Ramadan Merah Jambu

Oleh: Siti Atikah

Pernahkah kamu jadi pejuang Ramadan yang hidup di kos-kosan dengan uang saku yang diirit-irit? Kalau iya, berarti kita satu frekuensi. Senasib. Hehehehe. Hampir 20 tahun lalu, ketika masih unyu menjadi mahasiswi yang hidup di kos-kosan, Ramadan menjadi momen penuh suka duka. Suka karena saat santap sahur dan berbuka puasa itu riuh dengan celoteh dan ulah sesama penghuni kos. Duka karena jauh dari keluarga sehingga harus berjuang sendiri untuk bisa memiliki hidangan sahur maupun berbuka puasa.

Apalagi kalau jatah uang saku sudah menipis, otak langsung berpikir kreatif supaya perut bisa terisi dan ibadah puasa tetap terasa menyenangkan. Mulai dari cara mendekati teman satu kos supaya bisa ikut nebeng makanannya, cari uang tambahan dengan kerja sampingan, atau hunting tempat-tempat penyedia menu buka puasa gratis. Dari keterbatasan uang saku inilah, saya jadi teringat ada dua kekonyolan yang saya lakukan saat itu dan masih menyisakan tawa karena malu hingga kini.

Pengalaman yang pertama adalah saat hunting tempat buka puasa gratis. Kegiatan ini menjadi pilihan yang paling sering dilakukan. Dulu di kampus tempat saya meraih ijasah S1, UIN Jakarta, salah satu tempat favorit untuk hunting menu buka puasa gratis itu adalah bertandang ke Masjid Fathullah yang tepat berada di seberang kampus. Di sana setiap hari menunya berupa KFC, alias Kentucky Fathullah Chicken. Hehehehe. Saya dan salah satu kakak teman satu kos, Kak Ipung, sering kali hunting di sana. Supaya tidak terlalu terlihat hanya ke mesjid demi makanan, kami beberapa kali melanjutkan untuk shalat tarawih di sana. Mengapa tidak setiap hari? Yaaah, namanya juga anak muda, suka cari rakaat tarawih yang sedikit dan bacaan surahnya yang pendek saja. Nah, di mesjid ini, tentu untuk ikut yang 11 rakaat saja bisa hampir jam 9 malam baru selesai. 

Jadi, pernah pada suatu kali, saat saya dan Kak Ipung berniat hanya buka puasa dan shalat Maghrib saja di sana, kok ya ketika hendak berwudhu, saya malah amprukan dengan mantan kekasih yang hampir setahun tak bersua. Kami tak berbicara saat itu, hanya saling menatap kaget dan langsung beranjak ke tempat wudhu. Akhirnya, karena gengsi saya memutuskan untuk lanjut shalat tarawih di sana.

Untung Kak Ipung mengerti situasi saat itu dan bersedia menemani saya. Sungguh, ibadah hari itu tidak khusyu’ sama sekali. Biar pun tertutup kain pembatas antar laki-laki dan perempuan, karena posisi duduk saya agak ke tengah belakang, maka saya bisa melihat sang mantan dari kejauhan. Rupanya ia pun bolak-bolik menoleh kearah saf perempuan untuk melihat saya. Ampuuun, deh. Hingga ia pun terlihat ikut juga jamaah shalat tarawih di sana. 

Karena saya tak mau berkomunikasi lagi dengannya, maka saya dan Kak Ipung mengatur strategi untuk kabur dari mesjid saat putaran shalat witir tiba. Saat itu, saya mengawasi sang mantan hingga melakukan gerakan takbiratul ikram. Ketika jamaah lain juga melakukan witir, saya dan Kak Iim buru-buru keluar saf dan kabur dari mesjid, berjalan secepat mungkin menuju kosan yang jaraknya sekitar 15 menit berjalan kaki. Sembari jalan, kami pun tertawa tesengal-sengal mengomentari kekonyolan ibadah kami hari itu. Kabur dari mesjid hanya karena menghindari kisah lama yang belum kelar. Eeeaaaa.

Selain hal itu, pengalaman konyol saya yang kedua terjadi di tahun terakhir saya menghabiskan masa-masa kuliah pada semester 7. Saya getol mencari kegiatan tambahan untuk menambah uang saku atau dapat makan gratis. Mulai dari les privat, panitia acara, bahkan nge-MC di acara buka puasa saya lakukan. Saat itu Ramadan terjadi sekitar akhir Oktober 2003. Di masa itu, saya sempat menaruh hati pada salah satu teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang kegiatannya baru saja rampung pada akhir Agustus di tahun yang sama. Sebutlah namanya Iqbal. Dia sosok lelaki saleh, santun, dan tak banyak bicara ketika saya mengenalnya di KKN. Dia pun aktif sebagai salah satu remaja Mesjid Fathullah saat itu.

Kedekatan kami sebenarnya hanya karena kegiatan KKN, lalu diikuti dengan lokasi PPL (Praktik Pengajaran Lapangan) dan kegiatan mengisi materi Iqro’ di Mesjid Fathullah pada saat Ramadan yang kami lakukan bersama.  Rona-rona rasa merah jambu saat itu muncul di hati saya.Yaa, karena pertemuan kami yang cukup sering di ketiga kegiatan itu. Namun, sebenarnya rasa itu menyapa di hati ini hanya karena parasnya mirip dengan seseorang yang saya kagumi juga saat itu. Hahahaha. Kagum doang, bertepuk sebelah tangan, iya. 

Kala itu, Iqbal sepertinya tak tahu perasaan saya padanya. Semua kegiatan yang kami lakukan bersama berjalan normal, tak ada canggung dan sikap istimewa. Sama saja seperti teman lainnya. Namun, tahu kaan, namanya orang suka, pastinya akan cari-cari informasi tentangnya. Begitupun saya. Kebetulan, teman satu kos saya, Lela, adalah adik kelasnya Iqbal di jurusan yang sama. Maka, dari Lela-lah saya tahu hal remeh-temeh yang dilakukannya saat mereka kuliah di kelas yang sama. Rupanya saat itu Iqbal mengulang salah satu mata kuliah di kelasnya Lela. 

Hingga pada suatu akhir pekan, saya diundang teman untuk menjadi MC acara rangkaian puasa bersama IPNU (Ikatan Pemuda Nahdhatul Ulama) di daerah Jakarta Timur. Ketika Zuhur saya sudah di lokasi, sebelum acara dimulai, ada SMS masuk dari Iqbal yang menanyakan kesediaan saya untuk bersamanya menggantikan salah satu pemateri Iqro’ yang absen di mesjid hari itu. Aaah, sungguh galau rasanya ketika dapat SMS itu. Rasa hati inginnya meninggalkan lokasi ngeMC dan langsung kembali ke kampus demi bisa bersama yang sedang digandrungi. Namun, saya urung melakukannya dan hanya membalas SMS-nya berupa maaf. Ia tak menjawabnya. Saya pun baper dan menduga ia kecewa pada saya.

Selepas acara ngeMC selesai, karena sudah jam 8 malam, saya memilih menginap di rumah sepupu yang hanya berjarak 20 menit dari lokasi acara. Hingga jam 9 malam lebih, SMS saya tak dibalas oleh Iqbal. Maka, akhirnya saya curhat akan kegalauan hati saya kepada sepupu saya dan juga Lela, teman kosan saya melalui SMS. Beberapa kali SMS antara saya dan Lela berjalan aman. Namun, entah kenapa SMS terakhir yang justru berisi rasa hati saya pada Iqbal menjadi kekonyolan tak terlupakan. Ketika icon sending SMS masih loading, saya baru sadar SMS tersebut justru saya kirim ke nomor HP Iqbal. Aduuuuuuh… Paniklah saya sambil terus mengeluarkan kata “aduh gimana nih” hingga sepupu saya menertawai kebodohan saya tersebut. Yaaa, kali kalau Whatsapp bisa delete message. Nah, SMS mana bisa begitu. Setidaknya pada zaman itu tidak bisa, toh. Akhirnya, penanda “pesan terkirim” pun muncul di layar HP saya. Lemas seketika dan hanya bisa mematikan tombol off untuk mengindari respon yang saya tak siap menghadapinya.

Sungguh 2 kekonyolan kala Ramadan saat itu membuat saya belajar bahwa sesungguhnya menjaga hati ketika beribadah di bulan suci ini sungguh berat. Seharusnya saat itu saya bisa memilih untuk fokus saja menjalani ibadah Ramadan tanpa membawa-bawa kisah asmara receh yang tak jelas arah dan tujuannya. Karena seharusnya ibadah puasa itu tak hanya mampu mengendalikan urusan perut semata, melainkan harus mampu mengendalikan segala gejolak rasa, baik itu amarah, cinta, maupun nestapa. Bagi saya pribadi, hal ini masih terus saya perbaiki dari tahun ke tahun. Karena jujur, sungguh tak mudah mengendalikan hawa nafsu. Namun, bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Hanya butuh usaha lebih dan bertekad agar setidaknya jangan sampai puasa tahun ini nilainya sama saja atau bahkan lebih rendah dari puasa tahun sebelumnya. Insyaa Allah, kita semua bisa melakukannya. Aaamiin.

-Catatan Ramadan Atik-


Photo by Debby Hudson on Unsplash

One Comment on “Ramadan Merah Jambu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *