan malam.
Eri tak membicarakan perasaannya pada siapapun. Doa-doa yang diucapkan dalam ketulusan. Dengan niat hanya mengharapkan restu dan ijin Rabb-nya.
Eri merelakan waktu tidurnya demi mendekatkan diri pada Sang Khalik. Bertanya pada Sang Pemiliki Hati. Bilamana belahan jiwanya datang.
Romantisme antara Eri dan Penciptanya terjalin dalam malam-malam yang sepi dan sunyi. Tak ada yang mengetahui hal itu. Benar-benar rahasia antara mereka berdua.
Air mata yang meleleh perlahan dalam harap dan takut. Rintihan hati yang tercurah mengharap kebaikan Tuhan semata.
Hingga dia bertemu Bira, lelaki yang seakan terlahir dari ombak laut Timur.
Bira menyababkan riak-riak kecil yang mampu menggangu tidur-tidur panjang Eri. Menyebabkan getar di hatinya.
Getaran yang lama tak bekerja dihatinya. Bira juga membawakan perempuan itu senja. Warnanya yang jingga sedikit demi sedikit membuat Eri tenang.
Tetapi ketakutan masih menguasainya. Kakinya enggan melangkah meninggalkan masa lalu. Dia masih betah berkutat dengan kenangan pahit itu.
“Kamu serius mau pergi?” tanya Edo mengkonfirmasi.
Bira mengangguk pelan tapi mantap. Tiga tahun cukup bagi Bira untuk menunggu perempuan itu. Eri benar-benar kumpulan musim dingin yang pekat.
“Apapun keputusan kamu, aku dukung.” Edo memeluk tubuh jangkung Bira. Menepuk-nepuk pundaknya.
“Kembalilah ke sini lagi. Jangan lupa kalau di sini rumahmu.
Sementara Eri masih bertahan dalam ketakutan. Cemas memikirkan masa depan yang belum menjadi miliknya. Gusar menebak kemungkinan apa yang menanti di seberang sana.
Ah Eri. Batinnya berperang.
Apa gunanya semua doa itu, Ri kalau hanya sampai di bibir. Doa enggak akan jadi nyata kalau kamu enggak bergerak. Kamu harus move on, Non. Ciptakan takdirmu sendiri.
Bukankan Dia telah mengirim begitu banyak tanda.
Takdirmu tidak sampai di doa. Tuhan memberi hak istimewa pada setiap hambaNya. Kamu berhak memilih. Jangan bodoh. Bahagia itu pilihan. Apakah kamu ingin selamanya berkubang sepi?
Hidup macam apa yang kamu ingin tulis dalam lembaran-lembaran kehidupanmu, Eri?
Takdir ada di ujung usaha manusia. Kamu bahkan belum berusaha. Kamu terus saja hidup dalam masa lalu. Jika kamu tidak mencoba dan membuka hati pada cinta yang baru bagaimana kamu tahu Bira itu takdirmu atau bukan.
Kegagalan terbesar adalah tidak pernah mencoba. Kamu boleh gagal di masa lalu tapi jangan jadi perempuan gagal yang mundur bahkan sebelum berjuang.
Yakinkan hati bahwa ini adalah jawaban atas semua doa-doamu selama ini. Jalani dengan terus memperbaiki diri. Belajar dari kesalahan lalu agar tidak keliru menaruh hati.
Eri mendongak menatap langit. Cuacanya cerah. Warna awan putih kebiruan. Lembut seperti kapas.
Eri melangkahkan kakinya. Hatinya mantap.
Kali ini Eri tahu dia tak akan dikecewakan. Lelaki itu Bira. Bukan dia yang pergi tujuh tahun lalu.
Kali ini aku akan berusaha lebih keras. Batinnya.
“Halo Edo! jam berapa penerbangan Bira?”
Photo by Erik Odiin on Unsplash