Kehangatan Para Manusia (Bag 1)

Oleh: Elmou Freez

Alkisah hiduplah seorang anak yang kerongkongannya tak mampu menggetarkan pita suara, dan dalam kesendiriannya senantiasa hening terpaku. Sebutlah namanya Elan. Ia hadir ke muka bumi bukan sebagai seorang pembawa kabar gembira atau panutan para manusia yang haus dengan eksistensi. Ia lebih merasa sebagai kepingan bunga api yang tersisih dan pergerakan takdirnya sebagai variabel pembawa sial bagi siapapun yang mendekat kepadanya.

Baru saja, beberapa hari ia kehilangan kakeknya yang merawat kepolosan dan keceriaannya, yang entah kenapa kakeknya terjatuh dengan jasad yang lunglai tanpa napas di pinggiran trotoar saat sedang menggandeng tangannya. Kini, ia sendirian tanpa satu pun sosok yang menemaninya di dunia, dengan perasaan yang sulit dijelaskan selain rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Hidupnya kini seperti kematian yang tertunda, ia terus mempertanyakan kenapa alam semesta mengasuhnya dengan sekadarnya, dan tidak mengizinkannya untuk meninggalkan bumi dengan cepat. Walau alam masih memberinya ruang tanya kenapa orang-orang tercinta yang seharusnya menyayangi dengan sepenuhnya, pergi dan lenyap lebih cepat dari seharusnya. Seluruhnya lenyap, selayaknya senja yang pergi tanpa hembusan angin, senyap.

Ia memahami hidupnya yang lusuh tergencet di antara arogansi peradaban ibukota, adalah afirmasi kenapa hidupnya sudah tidak bisa dijalani dengan layak. Kebanyakan para manusia melihatnya, sebagai seorang anak yang menawarkan kedukaan dan penderitaan, yang tak kan mampu menorehkan apapun dalam lembar sejarah selain kepedihan, dan jejak langkahnya sebagai penyempurna kecacatan residu atas dampak berdirinya pencakar langit yang menyisakan manusia seperti dirinya.

Suara-suara itu terus mengoyak pikirannya dan menghantuinya, memaku rasa bersalahnya atas setiap peristiwa yang ia saksikan. Selentingan suara itu mendesing dalam tidurnya selayaknya percikan api yang menyengat. Saat menyusuri jalanan ibukota di bawah gerimis tak berkesudahan ia berusaha yakin bahwa kekejaman ibukota dan kesadisan suara para manusia yang menghuninya adalah sumber kehangatan yang ia terima atas karma yang melekat pada jiwanya. Sebagai penebus yang mungkin suatu waktu menjadi air tawar guna menghapus kutukan kesialan itu, lalu menghadirkan sosok baru yang kan mampu hidup bersama dengan selayaknya.  

Sumber: Istimewa

Dalam momen meditasinya pada pertengahan malam di bawah pohon Trembesi yang usianya puluhan tahun di sebuah taman pinggir kota, Elan melihat gelombang langit hitam dengan tarian bintang-bintang yang mendekatinya seperti semburat ungu kegelapan, wujudnya yang kosong hanyut dalam ruang hampa yang paradoks, nir gravitasi dan liar. Ia menjelma tubuh jiwa tanpa raga, diam dalam kebisingan frekuensi semesta tanpa suara. Inilah alasan kenapa ia menyukai malam, yang senantiasa membukakan pintu gaib dimana ruang bawah sadarnya selalu menawarkan dimensi yang senasib dengan dirinya. Bisu tapi berisik, hening tapi bising, senyap tapi mengacau. Jiwanya menjadi perantara yang menyambungkan kebisuan indrawi dengan kesenyapan langitnya. Ia menemukan sejatinya diri, tak lagi terikat dalam lelahnya raga dan kepungan debu. Ia menyatu dalam Sang Maha Senyap.

Tak lama Elan menikmati eskalasi kesenyapan batinnya, dari arah belakang ia merasakan ada benda langit yang menyerupai batu karang besar dengan tekstur yang tak beraturan, bergerak deras ke arah dirinya.

Dan….buuumm. Hantaman benda itu membuyarkan seluruh wujudnya, menghempas tubuh Elan ke pinggiran langit yang terasa asing dan sepi. Tarikan kosmik berusaha membawanya ke dimensi yang lebih dalam, seolah mentransformasi kesadarannya pada ketiadaan dan menghapus seluruh unsur kehidupannya. Ia hampir pasrah dan meyakini inilah saatnya melepas segala. Sedetiknya ia merasakan energi ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, meluruh dalam kosmik unsur ketiadaan.

Pada dimensi yang lain tak jauh dari perhelatan kosmik, ketenangan yang sangat itu membangunkan kesadaran Elan dengan lembut, mendorongnya untuk menyadari eksistensi dan membuka matanya yang terasa sangat berat, mengembalikan nafasnya yang hampir tak terasa. Ia perlahan mengenali aroma tanah dan dedaunan sekitar tempat ia memulai duduk bersila.

Ia bergumam dengan sedikit harap, “Seandainya ini kematianku, tanpa seorangpun mengingatnya.”


Bersambung…

Featured Photo by Anthony Intraversato on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *