Ramadan Kala Itu

Oleh: Lisa Lestari

Ramadan tiba … ramadan tiba …

Yeayy, bulan yang penuh keberkahan sudah tiba. Saya yakin, semua umat muslim di seluruh dunia baik anak-anak atau orang dewasa pasti sangat menantikan bulan ramadan ini. Saya ingat betul, saat masih menjadi anak-anak, saya paling bahagia ketika mendengar ramadan sudah tiba. Bukan tentang puasanya, bukan! Saya yang masih anak-anak menyukai kedatangan bulan mulia ini karena ada beberapa kegiatan yang hanya dilakukan saat bulan ramadan.

Apa sih, yang saya sukai dari kedatangan ramadan ketika kecil dulu?

Ini loh, hal-hal yang paling saya nantikan setiap bulan ramadan tiba:

  • Mendapatkan amplop berisi uang

Lho, emang sudah lebaran?

Belum, tapi memang ini yang terjadi. Tradisi mengantarkan makanan ke rumah tetangga atau kerabat menjelang puasa, itu hal yang saya tunggu. Saya dengan semangat akan tunjuk jari mengajukan diri mengantarkan rantang makanan hasil masakan ibu ke tetangga dari satu rumah ke rumah lainnya. Niat aslinya mah, biar dapat angpaonya gede. Apalagi jika mengantarkan makanannya kepada rekan guru bapak. Pasti amplopnya lebih tebal. Hehehe …

  • Ibu pasti akan membuat makanan istimewa yang berbeda dari hari biasanya

Ini mah, yang paling dinanti saat sore hari. Ibu yang jago membuat camilan dan makanan ringan, selalu menyajikan makanan berbuka yang berbeda setiap harinya. Makanan yang dibuat ibu juga tidak dijual di pasaran. Ibu akan berkreasi dengan resep baru. Entah itu olahan kentang, ubi, singkong, atau waluh yang akan diubah oleh ibu menjadi makanan untuk kami, anak-anaknya.

Biasanya saya yang rajin bolak-balik ke dapur untuk menanyakan apakah makanan buatan ibu sudah matang atau belum. Lantas, saya akan menciium aromanya berulang-ulang. Bapak yang selalu mengingatkan saya kalau masih belum berbuka. Ini sungguh kegiatan yang menyenangkan.

  • Ibu tidak marah saat saya buat ulah

Kalau yang ini sih, kejahilan saya yang benar-benar saya pahami setelah menjadi ibu. Dulu, saat masih kecil, momen ramadan tuh bagi saya bisa dijadikan wahana untuk main lebih lama. Pergi ke sawah bersama teman-teman, mengambil sisa panen bawang merah atau panen apapun di sawah, atau melakukan kegiatan ikut mengupas kulit pohon di pabrik arang. Jika saya pulang sudah sore banget, ibu tidak akan marah-marah karena sedang berpuasa. Dan saya merasa aman sekali. (Duh, semoga tidak ditiru oleh anak saya)

  • Bapak akan mengajak kami rekaman bernyanyi bersama atau membaca buku bersama

Rekaman apa, nih?

Apa saja, bapak akan mengajak anak-anaknya berkumpul di ruang tengah. Awalnya bapak akan mengajak kami mendengarkan lagu anak-anak. Saya masih ingat, lagu dari Cica Koeswoyo menjadi andalan kami.

Setelah kami mendengar lagu tersebut, bapak akan memasang kaset kosong dan meminta kami satu persatu untuk bernyanyi ala penyanyi menirukan lagu yang telah kami dengarkan. Seru?

Seru sekali, kami akan tertawa gembira ketika lagu yang saya atau kakak nyanyikan salah liriknya. Bapak yang hapal lirik semua lagu. Kalau sekarang, mungkin karaoke kali ya. Berhubung tahun dulu belum ada, jadinya ya rekaman begini juga tak kalah serunya.

Terkadang, sambil menunggu waktu berbuka, bapak akan menceritakan kisah kerajaan kepada kami. Saya paling ingat dengan kisah Bandung Bondowoso, karena saya dulu pernah berangan ingin seperti Roro Jonggrang meminta candi sebagai syarat. Atau kisah tentang Anglingdarma yang membekas sampai sekarang.

  • Ada rutinitas naik sepeda bersama teman-teman usai salat subuh dan jelang buka puasa

Kalau ini, saya nggak pernah ketinggalan. Selesai salat subuh, saya pasti akan ngacir ambil sepeda dan bergabung bersama anak-anak lainnya untuk berkeliling naik sepeda. Saat matahari muncul, saya baru pulang. Berbeda dengan sore harinya, kadang-kadang saya menolak naik sepeda. Sebab bapak selalu punya cara agar sore hari saya tidak keluar rumah. Namun, ketika bapak ada acara lain dan tidak bisa bermain bersama kami, saya pun memilih bermain sepeda baeng yang lainnya.

  • Bisa berlama-lama dan sebentar-sebentar ke air

Duh, kalau ingat yang ini, asli saya ketawa. Melihat anak saya sering membuka kulkas saat puasa, saya jadi ingat saat kecil pun melakukan hal yang sama. Bedanya. Dulu ibu belum punya kulkas, jadilah bermain air sarana untuk mengusir rasa haus yang sering muncul. Terkadang. Pura-pura berkumur juga saya lakukan. Entahlah, apakah ikut tertelan atau tidak air yang saya gunakan berkumur tersebut.

  • Bisa reques ke ibu untuk membuat makanan kesukaan

Saat puasa bisa full satu hari, ibu akan memberikan pilihan pada saya agar memilih menu makanan kesukaan untuk berbuka puasa. Karena saya tahu, masakan ibu tidak ada yang tidak enak di lidah saya. Semua yang dimasak dari tangan beliau, sungguh akan menghasilkan makanan yang enak sekali.

  • Bisa keluar malam hari untuk ikutan taraweh

Ingat banget, saat kecil bapak dan ibu melarang kami bermain keluar setelah magrib. Tidak ada alasan apapun, pokoknya habis magrib semuanya ada did alam rumah. Bapak akan menjadi guru private kami.

Nah, saat ramadan, aturan ini tentu saja tidak berlaku. Bapak dan ibu mengizinkan kami keluar rumah dan ikuut salat tarawih di musola terdekat. Hal ini tuh, bikin saya seneng banget, karena bisa sekalian bertemu teman-teman pada malam hari.

Hmm … banyak juga ternyata ya, hal-hal yang saya sukai ketika ramadan tiba pada saat kecil dulu. Namun, ada satu yang membuat saya merasa bersalah hingga besar. Saya pernah membuat jari ibu tertusuk jarum jahit ketika bulan puasa.

Ibu yang juga bisa menjahit, memang suka menerima jahitan. Pada siang hari bulan ramadan, ibu menjahit baju pesanan orang. Waktu itu, saya masih belum berpuasa. Entahlah, saya lupa kelas berapa. Saya yang mulai merasa lapar, meminta ibu untuk menggorengkan telur buat teman makan siang. Berkali-kali saya mengucapkan kata-lata tak sabar pada ibu. Padahal ibu sudah bilang, tunggu dulu.

Rupanya saya yang tak sabar, mulai menghampiri ibu dan minta beliau agar segera membuatkan telur sambil merengek. Namun, tiba-tiba ibu berteriak kesakitan dan menangis. Saya melihat jari ibu tertusuk jarum dari mesin jahit. Darah yang keluar juga banyak. Saya ikut menangis, tapi sambil keluar rumah memanggil bapak yang masih ada di sekolah. Bapak pun segera membawa ibu ke rumah sakit. Ketika tetangga datang untuk membuatkan telur goreng, saya bilang sudah tidak ingin makan. Saya terbayang terus wajah ibu yang kesakitan saat bapak memotong jarum jahit yang menusuk jari ibu.

Kala itu, saya sungguh merasa bersalah sekali pada ibu. Seandainya saya bisa bersabar menunggu ibu menyelesaikan jahitannya, jari ibu tidak akan tertusuk jarum dan tidak perlu ke rumah sakit. Berbagai andai keluar dari mulut saya. Meskipun bapak dan ibu tidak memarahi saya, tapi sejak itu saya belajar satu hal. Saya akan sabar menunggu ibu jika meminta sesuatu.

Saya pernah mengingatkan ibu tentang hal ini ketika sudah besar. Ibu hanya tersenyum dan mengatakan sudah melupakan kejadian tersebut. Saya langsung memeluk beliau dan kembali meminta maaf. Rasa bersalah yang membuat saya tidak bisa tenang.

Ramadan memang selalu membawa kenangan terindah buat saya. Kenangan bersama almarhum bapak dan ibu, yang tidak bisa lagi saya lakukan saat bapak pergi meninggalkan kami sebelum kami beranjak besar. Kegiatan yang menyenangkan saat menunggu berbuka, tidak bisa lagi kami lakukan. Setiap ramadan setelah bapak pergi, kami yang hanya tinggal bersama ibu, menatap meja makan dan mengingat kehadiran bapak. Lalu kami akan bersama-sama mendoakan bapak agar tenang.

Saya masih ingin mengulang masa kecil ramadan tersebut sambil tersenyum. Membayangkan bapak yang mengajak bernyanyi dan mendengarkan cerita. Ini yang saya lakukan sekarang bersama anak-anak. Membacakan cerita buat mereka sambil menunggu waktu berbuka. Semoga anak-anak memiliki kenangan yang indah seperti ibunya dulu saat ramadan tiba.


Photo by Henry & Co. on Unsplash

One Comment on “Ramadan Kala Itu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *