Suatu malam yang hening selepas adzan isya berkumandang, seorang bapak memanggil kedua anak lelakinya.
“Duduk sini, Nduk. Bapak mau bicara,” kata lelaki berusia 65 tahun tersebut sambil duduk di sofa empuk kursi singgasananya.
Seorang anak paling tua duduk di kursi rotan, adiknya duduk di lantai beralaskan karpet buatan India.
“Ono opo toh, Pak?” tanya anak tertuanya.
“Ada yang mau Bapak bicarakan serius,” ucap Bapak sambil pelan-pelan menyeruput kopi hitam buatan sang istri. “Sebentar lagi Bapak akan berhenti sebagai Kepala Desa. Nama organisasi Bapak juga sudah tidak baik lagi di kampung kita. Jadi, Bapak meminta salah satu dari kalian untuk menggantikan.”
“Bukannya sudah ada beberapa calon Kades, Pak? Lalu, bagaimana caranya? Lha wong saya kerjanya cuma di kantor kelurahan. Lagi pula usia saya masih terlalu muda, Pak. Masalah nantinya,” kata Tono, anak tertua.
“Saya lebih ndak mungkin lagi. Cuma perja di toko kelontong milik Bapak di pasar. Ndak tahu apa-apa pekerjaan sebagai Kepala Desa yang rumit. Usia saya jauh lebih muda dari Mas.” Tino ikut bersuara.
“Jangan khawatir, Bapak sudah tahu cara mensiasatinya. Mumpung masih menjabat, Bapak masih bisa menjual aura lugu dan kesederhanaan di hadapan masyarakat desa yang sebagian sudah mulai katarak dan buta.”
Kedua anaknya mendengarkan dengan serius sambil mendekati Bapak yang mengenakan kaos oblong putih dan kain sarung.
“Nanti, Tono mendaftar. Sebagai wakilnya bapak Larno yang sejak lama berambisi menjadi Kades di desa kita. Lalu kamu, Tino, kerahkan teman-temanmu yang muda-muda, yang setia menganggumi Bapak sejak dulu, supaya bisa memilih Mas-mu. Untuk selanjutannya biar Bapak yang atur.”
Tono bertanya, “Kalau boleh tahu kenapa Bapak berniat mengajak saya dan Tino untuk menjalankan rencana ini?Sebagian masyarakat sudah antipati lho, dengan hasil kinerja Bapak.”
“Kalian belum tahu saja enaknya menjabat. Kalau sudah jadi Kades rasanya ndak ingin turun tahta. Hahaha.” Sang Bapak tertawa lebar, sambil kembali menyeruput kopi dalam cangkir berwarna putih, yang isinya hampir habis.
Kedua mata Tono dan Tino ikut berbinar. Meski tidak tahu keenakan apa yang dimaksud sang Bapak.
Langkah kaki Ibu terdengar semakin mendekati ruang keluarga yang luas. Beliau membawakan sepiring singkong rebus dan sepiring pisang goreng.
Tono dan Tino langsung berrbut mengambil masing-masing satu jenis makanan yang disediakan Ibu.
“Sudah dibicarakan, Pak?” Ibu bertanya sambil mengambil posisi duduk di sebelah kiri Bapak.
“Sudah. Mereka berdua juga bersedia.”
“Syukurlah kalau begitu. Nurut ya sama perintah Bapakmu, Tono, Tino. Ibu doakan lancar rencana besar Bapakmu ini.”
Tono dan Tino mengangguk sambil terus mengunyah. Tono bertanya dalam hati sambil menerka-nerka seperti apa enaknya jadi Kepala Desa nantinya. Selain dia telah menjadi terkenal dan dimudahkan segala urusannya selama Bapak menjabat. Semakin tidak sabar untuk segera mendaftarkan diri, meski akan terlihat jelas oleh sebagian masyarakat kalau dia terkesan memaksakan diri.
Serupa tapi tak sama, Tino pun senyam senyum sendiri dan membayangkan kekuatan sang Bapak agar dia bisa diterima oleh lingkungan teman-teman barunya tersebut. Dia harus lebih terkenal lagi supaya bisa membuka banyak toko klontong di pasar yang selalu dilarisi oleh orang orang terdekat dan pengagum Bapak.
Malam ini langit tak menampakkan kerlip gemintang, sebab awan tampak mendung dan hujan akan segera turun. Pembicaran antara Bapak, Ibu dan kedua anak lelakinya terus berlanjut hingga larut. Tertawa diantara senyapnya suasana desa yang asri dan masyarakat yang sedang terlelap, yamg sebagian lagi sedang sekarat.
el 13/11/23
Photo by Hobi industri on Unsplash