Karya Kembar di Era Pandemi

Di masa awal-awal pandemi ini mengusik rutinitas kita, komunitas Books4Care mengambil peluang dengan menyelenggarakan Writing for Healing (WFH) Challenge pada 1-14 April lalu. Diikuti 89 peserta dari 42 kabupaten/kota di Indonesia. Hasilnya, dari 30 penulis terpilih menelurkan dua karya bergenre fiksi dan nonfiksi, yakni Perjalanan Luka (kumpula fiksi pendek) dan Kelak Waktu Menghapus Lara (kumpulan memoar).


Semoga bisa mampir ke Paris beneran ya 🙂

Saya masih ingat betul, bahwa kebanyakan program pelatihan atau tantangan menulis yang kami -pengurus Books4Care- selenggarakan, lahir dari ide spontan. Dan tahun ini, kami bikin tantangan menulis 14 hari dengan tema yang spesifik, tentang pemulihan luka hati.

Kami yakin, setiap orang punya luka. Entah besar, atau kecil. Sayangnya, kemampuan untuk mengobati luka hati itu, tidak semua bisa dan kuat. Maka, dengan menulis, dipercaya secara klinis, juga mampu meredakan atau bahkan menyembuhkan luka hati itu.

Singkat cerita, dalam waktu beberapa hari saja, persiapan dilakukan. Kami beruntung punya banyak teman yang berprofesi sebagai penulis dan wartawan yang rela menjadi relawan mentor dan narasumber. Ya, relawan. Mereka tak dibayar, karena kegiatan ini gratis. Banyak peserta yang tak percaya menanyakan berulang kali, berapa biaya yang mereka perlu keluarkan untuk mengikuti tantangan menulis yang didampingi mentor penulis selama 14 hari dengan tiga kali materi penulisan dari tiga narasumber yang kece.

Saya tegaskan lagi, iya gratis.

Maka yang kami harapkan, peserta ‘membayarnya’ dengan keseriusan belajar, menimba ilmu dan pengalaman, dan bersilaturahmi. Itu saja.

Maka setelah 14 hari berlalu di pertengahan April, giliran kami yang sibuk memilah naskah, mengelompokkan, menyunting, membuat konsep kaver, berkoordinasi dengan penerbit, mengkoordinasi prapesan hingga buku sampai ke tangan para penulis di akhir Oktober ini. Pekerjaan yang melelahkan, namun nikmat terasa di tengah jadwal work from home yang tak kalah padat.

Salah satu prmosi yang dilakukan dengan Bincang Buku secara live di Instagram @books4care

Apakah program ini berhasil memulihkan luka para penulisnya?

Saya tak punya data pasti. Tapi dari pesan What’sApp yang masuk, ada yang mengakui keberhasilan mereka move on dari masalah yang dihadapi dengan menuliskan kisahnya. Saya yakin, meski tiap peserta punya dosis menulis yang berbeda, namun program ini telah memberi resep baru yang bisa terus dilanjutkan untuk memulihkan luka hati mereka, meski program telah usai.

Di bagian akhir ini, saya bersyukur, kerja panjang yang mengasyikkan ini, akhirnya tunai juga. Yang lebih membahagiakan bagi saya ketika melihat para penulis-penulis muda ini, begitu bahagia bisa merasakan menjadi ‘ibu’ ketika menimang ‘buah hatinya’ berupa dua buku antologi ini.

Berikutnya, tugas para ‘ibu’ ini belum selesai. Mereka masih harus membesarkan dan merawat karya ini hingga menemukan takdir yang lebih baik. Maka, mulai bulan depan, serial ulasan para penulis ini tentang dua karya tersebut, akan menghiasi laman Kinaraya.com ini.

Tak berhenti sampai di situ. Dari program WFH Challenge ini juga berefek domino yang positif. Ide untuk menampung karya-karya yang tidak terpilih menjadi buku, kami tampung dan publikasikan di laman Kinaraya.com ini. Sebagian dari para alumni dari program ini, menjadi relawan sebagai redaksi yang merawat media ini sebagai wujud komitmen untuk terus menulis dan berkarya.


Penulis: Lufti Avianto, chief editor Kinaraya


One Comment on “Karya Kembar di Era Pandemi”

  1. Saya sudah membaca buku ini, dan debaran rasa yang dimiliki penulis seakan ikut saya rasakan ketika kata demi kata saya resapi. Dada ini ikut membuncah dan ikut tersenyum lega di ujung cerita.
    Bravo mas Lufti…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *