Oleh: Lia Nathalia
“Si Abdul sudah di Amerika, Sist. Sudah sekitar dua bulan. Lewat jalur biasa, bukan sponsorship. Alhamdulillah banget ya,” kata Ira. Terdengar suaranya begitu riang di seberang sana.
“Abdul yang mana?” tanyaku masih bingung.
“Abdul, Abdul itu lho, yang bantu kita jadi penerjemah,” jawab Ira.
Pikiranku belum menyatu dengan raga. Aku belum menemukan sosok Abdul yang mana yang dimaksud dalam ruang memoriku sore itu.
Kuiyakan saja ocehan Ira, semata-mata karena tak mau membuatnya kesal, nanti bisa menurunkan imunitas tubuhnya. Apalagi yang kutahu, Ira sedang flu.
“Kata Abdul, dia akan tetap bantu kita. Tinggal dihubungi saja dan kita atur waktu, supaya cocok dengan waktu luangnya. Apalagi sekarang dia sudah di Amerika,” jelas Ira panjang lebar, yang hanya mampu kuiyakan, masih dalam mode bingung.
Butuh beberapa hari kemudian barulah aku dapat mengingat Abdul mana yang dimaksud Ira hari itu. Itupun terjadi secara kebetulan saat aku membuka-buka berkas kasus yang sedang kami tangani.
Sekarang aku pun merasa senang, ternyata Abdul yang dimaksud, beberapa kali membantu kami sebagai penerjemah, ketika harus berinteraksi dengan mereka yang mencari bantuan hukum namun tak bisa berbahasa Indonesia. Aku juga jadi tahu, untuk perkara mana saja kami akan memerlukan Abdul atau harus mencari penggantinya, jika Abdul memang tak punya waktu.
Setidaknya ada rasa sukacita mengetahui ada di antara orang-orang seperti Abdul, para pengungsi dari luar negeri, yang akhirnya berhasil tiba di negara baru, setelah bertahun-tahun tinggal di negara transit seperti Indonesia. Sukacita serupa tentu dirasakan pula oleh kawan-kawan lain yang aktif membela hak-hak para pencari suaka ini.
Hari-hari ini, satu saja dari belasan ribu pengungsi dari luar negeri ini menerima penempatan di negara baru, aku dan kawan-kawan termasuk Ira benar-benar berasa seperti berhasil keluar dari lubang jarum atau laiknya menemukan emas berkilogram, mengingat makin sulit resettlement bagi mereka atau negara penerima, termasuk Amerika memperkecil peluang menerima warga negara baru melalui jalur pencari suaka.
Rasa sukacita yang kurasakan tak berlangsung lama karena kesedihan di hati datang menggantikannya. Abdul memang sudah tiba di negara baru, tempat mimpi-mimpinya mungkin akan segera diraihnya. Memulai hidup baru sebagai warga yang diakui di sebuah negara itu sangat berarti. Abdul bisa memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia setidaknya, selain hak untuk hidup. Ia bisa melanjutkan pendidikannya bila ingin, ia bisa bekerja, bisa bepergian dan yang terpenting memiliki identitas yang jelas.
Tapi bagaimana dengan belasan ribu orang lainnya yang masih terus memupuk asa di Indonesia, berharap suatu hari mereka akan mendapat kejelasan seperti Abdul, diterima atau tidak di negara baru?
Kegembiraan karena kabar resettlement seorang pencari suaka atau pengungsi dari luar negeri tak bisa kubagikan dengan banyak orang. Hanya sedikit orang seperti Ira, Pingkan dan teman-teman seperti di perkumpulan SUAKA adalah orang-orang yang bisa kukabarkan hal seperti ini. Bagi banyak orang di antara lebih dari 274 juta rakyat Indonesia, mereka tak paham.
Aku juga tak bisa bercerita banyak di rumah soal ini. Saudara-saudara angkat kami, sudah bertahun-tahun hidup di Indonesia tanpa kepastian masa depan. Setiap saat kami harus terus menyemangati mereka untuk tetap memelihara asa bahwa suatu hari, walaupun entah kapan, mereka akan pergi ke negeri baru untuk menenun lembar baru masa depan.
“Buatku, kalau pemerintah Indonesia membuka kesempatan bagi kami untuk jadi warga negara di sini, tentu aku mau,” ungkapan seperti ini sering kudengar dari kawan-kawan pengungsi dari luar negeri. Dan selalu kutanggapi perkataan seperti itu dengan jawaban normatif bahwa pemerintah Indonesia bukanlah pihak pada Konvensi PBB tentang Pengungsi. Ditawari menjadi warga negara oleh pemerintah Indonesia tentu adalah sebuah mimpi yang sangat jauh dari kemungkinan menjadi nyata.
Pilihan penempatan di negara baru yang adalah negara-negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut juga bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Apakah mungkin saat mereka sudah tua renta, ketika masa produktifnya sudah lewat dan mereka menjadi jiwa-jiwa yang layu, barulah ditempatkan di negara baru? Entahlah.
Saat ini mimpi berada di negara baru, mendapat perlindungan hak-hak dasar bagi pengungsi dari luar negeri masih merupakah mimpi dalam sebuah tidur yang panjang dan tak tahu kapan akan berkesudahan. Apalagi menjadi warga negara Indonesia, ini sebelas dua belas dengan mimpi ke negara baru. Bahkan untuk divaksinasi saja, pengungsi dari luar negeri harus berada di antrian paling akhir dan menunggu belas kasihan dari para dermawan karena negara tak mau menanggungnya.
Semoga asa mereka tetap terjaga, walau untuk masa depan yang tak pasti.
Photo by Julie Ricard on Unsplash