Oleh: Lufti Avianto
Saya baru tahu makna Tuhan menciptakan sepasang mata, dua daun telinga dan sebuah mulut saja.
Seorang kawan, tiba-tiba menjauhi tanpa sebab yang saya ketahui. Tak seperti biasanya, ia jadi irit bicara, dan menjaga jarak. Saya kira, mungkin dia punya masalah, jadi biarkan saja sampai dia tenang sendiri, toh akan kembali seperti semula. Begitu saya kira.
Ternyata saya keliru. Berminggu-minggu kemudian, dia tak juga berubah. Bulan berganti tahun, hingga beberapa. Akhirnya ia terbuka mengapa bersikap sedemikian dingin.
“Si A sering banget ngomong jelek soal elo. Tapi setelah gue amati, kok nggak seburuk yang diceritakan. Ternyata gue salah karena terlalu mendengar omongan jelek dia soal elo. Maaf ya.”
Atau dalam situasi yang lain, seorang teman akhirnya mengakui bahwa ia diminta temannya yang lain, yang juga teman saya, untuk menjauhi saya.
“Dia bilang, jangan dekati elo. Lagian dia bilang, elo juga nggak hebat-hebat amat. Tapi setelah gue amati, omongan dia salah. Elo ga seburuk yang dia bilang dan menurut gue, elo hebat. Gue bisa belajar dar elo.”
Pada dua situasi itu, saya termenung sembari mengira-ngira, apa gerangan salah saya pada mereka?
Hal yang serupa, kerap terjadi di lingkungan mana saja ketika kita berkumpul dan menjalani hidup sebagai manusia sosial. Penilaian orang atas kita -mungkin lebih berbau vonis- mudah sekali terucap dan melekat dalam benak.
Kita yang mengecap begitu, secara tak sadar telah menjalankan peran sebagai hakim yang memvonis dengan hukuman tanpa ada persidangan yang memungkinkan “si terdakwa” membela diri.
Kita yang mendengarkan penilaian itu, ternyata lebih percaya pada dua telinga, tanpa pernah melakukan verifikasi melalui dua mata. Boleh banyak mendengar, malah harus. Tetapi, kita perlu membuktikan dan memverifikasi melalui indera yang lain.
Dalam cerita di atas, saya telah menjadi korban dari vonis tanpa persidangan tadi. Sebaiknya, kabar buruk yang merayap pada dua daun telinga, kita verifikasi kebenarannya melalui dua mata, dan mengurangi bicara yang tak perlu: itu sebab mengapa Tuhan menciptakan indera manusia pada jumlah yang tepat
Dalam beberapa situasi, saya merasakan hal seperti itu: dibicarakan orang di belakang.
Sedih? Iya, pada awalnya. Tapi ternyata, Tuhan melatih saya agar saya lebih tegar dan memiliki motivasi kuat untuk maju.
Tiba-tiba saya merasa mendapat pelajaran, entah datang dari mana. Mungkin buku yang pernah saya baca, atau kutipan yang saya lihat dari media sosial, atau bahkan dari pikiran saya sendiri, bahwa: ketika ada orang yang membicarakan di belakang, itu sama artinya dengan kita telah beberapa langkah di depan mereka.
Ya, kita lebih maju, lebih sukses, lebih kaya, lebih pandai, lebih hebat dan lebih-lebih lainnya. Biarkan mereka terpuruk dengan kebiasaan buruk sebagaimana “orang-orang yang ada di belakang”.
Kita, yang kini di depan, tak perlu tersinggung. Cukuplah bersyukur atas apa yang kita miliki. Ditambah bonus bahwa, dengan omongan buruk itu, Dia ingin mengampuni kesalahan kita di masa lalu.
Sawangan, 13 Juli 2021.
Photo by Joshua Earle on Unsplash