Oleh: Arya Noor Amarsyah
Awalnya semangat sekali menulis. Sebab isi tulisan teman yang dimuat harian ibu kota, saya juga mengetahuinya. Maklum kami berasal dari lembaga pendidikan yang sama.
Mulai secara perlahan mempelajari cara menuangkan ide, informasi ke dalam tulisan. Belajar sendiri tanpa guru atau mentor menulis.
Bermodalkan melihat dan memperhatikan tulisan yang sudah dimuat. Waktu itu disimpulkan alenia pertama bicara tentang sebab. Alenia kedua bahas tentang akibatnya. Kemudian diperkuat dengan contoh dan fakta di alenia-alenia berikutnya.
Lengkap sudah ‘persenjataan’ untuk menulis. Ide yang akan dishare sudah ada. Tekhnik menuliskannya juga usai dipahami. Tulisan sudah siap untuk dikirim ke harian ibu kota.
Semangat untuk menuliskannya bukan saja karena tulisan teman dimuat di harian ibu kota. Ada satu lagi yang membuat saya terdorong menuangkan ide lewat tulisan. Fee yang diterima, jika tulisan dimuat lumayan besar untuk ukuran waktu itu. Dua ratus lima puluh ribu untuk satu kolom kecil saja.
Perjuangan pun dimulai. Satu, dua, tiga, sepuluh tulisan dikirim. Tidak satu pun yang dimuat. Jelasnya kesal banget. Yakin ide sudah disampaikan dengan tulisan yang sistematis, tetap tidak dimuat. Walau tidak dimuat, tapi muncul percaya diri. Merasa sudah biasa menulis.
Hingga suatu ketika, ternyata harian itu juga menerima tulisan lucu.Tulisan lucu yang dimaksud di sini adalah tentang pengalaman kisah nyata yang lucu dan ‘memalukan’. Kebayang kan? Bukan memalukan dalam arti memalukan diri sendiri dan keluarga. Tapi memalukan dan lucu.
Saya pun membuat tulisan tentang pengalaman lucu dan memalukan itu. Ide tulisan ini dari pengalaman ketika pergi ke Bandung, kota tempat tinggal adik.
Adik dan keluarga istrinya sedang mengadakan acara. Otomatis pada saat itu banyak anak-anak yang datang. Timbul ide mau mengerjai mereka.
Ketika mereka sedang berkumpul, saya hampir mereka dan bertanya, “Siapa yang mau kwaci?” Anak-anak pun satu persatu berteriak ‘Saya om…saya…’
Mereka tidak menyadari bahwa pertanyaan itu hanya upaya mengerjai mereka. Saya tidak benar-benar ingin memberi mereka kwaci.
Saya pun meliuk-liuk telunjuk seraya berucap, “Kwacian deh loh…”
Permainan kata dengan memplesatkannya, dianggap berhasil mengerjai anak-anak. Saya pun pergi.
Tapi saya terkejut. Anak-anak itu masing-masing pergi ke orang tuanya, minta dibeliin kwaci. Mereka benar-benar ingin kwaci.
Adik yang melihat kejadian ini menghampiri saya dan bertanya, “Anak-anak itu kenapa?” Saya tersenyum malu.
Tulisan tentang pengalaman ini pun dikirim ke harian yang sama. Alhamdulillah tulisan itu dimuat. Betapa senang dan bangganya. Ternyata tulisan saya layak untuk dimuat. Tulisan saya dihargai orang lain baik dalam pengertian dihargai secara makna maupun secara materi.
Walau tidak sebesar fee tulisan kolom, namun ini menghibur sekali. Tulisan pertama yang dimuat ini menghapus kekesalan berpuluh-puluh tulisan yang ditolak. Dalam hati saya berucap, “Yes! Saya sudah bisa nulis.
Tapi belajar menulis tanpa guru, mentor, terasa kurang lengkap. Belajar dari yang telah berpengalaman dalam dunia tulis menulis, tentu akan menambah wawasan.
Maka pada tahun 2008, saya mulai bergabung pada komunitas menulis. Satu pelajaran yang amat bagi saya adalah ‘Menulislah Tiap Hari. Jika Hari Ini Tidak Menulis, Maka Statusnya Hutang dan Harus Dibayar Esok Hari.
Hal ini membuat saya selalu berupaya mencari bahan dan ide untuk menulis. Tiap hari harus menulis walau tidak memiliki ide, begitu kata mentor.
Bagaimana bisa menulis tanpa ide sedikitpun? Katanya, tulis saja, “Hari ini saya ingin menulis, tapi tidak ada ide. Buntu. Semua pengalaman kemarin sudah dituliskan. Pengalaman hari ini sudah pernah ditulis dan tidak ada yang menarik untuk dituliskan.”
Dengan menuliskan seperti itu, kewajiban menulis telah tertunaikan.
Bergabung dengan komunitas menulis, membuat saya bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Bisa saling cerita pengalaman, bisa berbagi informasi lomba, berbagi informasi kebutuhan naskah di suatu penerbit dan sebagainya.
Photo by 🇸🇮 Janko Ferlič on Unsplash