Kehangatan Para Manusia (bag 2)

Oleh: Elmou Freez

Elan terbangun kala azan subuh memecah keheningan fajar. Ia menatap samar dedaunan pohon Trembesi yang melindunginya dari sergapan angin malam, sebagai langitnya kala tidur, juga jadi rumah singgah bagi beberapa burung hantu. Sayup-sayup suara azan itu menelusup menembus gendang telinganya, menerobos halus ke sela-sela memori pada momen ketika kakeknya masih hidup, mengajaknya bergegas bangun menyusuri jalanan ibukota. Mengais ceceran harapan di tempat-tempat yang terbuang, menemukan barang sisaan, memulung sampah plastik lalu memungutnya untuk ditukar dengan lembaran rupiah. Demi semangkok bubur ayam atau sepiring nasi uduk untuk disantap berdua.

Pagi itu Elan masih sendirian. Dengan langkah yang masih malas dan rasa lapar, ia gendong karung goni lusuhnya yang sudah terisi beberapa botol plastik, menapaki jalan arteri yang terlihat mulai ramai dengan desingan motor dan mobil. Sesekali ia menghindar dari suara klakson motor yang tampak buru-buru dan beringas menerobos trotoar tempat ia berjalan. 

Baginya, perjalanan pagi adalah hal yang menyenangkan tapi menyesakkan. Ia melihat dirinya sebagai hasrat yang mengembara, menggelandang dalam kesenyapan embun pagi yang tercampur dengan kabut asap knalpot. Sekelumit mimpi akan masa depan membuatnya melangkah dengan antusias, tapi tak berapa lama terpatahkan saat berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah yang memandang Elan dengan tatapan merendahkan.

Elan terus saja berjalan dalam asa yang tak menentu. Wujudnya menjadi pralambang bumi saat melihat bayang panjangnya menjulur ke tanah kala matahari menyingsing terang, menghangatkan raganya. Pralambang itu menyiratkan pesan kalau ia tak sendirian, masih ada sosok kedua yang selalu dekat, mendengar keluh kesahnya dengan sabar, menemaninya bepergian dalam diam, walau tak pernah mampu ia rengkuh dan peluk. 

Bayangan itu juga yang membuatnya bertahan. Berdiri dalam desiran ombak jiwa yang berantakan pada hamparan bumi, dengan tekad yang ia himpun guna mengendalikan bayangan takdirnya. Dengan harap cemas, bayang takdirnya itu tak kan pernah meninggalkannya seorang diri, senantiasa menyertainya kemana pun ia pergi, mengingatkannya untuk kuat menghadapi apapun yang menghadang. Sebagai tempat bersandar kala lelahnya mendera. Menjadi sahabat jiwa yang mengecup keningnya kala hatinya sedang merapuh. 

Tetapi, tak jarang pikirannya tertuju pada suara batinnya yang absurd, kalau sejatinya diri adalah bayang panjangnya itu, dan raga yang berdiri di atas tanah sebatas sisi lainnya yang meringkus jiwanya. Karena memang bayangan itu adalah gambaran wujud aslinya yang tak terjelaskan oleh siapapun, sebagai entitas tak bernyawa bagi kebanyakan orang, yang diinjak dan diludahi semaunya mereka. Beruntungnya, bumi tak pernah bosan menerima seluruhnya tanpa beban, memeluknya dengan aroma tanah yang menentramkan. Dan melupakan, risalah yang mendefinisikannya sebagai sosok tak bernama di pikiran para manusia.

A puppet standing in front of a computer screen

Description automatically generated with medium confidence
(sumber: Istimewa)

Ia tersentak saat sosok besar kecoklatan menghantam tubuhnya. Ia sempoyongan dan jatuh terjerembab di tepian trotoar. Sesaat ia menoleh dan kaget, menatap beruang besar menghampirinya, bersiap mencengkeram tangan dan merobek mukanya.

“Maaf nak, kamu ga apa-apa kan?” terdengar suara perempuan di balik penampakan sosok berkostum beruang coklat, menyapa Elan dengan rasa bersalah sambil mengulurkan tangan membantunya bangkit dan duduk.

Elan hanya menggelang. Ia masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang dilihatnya, menatap ragu saat kepala beruang besar perlahan dilepas dari lehernya. Ia coba menerka kalau yang berdiri di depannya bukan binatang buas dengan bulu kumal, dan berusaha yakin di balik kepala beruang itu ada wajah seorang perempuan yang tak mungkin menyakitinya dengan cakar palsunya.

Sejurus kemudian setelah Elan duduk dan merengkuh karung goninya, perempuan itu mengeluarkan kantong plastik yang berisi roti sobek dengan isi stroberi di dalamnya, sepertinya sisaan kemarin yang ia simpan untuk bekal hari ini. Memberikan sebagian kepada Elan. Perempuan itu seolah bisa tahu kalau Elan sedang kelaparan, dan butuh seseorang untuk menemaninya duduk sekedar memberi rasa nyaman walau terasa asing. 

Elan perlahan memahami kalau pagi ini adalah detik yang kan membuatnya bersemangat, dan merasakan kembali sisi kehangatan hati manusia yang saat ini menghampiri takdirnya. 

Perempuan itu menemani Elan menyantap roti sobek yang pastinya tidak cukup membuatnya kenyang, dan sesekali menawari Elan minum. Sambil berkisah tentang apapun, hal remeh yang ia temui saat menjalankan peran sebagai badut beruang besar yang manggung di lampu merah perempatan jalan ibukota. Yang kadang diusir aparat berseragam, dibentak mereka yang terusik dari lamunannya, walau niatnya sebatas menghibur para pengendara yang menyesaki garis lampu merah. Ia juga berkisah hari ini ia akan manggung sendirian karena anak perempuannya sedang sakit dan tak mungkin diajak bergandengan di jalanan penuh terik. 

“Nak, kalo kamu sedang lapar dan ga ada uang, kamu bisa menemuiku di sana ya. Cari yang namanya yu Patmi. Badut beruang coklat!” katanya, sambil menunjuk arah yang menjurus pada sebuah perempatan bundaran jalan di Pondok Indah.

Elan hanya menatap perempuan itu dengan perasaan yang aneh dan rasa takut, takut kehilangan. Karena kutukan yang masih pekat menyelimuti pikirannya. Menimpa yu Patmi, atau anaknya.

(bersambung)


Photo by Austin Mabe on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *