Goresan Penaku

Oleh: Dwyne

“Yang penting sudah dimulai dan selesai”, kata seorang teman yang sudah lama menggeluti dunia tulis menulis. Kalimat itu yang sering menjadi penyemangat agar aku terus bergerak untuk menghasilkan tulisan yang bagus, mudah dipahami yang pastinya butuh proses, usaha, dan kepercayaan diri. 

Ketika membaca tulisan teman-teman yang mengalir, dengan pemilihan kata yang tepat dan ide yang runtut, nyali ini semakin ciut. Jangankan menginspirasi, layak dibaca saja pasti hanya pembaca yang tahu he he …. Kalimat itu yang sering menjadi momok dalam hidupku.

Kata demi kata aku rangkai, lalu aku baca berulang-ulang. Biasanya ketika membaca untuk kesekian kalinya, akan muncul ide baru sehingga bisa membuat tulisan lebih mudah dipahami. Pemilihan kata yang lebih indah juga sering membuat tulisan tiba-tiba dihapus semua dan diganti dengan yang lebih puitis. Apa banyak yang tahu kalau banyak suka dan dukanya menulis?   

Memang benar, banyak tulisan yang baru beberapa paragraf akhirnya ditinggalkan. Dibiarkan tulisan itu menggantung tidak selesai. Lagi-lagi insecure menjadi musuh utama sebuah tulisan tidak selesai. 

Awalnya, aku sangat penasaran bagaimana kita bisa menerbitkan sebuah buku? Atau setidaknya hanya artikel saja bisa dipublikasikan? Sebuah cerpen yang sederhana sampai pada sebuah berita politik yang berat tetapi bisa tersampaikan maksud penulis kepada pembacanya. 

Beruntung saat itu ada status seorang teman yang menampilkan hasil menulisnya yang berupa antologi. Kuberanikan diri menghubungi secara pribadi. Alhamdulilah dia menyambut kegalauan hatiku dengan sabar sehingga membangkitkan keberanianku untuk mengirim sebuah karya. 

Sebenarnya saat itu aku malu karena terlalu banyak pertanyaan. Tapi hatinya begitu baik pada aku yang baru dikenalnya. Sampailah pada waktu, aku dikenalkan dengan sebuah group literasi di sebuah media sosial. 

Berawal dari sebuah tantangan menulis dalam lima belas hari pada saat pandemi Covid-19, Lockdown Writing Challenge (LWC). Tulisan pertama terinspirasi dari kenangan masa kecil. Beruntung aku mempunyai teman yang siap membaca, memberi saran dan membetulkan pemilihan kata serta ejaan baku yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sehingga, dengan bekal nekat, bismillah aku mengirim naskah pertamaku.

Saat itu ide terasa lancar karena aku berusaha menyingkirkan kekhawatiran. Benar-benar aku harus menekan perasaan dan siap jika ada yang mengejek dengan tulisanku yang masih amatir. Aku ikuti saja ide yang ada di kepalaku dengan mengalir. 

Baru aku sadari betapa pentingnya pelajaran mengarang mata pelajaran Bahasa Indonesia saat di sekolah dulu tentang bagaimana membuat ide dan kalimat-kalimat pokok. Aku tersenyum mengingat benci sekali rasanya saat itu kalau disuruh mengarang. Selain tidak suka menulis beberapa lembar juga susah untuk merangkai kalimat demi kalimat. Sekarang baru tahu manfaatnya. Membuat ide pokok disertai kalimat pokok sangat membantu proses penulisan agar runtut dan tidak kehabisan ide. 

Aku buat diriku nyaman dengan ide yang terlintas. Aku bertekad harus ada tulisanku yang bisa dimuat di media dan dibaca oleh banyak orang. Kritik dan saran tidak boleh membuat nyaliku ciut. Aku harus segera melangkah untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang penulis. 

Tulisan pertama tayang. Betapa bangga pada diri ini. Aku kirim ke group keluarga dan meminta untuk membacanya. Tulisan kedua, ketiga, mulai aku share ke teman-teman dekat dan group WhatsApp yang sekiranya mau membaca. 

Banyak tanggapan positif dari banyak teman. Aku semakin semangat untuk menulis. Ada yang berkomentar “tulisanya ringan, mudah dipahami.” Alhamdulilah semakin membuat aku bersemangat saja.

Beberapa kali tulisan tayang membuat diri semakin semangat. Ditambah dukungan keluarga dan teman membuat otak selalu berpikir untuk mencari ide yang bisa dirangkai menjadi sebuah cerita yang layak. Meski awalnya berdasar kisah nyata ternyata aku mulai bisa menikmatinya seperti sedang berbicara dengan seseorang. 

Akhirnya aku berusaha membuat cerita itu menjadi faksi. Ada beberapa bagian yang benar-benar terjadi tapi disisi lain juga banyak yang berupa khayalanku semata. Yang terpenting sebelum aku kirim ke redaksi pasti di edit oleh seseorang yang paham dengan penggunaan kalimat baku dan telaten memeriksanya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

  Tantangan untuk semakin menambah ilmu dalam tulis menulis membuat aku rajin mengikuti kelas-kelas kepenulisan. Tawaran untuk menulis antologi semakin banyak. Beberapa lomba menulis cerita pendek dan puisi aku coba ikuti. Alhasil puluhan buku antologi dan karya yang diupload di website membuat diri ini semakin percaya diri. Aku merasa semakin hidup karena mempunyai teman-teman yang semangat untuk membuat karya. 

Suatu hari aku beranikan diri untuk mengikuti akademi dimana itu berupa tantangan menulis cerita selama tiga puluh hari. Setiap harinya diminta upload di sebuah website minimal 500 kata. Awalnya ragu-ragu apa bisa mencapai target itu?

Meski aku sudah membuat ide-ide pokok pada setiap bab dan mengembangkanya menjadi beberapa kalimat penunjang tetapi membuat sebuah novel memang membutuhkan perjuangan, kesabaran dan keuletan. 

Sempat mau berhenti di pertengahan bulan karena terlalu menjiwai sehingga kawatir jangan-jangan pembaca akan berpikir buruk tentang ceritaku. Tetapi tekad untuk membuat buku solo ternyata lebih kuat. Apapun yang terjadi buku harus selesai. 

Peserta lain juga banyak yang tumbang. Rata-rata mereka kehabisan ide untuk ditulis. Tidak ada waktu untuk berpikir, merenung bagaimana melanjutkan ceritanya. Sebagian ada juga yang terlalu tinggi harapanya bisa menciptakan tulisan yang bagus dan laris dijual. Tetapi, membebani diri dengan target itu ternyata malah membuat cerita terasa tidak alami dan akhirnya malah tidak selesai. 

Ketika jalan buntu ada di depan mata melumpuhkan semangat maka aku berusaha mencari referensi dengan membaca beberapa karya orang lain. Hal ini sangat ampuh untuk memancing ide-ide baru dalam mengembangkan cerita pada setiap babnya. 

Akhirnya, satu bulan diskusi, merenung dan membaca buku-buku penunjang sampailah kepada target minimal buku bisa dicetak. Ada proses mengedit ulang, proses pre-order, membuat sampul dan beberapa proses lain sampai buku di tangan pembeli.

Benar-benar proses pendewasaan dalam menulis yang berliku tapi indah.    


Photo by Kenny Eliason on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *