Orang Dewasa Itu, Terlalu Serius Memikirkan Bulan Ramadhan

Oleh: Julianto R.

Ketika kita mendengar kata “anak-anak”, manusia pada umumnya sudah pasti akan tergambarkan, terbayangkan, tervisualkan di dalam benak mereka sebuah komunitas yang penuh dengan keceriaan, kebahagiaan, dan canda tawa. Entah itu anak orang kaya atau anak kaum duafa. Entah itu mereka yang hidup dalam dekap hangat keluarga atau mereka yang tak punya siapa-siapa. Yatim piatu, anak jalanan, anak pemulung, anak guru, anak pembantu, anak majikan bahkan anak jendral semua terbalut dalam satu nuansa yang sama. Bermain, bercanda, berteman penuh suka cita. Intinya, anak-anak siapapun dan dalam kondisi apapun selalu terselimutkan dengan nuansa ceria dan penuh canda tawa.

Seiring berjalanya waktu, anak-anak akan bertumbuh menjadi dewasa. Menjadi sumberdaya manusia pengganti generasi sebelumnya. Kebanyakan generasi-generasi pengganti ini, saat menggantikan para senior, orang tua bahkan leluhur, mereka juga menggantikan setiap gagasan, ide, pola pikir bahkan ideologi yang baru. Maka terjadilah perubahan zaman yang sangat dinamis disetiap regulasi pemain biosfer muka bumi.

Hal baru itu merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan perjalanan pengalaman kehidupan para agen perubah dalam memasuki masa matang, atau masa dewasa dalam arti yang sangat luas. Namun pada masa dewasa, faktanya tidak semua hal mengalami perubahan. Tidak semua hal berganti dengan yang baru. Masa peralihan seorang manusia dari masa kanak-kanak menjadi masa dewasa selalu mengorbankan satu hal. Fase pengorbanan inilah yang tidak tersentuh dengan sesuatu yang baru itu. fase pengorbanan akan selalu ada dalam perjalanan tumbuh manusia dari masa kanak-kanak menjadi masa dewasa. Sekali lagi, fase pengorbanan adalah satu hal yang tidak berubah dari proses pertumbuhan manusia

Hal yang kerap menjadi korban dalam peralihan status individu ini yang menarik perhatian. Hal yang menjadi korban itu adalah suasana dan nuansa keceriaan. Hilangnya gairah canda tawa kebahagiaan dan pertemanan.

Orang dewasa menjadi terlalu serius. Mereka menjadi sosok yang selalu penuh dengan perhitungan dan pertimbangan, baik dalam sudut pandang yang benar ataupun salah. Baik dalam kapasitas yang besar maupun dengan wawasan yang pas-pasan. Mereka mulai serius saat terjadi pertikaian dan perselisihan pendapat, tidak seperti anak-anak mereka saat berkelahi. Permusuhan anak-anak mereka hanya bertahan dalam hitungan jam, namun bagi orang tua mereka yang menjadi orang dewasa, pertikaian ini bisa memakan waktu hingga tahunan, bahkan selamanya.

Bagi sang anak, pertikaian mereka hanyalah pertikaian salah menghitung jumlah kelereng. Namun bagi orang tua mereka, pertikaian ini merupakan pertikaian tentang harga diri, pertikaian tentang hegemoni, penokohan dan banyak hal lain yang terlalu melebar akibat sikap mereka yang terlalau serius. Orang dewasa banyak membebani diri mereka sendiri. Mereka terlalu banyak mengambil pertimbangan hal yang tidak terlalu perlu, bahkan pertimbangan “apa kata orang nanti?”

Hal ini yang menjadi perbedaan yang terasa begitu jauh tentang sudut pandang bulan penuh berkah ini. Tentang bulan dimana seharusnya setiap manusia muslim dewasa menginginkan semua bulan menjadi seperti ini. Bulan Ramadhan. Kacamata anak-anak tentang bulan Ramadhan sangat jauh berbeda dengan kacamata orang dewasa.

Sejatinya bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh akan keberkahan. Bulan yang seharusnya dijalankan dan diresapi dengan penuh kebahagiaan, terlebih pada waktu penghujungnya, yakni saat tiba tanggal satu syawal. Seharusnya semua manusia muslim bahagia, baik miskin maupun kaya, baik tua maupun muda dan anak-anak maupun orang dewasa.

Ironisnya tidak semua orang dewasa bisa berbahagia saat bulan Ramadhan tiba. Bukan karena bulan ini tidak cocok bagi mereka. Orang dewasa yang tidak bisa berbahagia saat bulan penuh berkah ini tiba, karena mereka terlalau serius menanggapinya. Mereka terlalu memperhatikan hal-hal teknis yang bukan mendasar. Sehingga mereka menghilangkan nilai arti sesunggunya bulan suci ini. Tidak semua manusia dewasa pastinya, namun saat ini menjadi fenomena pada umumnya.

Bagi anak-anak, bulan Ramadhan menjadi bulan yang penuh dengan suka cita. Bulan di mana petasan dan kembang api tiba. Bulan dimana kami dulu sewaktu kanak-kanak bisa dengan bebas bergadang hingga sahur tiba. Lalu kami berkeliling sambil memukul-mukul benda apapun yang bisa membuat bunyi nyaring sambil berteriak-teriak. Berteriak kegirangan bukan karna makna teriakan itu, tapi karna ahirnya kami bebas berekspresi. Kata-kata “sahur” yang kami teriakkan hanyalah sebuah topeng, sebuah modus operandi kami untuk melepaskan sesuatu yang selama ini tertahan oleh penjara etika. Kami merasa bebas, kami merasa lepas, seolah saat itu kamilah pemilik dunia.

Belum lagi saat sore menjelang magrib tiba. Lagi-lagi kami, para anak-anak, sekali lagi merasa bahagia. Santapan yang selalu menggugah selera terhidang di meja. Bukan sebuah santapan yang benar-benar istimewa, santapan yang hanya hal-hal yang memang biasa ada dalam kehidupan kami sehari-hari.

Rajangan sayur kol dan wortel, lalu sejumput toge berkecamuk dalam tepung terigu yang tergoreng hingga menguning. Itu makanan biasa yang banyak bertebaran di kantin sekolah kami saat hari biasa. Tapi entah kenapa saat di bulan suci itu, terasa begitu berbeda. Segelas teh manis hangat juga bukan sesuatu yang tidak lazim dalam hari-hari biasa kami, dan entah sekali lagi kenapa di bluan itu terasa begitu istimewa.

Selepas solat magrib, kami bisa berkumpul tepat waktu di satu tempat yang tanpa ada kesepakatan tertulis sebelumnya. Kami berkumpul dengan wajah ceria, dengan canda tawa. kami bisa datang di tempat dan waktu yang tidak perlu kami ikrarkan bersama. Kami datang, tanpa janjian dengan wadah aplikasi media sosial, tanpa perantara gawai, tanpa pulsa, semua terjadi begitu saja seolah kami bak dua sejoli yang sehati dan sejiwa. Malam Ramadhan malam penuh petualangan.

Sengaja mencari masjid yang agak jauh dari rumah kami, bukan karna ingin mendapat besarnya pahala, tapi agar kami bisa bercanda dan tertawa tanpa gangguan orang dewasa. Terkadang kami solat tarawih seperti biasa, namun tidak jarang solat tarawih hanya pembuka, lalu kami berhambur bermain bersama. Petasan, berlari-larian, bahkan bermain sepeda.

Hari puncak pun tiba. Saatnya hari raya, setelah semalaman kami berpesta pora. Berpesta dengan bubuk mesiu dalam bentuk kembang api dan petasan. Terkadang kami berarak berkeliling jalan sekitar wilayah kami sambil membawa bedug dengan gerobak dorong. Sempat pula ikut keliling kota dengan mobil bak terbuka, tentunya dengan bedug pula.

Sebagian kami begitu semangat menabuh bedug-bedug itu layaknya genderang peperangan. Sebagian kami sibuk membakar petasan dan melempar-lemparkan di sekitar kami. Sebagian dari kami juga ada yang hanya menikmati keadaan sekitar, benar-benar menikmati. Tak lupa lantunan takbir, entah lantunan atau teriakan, tersa sama, selalu menggema. Ya, memang benar, lagi-lagi takbir itu juga sebagai modus operandi kami membebaskan diri berekspresi. Sungguh sebuah petualangan hebat, kami benar-benar larut dalam suasana yang meriah, bahkan terlihat sedikit anarkis juga. Malam takbiran di ibu kota, memang selalu begitu zaman dulu, zaman sebelum tahun dua ribu.

Malam takbiran menjadi satu momen ibadah yang luar biasa. Walau pada kenyataannya kami lebih melihat suasana karnaval pesta pora ketimbang suasana ibadah dalam lantunan takbir kemenangan. Realitanya kami lebih melihat luapan emosi manusia. Kami lebih melihat luapan emosi sekumpulan manusia bak kaum yang berhasil memenangkan peperangan besar pada abad pertengahan, ketimbang suasana khidmat ibadah. Tapi kami masih kanak-kanak, kami tidak punya sesuatu yang terlalu serius, kami tetap ceria, tetap bahagia, dengan canda tawa.

Kembali lagi kepada waktu titik puncak. Hari dimana umat muslim dalam perayaan besar mereka. satu syawal. Kali ini tanpa ada nuasa petualangan, tanpa ada modus operandi, tanpa ada luapan emosi jiwa. Hari ini hampir seluruhnya kembali dalam keadaan khidmat. Kami para anak-anak, mereka kaum dewasa, semua dalam satu rasa, pengakuan dan penyesalan yang berujung saling memaafkan. Sungguh khidmat, kami merasakan kesakralan hari raya, bahkan untuk kami para anak-anak.

Bukan lah anak-anak kalau tidak penuh dengan rasa ceria dan canda tawa. kami tetap tersenyum lebar, kami tetap bahagia. Bagai mana tidak, semua orang dewasa dengan suka rela memberikan uang mereka, tanpa sebab. Setidaknya saat itu kami tidak tau apa sebabnya. Belum lagi kue-kue dan makanan saat kami berkunjung ketetangga. Bagi kami para serdadu anak-anak, inilah yang membuat kami ceria. Ramadhan dan Idulfitri, bagi kami benar-benar seperti sebuah perhelatan akbar dengan durasi yang sangat panjan. Perhelatan tiga puluh hari lamanya.

Begitulah mereka para serdadu anak-anak. Tidak ada momen yang tidak diisi dengan kecerian, kebahagiaan dan canta tawa. jauh berbeda dengan orang dewasa. Sekali lagi memang tidak semua, namun selalu saja ada dalam jumlah yang tidak sedikit.

 Saat mulai dewasa kita akan bertemu seseorang yang justru berkeluh kesah dengan datangnya bulan mulia ini. Bagi mereka bulan Ramadhan adalah bulan pembatasan dan bulan penuh beban.

Tidak ada lagi semangat petualang malam menjelang pagi dengan modus operandi “sahur”. Yang ada hanya keluh kesah terganggunya waktu istirahat mereka. Tiada lagi rasa serunya petualangan saat tarawih tiba, yang ada hanya beban tambahan setelah siang bekerja. Bekerja dengan menahan haus dan lapar.

Saat kita melihat dijalan-jalan, di terminal, di pasar, di pusat keramaian, selalu saja ada orang dewasa yang mengeluhkan bulan ini. Selalu saja ada orang dewasa yang seolah-olah menantang dan memberontak akan perhelatan akbar dengan durasi terlama ini. Sangat mudah di ibu kota kita lihat orang-orang dewasa yang sengaja makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan. Mereka tanpa malu, tanpa rasa takut, bahkan tanpa rasa sungkan, begitu satainya menenggak, bukan lagi menyerumput minuman mereka. Kopi hangat atau es teh manis di pinggir jalan, di pinggir pasar, di pinggir terminal, atau di sudut-sudut tertentu pusat keramaian mereka telan disiang bolong bulan Ramadhan.

Bagi mereka Ramadhan hanya beban. Mereka terlalu serius merasakan haus dan lapar. Mereka terlalu serius menanggapi pekerjaan mereka sehingga lebih mementingkan pekerjaan mereka ketimbang ibadah puasa. Dengan alasan bekerja di jalan, bekerja di tempat terbuka, bekerja di bawah terpaan mata hari yang entah kenapa saat di bulan Ramadhan terasa lebih menyengat dari bulan lainnya. Mereka membenarkan diri untuk tidak berpuasa, sekalipun mereka seorang yang mengaku muslim, dewasaa, sehat dan tanpa ada uzur atau halangan.

Belum lagi bagi kepala keluarga, mereka terlalu serius memikirkan hal-hal yang bukan sesuatau mendasar, dan ahirnya menjadikan hal itu menjadi beban bagi mereka sendiri. Saat bulan suci ini tiba, mereka justru bingung dengan sesuatu yang seharusmya tidak perlu difikirkan secara serius. Anggaran tambahan untuk berbuka, anggaran tambahan untuk pulang kekampung halaman sekeluarga, anggaran sawer uang lebaran, anggaran baju baru sekeluarga, ketupat, bikin rendang, opor, kue lebaran, dan entah berapa ratus hal lagi yang semuanya menjadi beban. Beban yang mereka ada-adakan.

Saking terlalu seriusnya orang dewasa memikirkan beban yang tidak jelas kebenarannya sebagai beban, sampai-sampai sebuah bait lagu muncul dalam mengekspresikannya. Sekilas bait lagu ini terdengar hanya seperti sebuah seloroh. Kenyataannya, secara emosional bait lagu ini benar-benar mewakilkan perasan orang dewasa yang terlalu serius memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu terlalu difikirkan. Bait lagu ini benar-benar menjadikan Ramadhan hanya sebuah fase penuh beban yang berlangsung sangat panjang.

“Ramadhan tiba..”

“Ramadhan tiba..”

 “tiba-tiba Ramadhan…tiba-tiba Ramadhan”

“tiba-tiba Ramadhan…tiba-tiba Ramadhan”

Bulan yang seharusnya paling dinanti seluruh manusia dewasa yang mengaku muslim, beralih menjadi bulan yang sangat ingin dihindari. Sekali lagi, tidak semua manusia muslim dewasa seperti itu memang, tapi kaum-kaum itu tetap ada, dan jumlahnya tidak sedikit. Manusia dewasa mambuat Ramadhan menjadi beban, karena mereka sendiri yang menjadikan Ramadhan itu sebagai beban. Entah mereka memang terlalu serius dalam berperilaku, atau memang kurangnya ilmu pengetahuan Ramadhan saat mereka serius memikirkan bulan Ramadhan.


Photo by Robert Collins on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *