Oleh: Lufti Avianto
Aku terhenyak, ketika perempuan di sebelahku, yang menemani selama 12 tahun terakhir ini, bilang kalau ia merasa kurang diperhatikan. Ia merasa tak lebih disayangi, ketimbang putri kami sendiri.
Aku diam sambil menyimak kejujurannya. Sambil merenungi ternyata niat baik kalau tidak dikomunikasikan dengan baik, bisa dipersepsikan salah. Mungkin saja, intensitas dan ekspresi kasih sayang pada putriku, lebih besar daripada ke istri sendiri. Aku mengira, kami sebagai orangtua, akan memprioritaskan anak-anak ketimbang pada hubungan kami sendiri.
Ternyata aku salah, dan mencari alasan apapun, tetap saja itu salah. Kalau anak saja perlu dirawat, bukankah juga dengan halnya cinta?
Akhirnya, ketika ada kesempatan, kami ambil cuti menghabiskan waktu berdua saja. Kebetulan momentumnya pas bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
“Mau ke mana?” tanyaku.
Kami sama-sama mafhum, memang tak banyak yang bisa diperbuat dengan cuti satu hari. Lantas kami putuskan untuk ke mall terdekat saja. Makan udon kesukaannya, lalu nonton film di Cinema XXI. Seperti makan siang, menu tontonan juga aku biarkan dia yang pilih. Tahu pilihannya? Alih-alih film drama romantis, dia malah memilih film bergenre detektif: Death on The Nile.
Aku menurut saja. Toh, aku juga suka. Yang membuat istimewa, bioskop itu hanya berisi dua pasang saja. Kami memilih posisi favorit di tengah bioskop, sedangkan sepasang lainnya jauh di belakang. Ini seperti bioskop pribadi bagi kami.
Sepanjang film karya Agatha Christie itu, kami berdiskusi tentang siapa pelaku pembunuhan. Masing-masing punya analisis dan pendapat, tapi tak satupun yang benar-benar tepat. Saya pikir, ini memang level romantisme yang tidak umum. Biasanya, sepasang manusia yang dilanda asmara akan menghabiskan candle light dinner di restoran fancy, lampu temaram dengan buket bunga mawar merah penuh gairah.
Tapi kami? Makan udon dan nonton film detektif. Juga membicarakan rancangan masa depan anak-anak. Mungkin ini jenis romantisme ala kami sebagai pasangan yang mulai matang memasuki fase sepuluh tahun kedua.
Ritual makan-nonton ini juga yang biasa kami lakukan sebelum pandemi, ketika escape dari rutinitas kerja. Cuti sehari, biasanya di hari Senin, lalu ke mall, makan dan nonton. Berduaan.
“Kita kayaknya emang kurang waktu buat pacaran ya…” tangan kiriku menjalin tangan kanannya ketika kami naik ke lantai tiga melalui escalator menuju bioskop.
Dia mengamini, lalu mengingat-ingat awal mula pernikahan kami. Menikah di akhir Januari, kemudian sudah punya anak di bulan Oktober di tahun yang sama. Ya, Tuhan langsung mengamanahkan buah hati kepada kami sehingga tanggung jawab pun bertambah. Lalu, selang empat tahun, lahir anak kedua, dan anak ketiga pada empat tahun kemudiannya lagi.
Waktu dan kesibukan mengurus buah hati itu seolah berjalan cepat sekali. Tahu-tahu, si sulung sudah kelas lima dan kini tengah bersiap masuk pondok pesantren. Si nomor dua, kini kelas 1 SD, serta si bungsu hampir empat tahun dan tengah lucu-lucunya.
Kami kesulitan mencari waktu untuk berdua.
Maka cuti satu hari itu di hari kelahirannya adalah momentum yang tak boleh disia-siakan. Momen itu seperti tetesan air pada kembang yang tengah mekar. Agar kelopaknya tetap merekah, diperlukan perawatan yang cukup. Sama halnya cinta. Maka komunikasi tak boleh diabaikan. Anak-anak adalah prioritas kami, bukan aku semata. Anak-anak juga tanggung jawab kami, bukan dia semata. Karena itu kami harus lebih sering berdua agar komunikasi dan kekompakan tetap terjaga. Agar prioritas kami berada pada frekuensi yang sama.
Aku jadi ingat nasihat pernikahan kami dulu, yang disampaikan Pak As Natio Lasman, Kepala Bapeten sekaligus mantan narasumberku dulu.
“Dalam Bahasa Inggris, love adalah kata kerja. Maka untuk bisa dan tetap saling mencintai, kita harus terus bekerja untuk menghadirkan cinta itu sendiri…” begitu pesan Pak As di malam akad nikah kami.
Kita tak bisa mengandalkan rutinitas agar cinta tetap hidup. Bila dibiarkan begitu saja, bisa saja ia tetap hidup. Tapi boleh jadi, cinta itu hidup tak terawat dan tak terarah. Berjalan monoton dan menjemukan, lalu perlahan-lahan bisa mati sia-sia. Tentu itu bukan yang kami inginkan.
Maka, bukan ketika ada kesempatan saja, melainkan kami harus selalu menciptakan momentum untuk menjenguk cinta satu sama lain.
Apa kabarnya ia di sana? Semoga ia baik-baik saja.
Jakarta di kala redup, 24 Februari 2022
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash