Dari tulisan Pakcik, kami belajar menertawakan kemiskinan dan merayakan gempita mencari ilmu dalam serinai rintik hujan.
Dari tulisan Pakcik, kami belajar menjadi perempuan yang kuat harus disertai dengan pembuktian dari diri sendiri, oleh diri sendiri, dan untuk diri sendiri.
Dari tulisan Pakcik, kami mengenal kesabaran tiada batas seorang Ayah tanpa ikatan darah yang rela gila demi bertemu seorang bayi yang dulu amat dikasihi.
Dari tulisan Pakcik, kami belajar menghargai hal-hal sederhana yang kadang luput dari pandangan mata. Dituliskan dari dalam jiwa dan sampai juga ke dalam jiwa.
Dari tulisan Pakcik, kami mengenal apa arti ikatan keluarga. Menerima tanpa mencela juga bertutur sepenuh krama.
Dari tulisan Pakcik, kami menemukan serasi bintang ilmu, yang gugusannya telah terpampang nyata, hanya kamilah yang buta membaca peta dalam nabastala.
Tulisanmu, seluruhnya, Pakcik.
Adalah teman di saat menangis.
Adalah sahabat di saat tertawa.
Adalah kawan di saat gulana.
Adalah rindu yang obatnya harus bertemu.
Iya, bertemu tulisanmu.
Septi Wulandari, editor
Photo by Jared Erondu on Unsplash
tetap semagat menulis untuk selalu menjadi inspirasi kami ya kak 😀 terimakasih telah berjuang sampai detik ini dengan sangat baik