Oleh: Tyasya
“Masih tersimpan, setiap kenangan tentangmu. Semua cinta yang kau beri. Kau takkan terganti.”–Sisa Rasa-Mahalini.
Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Aku lahir ketika kakak keempatku sudah menginjak kelas 3 SD. Saat aku lahir, Bapak sudah pensiun, sedangkan Ibu masih mengajar sebagai guru SD.
Jarak usia yang terpaut jauh, membuatku tidak dekat dengan kakak-kakakku. Sebagian besar waktuku diisi dengan kebersamaan dengan Bapak. Pun tidak dengan Ibu yang saat itu masih aktif mengajar.
Jika Bapak bepergian, tak pelak lagi aku pasti ikut. Kampanye, belanja ke Kota, hingga menonton karnaval tujuh belasan, semuanya kulakukan bersama Bapak.
“Nduk, arep nonton karnaval ora? Mbakmu melu kae,”[1] tanya Bapak.
“Nggih, Pak. Kulo purun,”[2] jawabku.
Bapak memboncengku dengan motor honda bututnya yang masih setia digunakannya. Perjalanan ke kota tidak memakan waktu lama. Sekitar lima belas menit, motor Bapak sudah terparkir rapi di SMP 5. Aku dan Bapak menunggu rombongan karnaval melewati tempat ini. Tentu juga berharap bisa melihat kakak keduaku yang ikut menjadi salah satu peserta.
Itu hanyalah salah satu momenku bersama Bapak saat aku masih di sekolah dasar. Menginjak masa remajaku, ketiga kakakku merantau dan tidak tinggal di rumah. Bertiga dengan Ibu dan Bapak, kulalui awal masa SMP.
Aku lebih dekat dengan Bapak dibandingkan dengan Ibu. Walau ibuku seorang guru, tetapi aku lebih sering belajar bersama Bapak. Belajar mengaji hingga menulis aksara Jawa.
“Bapak, niki pripun nulise?”[3] tanyaku suatu hari.
Bapak dengan sabar mengajariku menulis aksara Jawa itu. Jujur saja, tulisan Bapak lebih bagus daripada kepunyaanku. Semua hal tentang Jawa, bisa kutanyakan kepada Bapak. Tentu saja aku menjadi semakin dekat dengannya.
Melihatmu bahagia, satu hal yang terindah
Anug’rah cinta yang pernah kupunya
Kau buatku percaya ketulusan cinta
Seakan kisah sempurna ‘kan tiba
Saat aku berada di kelas 2 SMP, ada teman lelaki sekelas yang berniat bermain ke rumah. Aku begitu ketakutan saat itu, karena Bapak pernah mewanti-wantiku, ora ulih pacaran, Nduk[4]. Berbagai alasan kuberikan kepadanya supaya tidak jadi ke rumah. Bersyukur, dia tidak memaksa.
Suatu hari, Bapak jatuh sakit. Bapak yang biasanya bugar, hanya bisa terbaring di dipan.
“Nduk, kae tiliki Bapak. Koyone muntah nang kamar mandi,”[5] pinta Ibu.
“Pak, seg nopo? Muntah nopo?”[6] tanyaku saat sampai di depan kamar mandi.
Tidak ada jawaban dari Bapak. Kutunggu di depan kamar mandi hingga Bapak keluar.
“Ora popo, Nduk. Bantu Bapak meng kamar,”[7] ucap Bapak ketika keluar dari kamar mandi.
Kupapah Bapak hingga ke dalam kamarnya. Wajahnya tampak pucat, tapi bersikeras jika baik-bak saja.
“Ora popo, Nduk. Iki kan wis ngumbe obat soko Dokter,”[8] jawabnya ketika kutanya lagi.
Kondisi Bapak tidak semakin baik. Hingga kemudian, Ibu membawa Bapak untuk dirawat di rumah sakit. Ibu dan kakak sulungku bergantian menjaga Bapak di sana. Kakak keduaku menjagaku di rumah. Kakak ketiga dan keempatku sedang kuliah Diploma di luar kota.
Aku tidak pernah tahu sakit apa yang diderita Bapak. Ibu dan kakak-kakakku menutup rapat dariku. Yang aku tahu, Bapak sakit. Itu saja.
Doaku tak pernah putus untuk kesembuhan Bapak. Aku percaya setiap doa akan selalu dikabulkan oleh-Nya. Setiap pulang sekolah, aku menemui Bapak di rumah sakit.
Karena tidak ada perubahan, Bapak terpaksa dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Sebelum dibawa, Ibu memintaku untuk minta maaf kepada Bapak. Aku tidak mengerti itulah firasat. Aku hanya memegang tangan Bapak tanpa mengatakan apa-apa. Hanya doa dalam hati agar Bapak sembuh.
Namun, rupanya Tuhan lebih sayang kepada Bapak. Tepat di hari baik menjelang waktu salat Jumat, Bapak meninggalkanku untuk selamanya.
“Ora mungkin. Pasti Bapak balik nang ngumah. Mosok doaku ora dikabulke,”[9] raungku di sela isak tangis.
Saudara-saudara berusaha menenangkanku. Namun, duniaku terlanjur runtuh.
Masih jelas teringat pelukanmu yang hangat
Seakan semua tak mungkin menghilang
Kini hanya kenangan yang telah kau tinggalkan
Tak tersisa lagi waktu bersama
Kutatap peti mati yang berisi jenazah Bapak. Bahkan, terakhir kali pun, Tuhan tidak mengizinkanku melihat wajah Bapak.
“Bapak, nopo ninggalin aku? Bapak, nyuwun pangapuro, nggih,”[10]
Aku hanya bisa memeluk peti mati itu. Aku menyesal tidak meminta maaf secara langsung kepada Bapak sebelum dibawa ke Jogja. Aku masih ingin bersama Bapak.
Aku terdiam melihat jenazah Bapak dibawa menuju peristirahatan terakhirnya. Aku masih tidak percaya Bapak pergi begitu saja. Aku kembali menangis, ketika ambulans itu tidak lagi terlihat.
Mengapa masih ada
Sisa rasa di dada
Di saat kau pergi begitu saja?
Mampukah ku bertahan
Tanpa hadirmu, sayang?
Tuhan, sampaikan rindu untuknya
Hatiku terasa sangat sakit. Kini, aku hanya bisa menyimpan memori dengan Bapak dalam ingatan. Bapak, aku kangen.
Al Fatihah untuk almarhum Bapak. Kenangan tentang Bapak, akan selalu lekat dalam hatiku.
[1] Nak, mau nonton karnaval tidak? Kakakmu ikut itu.
[2] Iya, Pak. Aku mau.
[3] Bapak, ini gimana menulisnya?
[4] Tidak boleh pacaran, Nak.
[5] Nak, coba liat Bapak. Kayak muntah di kamar mandi.
[6] Pak, sedang apa? Apa muntah?
[7] Tidak apa-apa, Nak. Bantu Bapak ke kamar.
[8] Tidak apa-apa, Nak. Ini kan sudah minum obat dari Dokter.
[9] Tidak mungkin. Pasti Bapak kembali ke rumah. Masa doaku tidak dikabulkan?
[10] Bapak, kenapa meninggalkan aku? Bapak, aku minta maaf, ya.
Inspirasi: Mahalini – Sisa Rasa
Photo by Anne Nygård on Unsplash