Oleh: Siti Atikah
Tak terduga sebelumnya bahwa kita menjalani ibadah Ramadan dalam situasi pandemi Covid-19. Ini berarti kali kedua kita sebagai muslim berpuasa, bertadarus, dan bertarawih masih di tengah pandemi. Hanya saja, tahun 2020 lalu, di masa-masa awal Covid-19 tak satupun masjid dibuka untuk ibadah Ramadan walaupun gema azan tetap terdengar. Selain itu suara anak-anak muda menabuhkan musik galon dan sejenisnya untuk membangunkan sahur pun tetap ada. Namun, tetap saja segala lini kehidupan kala itu masih dalam suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh pemerintah masing-masing daerah di tanah air ini. Jikapun ada masjid atau musala yang tetap dibuka untuk ibadah, itu pastinya dilakukan diam-diam dan luput dari pengawasan pemerintah setempat. Wallahu ‘alam.
Tahun ini, 2021, suasana Ramadan mulai terlihat kembali bergeliat. Banyak masjid maupun musala dibuka untuk ibadah salat lima waktu, tadarus, dan tarawih, layaknya fungsi utama tempat ibadah umat Islam pada umumnya. Hanya saja, protokol kesehatan terlihat diterapkan; memakai masker, jarak antara jamaah salat, penyemprotan disinfektan,dan penyediaan hand sanitizer. Meskipun demikian, tetap ada juga beberapa dari tempat ibadah ini yang kurang menerapkan standar protokol kesehatan tersebut. Mungkin karena daerahnya sudah zona hijau, ya… Mungkin saja. Namun, saya pribadi yakin, Allah akan melindungi hamba-hambaNya yang ikhlas niatnya untuk beribadah kepadaNya. Insyaa Allah. Yang penting, masing-masing dari diri ini tetaplah memakai masker dan menjaga kebersihan diri sebagai wujud dari ikhtiar.
Satu hal yang tak berubah di kala Ramadan dari masa ke masa. Baik sebelum maapun saat pandemi seperti ini. Apa itu? Setidaknya, dari pengamatan saya, bulan Ramadan tak pernah sepi dari semangat orang-orang untuk berbagi terhadap sesama. Bulan penuh berkah. Itu sebutannya. Meskipun ada beberapa cara dan bentuk yang berbeda, namun semangat dan tujuannya tetap sama. Berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan. Mulai dari kalangan artis, tokoh masyarakat, hingga rasa peduli yang muncul antar sanak saudara maupun tetangga. Alhamdulillah, hati nurani untuk berbagi di bulan penuh berkah ini tak terhalangi oleh pandemi.
Saya takjub melihat keindahan ini di depan mata secara langsung maupun lewat layar kaca atau media sosial. Hingga hati dan diri ini pun rasanya malu pada Allah jika tak turut mengulurkan tangan hanya karena merasa rezeki yang ada berkurang akibat imbas dari pandemi. Ibaratnya jika enggan berbagi pada mereka yang memang benar-benar membutuhkan, maka diri ini layaknya orang yang tak percaya akan nikmat Allah. Padahal Allah sudah berfirman dalam Qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi :
Dan (ingatlah) saat Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
Nah, menurut saya salah satu bentuk syukur kita kepada Allah adalah dengan percaya bahwa Allah telah cukupkan rezeki untuk kita. Lalu, ingat bahwa sebagian dari rezeki itu ada hak orang-orang yang membutuhkan, yang mungkin di antara mereka dititipkan oleh Allah melalui tangan kita. Tak hanya itu, saling berbagi hadiah kepada tetangga, kerabat, dan sahabat pun bagi saya juga salah satu tanda kita bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Siapapun akan merasa bahagia jika mendapat hadiah, ‘kan… Apalagi dari orang-orang terdekat. Maka, berbagi menjadi salah satu kebaikan yang sepatutnya dilakukan oleh sesama manusia. Seperti dalam hadits berikut ini :
Setiap kebaikan adalah sedekah. (H.R. Bukhari)
Sungguh, bagaimanapun keadaannya, saya bersyukur dapat menjalankan ibadah Ramadan di masa pandemi. Kebersamaan dengan keluarga inti begitu terasa sejak 2020 lalu karena saya, anak-anak, orangtua, dan adik berkumpul di rumah saja. Sahur, salat, dan berbuka puasa bersama dengan khidmat dengan hidangan sederhana. Bersyukur karena tahun-tahun sebelumnya kami jarang bisa berkumpul lengkap saat Ramadan. Bagi saya yang jarak antara rumah dan sekolah tempat saya mengajar itu 30 KM dan tidak diberikan kelonggaran waktu pulang lebih awal, saya dulu lebih seringnya saat azan Magrib berkumandang, saya selalu buka puasa masih di perjalanan pulang ke rumah. Maka, beribadah Ramadan di masa pandemi menjadi begitu saya sekeluarga syukuri.
Kembali ke soal pandemi tak menghalangi semangat untuk berbagi, terutama di bulan suci penuh berkah ini. Di lingkungan sekitar saya tinggal saja setiap harinya, setiap pos RT selalu saja tersedia camilan gratis untuk berbuka puasa. Siapa saja boleh ambil. Dijamin halal. Ada yang dikelola oleh RT masing-masing, ada juga yang berupa pemberian pribadi dari warga maupun nonwarga. Di luar Ramadan pun, saya merasakan kebersamaan dan kepedulian yang luar biasa di lingkungan tempat saya tinggal. Baik yang di satu gang, maupun di satu RT. Setiap kali ada warga yang sedang sakit atau terkena musibah, langsung gercep alias gerak cepat untuk menjenguk dan memberi semangat, baik dalam bentuk morel maupun materiel. Saya pun jadi bertanya-tanya, apakah di tempat lain juga seperti ini? Semoga saja.
Belum lagi di lingkaran pertemanan dan juga keluarga. Justru di tengah pandemi seperti ini, saya mengamati bahwa kita saling menguatkan dan menopang. Bukan berarti sebagian dari kita hanya berpangku tangan dan pasrah menerima keadaan, sementara sebagian yang lainnya pontang-panting menyokong. Bukan seperti itu. Namun, saling memberi dan menerima. Simbiosis mutualisme, bukan parasitisme. Mengapa demikian? Karena saya yakin, setiap manusia punya potensi masing-masing dalam kebaikan dan keberhasilan asalkan mau berusaha dan berpikir terbuka.
Pandemi sama sekali tak menghalangi kita untuk berbagi. Justru dengan adanya pandemi, saya merasa Allah sedang mengetuk hati nurani kita untuk bisa melihat sekitar, banyak bersyukur, dan kemudian ringan tangan untuk membantu sesama. Karena tak ‘kan ada ruginya jika kita dapat menebarkan kebaikan sekecil apapun itu. Dengan berbagi, hakikatnya rezeki kita bukan berkurang, malah justru bertambah dari arah yang tak kita duga-duga. Saya percaya, bahwa apapun yang berasal dari hati, niscayanya akan sampai ke hati juga. Selain itu kita pun tak pernah tahu tentang berasal dari doa-doa siapakah akhirnya kelak Allah ampuni dosa dan khilaf kita selama hidup di dunia ini. Wallahu ‘alam.
-Catatan Ramadan Atik 2021-
Photo by Evgeni Tcherkasski on Unsplash