Oleh: Tyasya
Setahun lebih kita dibayang-bayangi oleh pandemi. Ketika Desember 2019 kasus pertama dikonfirmasi di Tiongkok, dengan jumawanya kita mengatakan, “Ah, Corona nggak bakal masuk Indonesia. Kita makan nasi kucing, Corona takut!” Namun, ucapan itu tidak disertai penutupan Bandara internasional. Hingga kasus konfirmasi pertama di Indonesia diumumkan bulan Maret 2020.
Saat itu adalah masa menjelang UN. Tiba-tiba saja UN ditiadakan. Pembelajaran berubah menjadi daring. Kaget? Pasti. Tak hanya itu, proses PSBB juga memberikan dampak negatif yang luar biasa. Suamiku, sebagai pedagang sangat merasakan efek luar biasa itu. Dagangan sepi, tidak ada yang beli ke rumah. Karena orang begitu taat untuk tidak keluar rumah. Begitu juga kami. Sebulan, dua bulan masih oke-oke saja.
Memasuki bulan ketiga, mulai terasa sulitnya bagi kami. Tabungan sudah nggak ada, hanya mengandalkan gajiku sebagai guru di sekolah swasta. Suatu hari uang di dompet hanya cukup untuk makan satu hari saja. Lalu selanjutnya bagaimana? Tabungan sudah tidak ada yang bisa diambil. Bantuan sosial kami tak dapat. Mau pinjam ke keluarga atau teman? Malu! Bener deh.
Kami berdoa saja kepada Allah SWT. Meminta pertolongan, karena hanya kepada-Nya kami tidak perlu malu meminta. Namun, kita semua tahu tidak semua doa akan dikabulkan saat itu juga. Akhirnya aku memutuskan untuk meminjam di koperasi sekolah. Setidaknya tidak perlu malu ditagih karena sudah langsung dipotong setiap bulan. Alhamdulillah hidup terus berjalan.
Setelah PSBB mulai dilonggarkan, suami mulai mendapatkan orderan kembali. Dapur bisa menyala kembali. Berbekal pengalaman itu, aku mulai berhemat. Tidak membeli yang tidak diperlukan, meski terkadang tangan ingin selalu belanja. Rem, Tya, Rem! Ucapku selalu.
Pernah juga suatu hari di tahun ini, ketika kondisi pandemi mulai meruntuhkan ekonomi kita lagi dan tabungan mulai menipis. Tiba-tiba saja ada dana hibah untuk guru swasta turun. Alhamdulillah wa syukurillah. Rezeki memang kadang tidak terduga tapi pasti tepat waktu datangnya.
Pandemi mengajarkanku tentang harga diri. Semua orang pasti terkena dampaknya. Entah itu sedikit atau banyak. Akan tetapi, jangan sampai harga dirimu jatuh karena bermental pengemis. Memang saat sekarang banyak bantuan sosial bertebaran. Meski ada juga yang tidak tepat sasaran tetapi yang terpenting bukan kita yang begitu. Jika memang tidak layak mendapatkan, lepaskan saja. Insya Allah akan diganti dengan yang lebih baik.
Harga diri itu memang mahal. Tapi tidak selayaknya kita jual hanya demi harta yang tak seberapa. Aku selalu ingat perkataan Ibu.
“Nduk, kita boleh miskin harta tetapi tidak boleh miskin hati.”
Ya, efek domino pandemi pasti masih terasa hingga kini. Entah sudah berapa harta benda yang terpakai bahkan tergadai demi bertahan hidup. Yang terpenting kita bisa bertahan tanpa membebani orang lain, tanpa membuat sulit orang lain.
Photo by Thought Catalog on Unsplash