Jawaban dari Tuhan

Oleh: Dwina

Beberapa bulan terakhir ini adalah waktu di mana anak-anak usia sekolah sibuk mempersiapkan diri dengan ulangan kenaikan kelas, ujian kelulusan, ujian masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi dan menunggu dengan was-was akan hasilnya. Anak perempuanku termasuk salah satu di antaranya yang sedang berusaha mendapatkan kampus yang menjadi impiannya.

Sejak awal kelas tiga SMA, berbagai upaya untuk menambah kemampuannya sudah dilakukan mulai dari belajar tambahan di lembaga bimbingan belajar, belajar bersama teman, ataupun belajar mandiri. Tak jarang, aku menemukannya berkutat dengan ratusan soal dari siang sampai dini hari.

“Lebih baik tidur dulu Nduk, baru dilanjutkan lagi setelah istirahat.”

“Bentar lagi Buk, masih ada yang perlu diselesaikan. Kalau aku tidur susah bangunnya.”

“Ya wes, pokoknya kamu bisa atur sendiri pastikan tetap sehat.”

“Iya, Bu.”

Akupun menutup pintu kamarnya dan kembali ke kamarku sendiri. Dalam hati, aku berdoa semoga jerih payahnya membuat dia dekat dengan cita-citanya. Ya Allah, mudahkan jalannya. Aamiin.

Ketika kami sedang kumpul di meja makan. Bapak memulai percakapan dengan bertanya. 

“Mau kuliah jurusan apa, Nduk? “

“Ada beberapa pilihan jurusan yang mau saya ambil: Kedokteran, Hubungan Internasional, Sastra Perancis atau Bahasa Inggris”

“Iya, kamu boleh mencobanya.” 

“Sebenarnya saya masih ragu karena nilai try out saat ini untuk jurusan pendidikan kedokteran masih kurang lumayan banyak.”

“Iya, memang berat untuk ambil jurusan itu. Disamping tingginya peminat, calon mahasiswa kedokteran dituntut memiliki nilai matematika dan IPA minimal 9. Menurut hemat bapak, jurusan itu sebenarnya hanya menang prestige-nya. Jika seseorang bisa lolos masuk jurusan kedokteran, tentu dia akan menjadi kebanggaan orang tua, teman sekolah, almamater, dan sudah jelas apa yang akan menjadi pekerjaan nya.” Bapaknya mulai nyerocos dan kami segan untuk memotongnya.

“Akan tetapi, untuk sukses seseorang tidak harus mengambil jurusan kedokteran. Sebaiknya, kamu ambil jurusan yang nilai ujian akhir sekolahmu paling tinggi. Kuliah di jurusan yang sesuai nilai terbaikmu, akan membuatmu mudah dan nyaman untuk belajar. Ibarat bekerja sesuai hobi dan kesukaan. Meski semalam suntuk belajar dan belajar, kamu tidak akan merasa terbebani. Karena menikmati. Alasan lainnya, para ahli bahasa percaya bahwa otak kiri yang berfungsi sebagai pemroses kemampuan berbahasa milik wanita itu lebih besar daripada otak kiri milik pria. Jadi kemampuan bahasamu jika diasah akan jauh lebih mahir daripada kemampuan bapak. Dadi wes cocok, wes pas nduk karo awakmu. Tentu dengan bekerja dan belajar keras serta diiringi doa, sukses, rejeki dan ketentraman hidup akan senantiasa bersamamu.”

“Iya, nilai IPA-ku bagus, tapi nilai bahasaku lebih bagus.”

“Di situlah pertimbangan Bapak. Kalau kamu kuliah jurusan bahasa, ibarat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dulu Bapak juga pernah bercita-cita seperti kamu. Tapi setelah sadar kemampuan diri, akhirnya banting setir pilih jurusan bahasa. Ya, karena hobi dan senang belajar bahasa. Bapak optimis kamu akan mampu menyelesaikan jenjang S1 dengan lancar dan langsung melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Akan sangat bersyukur, jika jenjang pendidikan yang lebih tinggi itu dapat ditempuh di luar negeri lewat jalur beasiswa. Dan siapa tahu kelak, kamu, Ibu dan Bapak bisa merintis sekolah di bidang bahasa. Wallahualam. Ibu dan Bapak akan senantiasa berikhtiar dan berdoa demi kebaikanmu.”

“Jadi bagaimana Pak, apa aku harus ikut tes IPC?”

“Bagus itu. Keputusan yang sangat bijak,”

Setelah pembicaraan itu, kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Bapak sibuk dengan pekerjaanya. Aku sibuk dengan penulisan thesis-ku. Si gendhuk yang mulai mengurus pendaftaran dan seleksi ujian masuk kuliah secara online. 

Hari saatnya pengumuman tiba. Sejak pagi, bapak terus bertanya-tanya mengenai hasil pengumuman.

“Bagaimana, Nduk?”

“Pengumuman ditunda, Pak. Seharusnya jam dua siang ini, ditunda menjadi jam sembilan malam.”

“Iya tidak apa, ditunggu saja.”

Inggih, Pak.”

Tiba saatnya jam sembilan malam. Bapak memutuskan untuk memeriksa sendiri di laptopnya. Aku dan si gendhuk di kamar. Mukanya terlihat kusut saat membuka pengumuman yang baru saja diperiksanya dari web. 

“Belum lolos, Buk.” 

Masa? Coba di refresh lagi! Siapa tahu ….” Aku tidak melanjutkan kalimat, tidak tega melihat perubahan muka si gendhuk yang sedih sekali. Dzikir dan doa komat kamit aku ucapkan. Dan…

“Alhamdulilah…” Kulihat matanya berkaca-kaca. “Lolos Buk, tapi yang pilihan ke-2.”

“Masyaallah, Congratulation sayangkuhhhh….. Akhirnya….” Kami pun berangkulan meluapkan kegembiraan dan mengucap syukur seperti tak percaya kalau dapat kampus terbaik dan bisa kembali ke kampung halaman.

Bapak yang berada di ruang kerja mendengar kegaduhan kami, langsung bergabung. Mungkin beliau juga sudah cek di laptopnya dan tahu anaknya lulus di pilihan ke-2. 

“Selamat ya, Nduk! Usaha tidak mengkhianati hasil.”

“Terima kasih, Pak.”

“Iya, kita ambil hikmahnya saja. Kamu tidak lolos dari pilihan pertama, mungkin Tuhan berpendapat bahwa kamu memang lebih cocok di pilihan ke-2. Sesuai dengan prediksi bapak. Kamu berbakat untuk hidup dalam dunia bahasa. Semoga jurusan ini bisa membawamu menjadi seorang yang sukses.”

“Aamiin. Terima kasih Bapak, Ibu atas dukungannya.”

“Iya, sekarang segera cari tahu bagaimana proses daftar ulang dan biayanya.”

Kami pun tersenyum lega, dengan bayangan indah menatap hari esok yang lebih baik. 


Photo by Einar Storsul on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *