Cerpen Lufti Avianto: Namaku Tedy

“Jangan menatapku seperti itu…” suara lelaki paruh baya itu terdengar lirih. Mukanya terlihat keruh. Terlihat kontras dengan kemeja putih yang disetrika licin dan rambutnya –yang didominasi warna perak- yang kaku disisir ke belakang karena kebanyakan pomade.

Lelaki yang dalam hati aku panggil papa itu, menatapku lagi untuk kali kedua, sebelum akhirnya ia letakkan tas kerja kulitnya ke sofa.

“Baiklah, aku bacakan satu cerita kesukaanmu. Tapi jangan kau menatapku seperti itu…” seolah ia membaca raut wajahku yang dianggapnya memelas dan memintanya untuk membacakanku cerita.

Sepatu pantofel yang sudah ditentengnya, diletakkan kembali ke sudut teras, lalu menyambar satu buku di rak buku dekat televisi, yang menurut dia, paling aku sukai. Ia lalu menggendong, lantas merebahkanku di pangkuannya. Ia mengambil posisi di satu sudut sofa, sehingga punggungnya bersandar sempurna.

“Ini ayah penguin. Ini ibunya. Ini anak-anaknya…” jari-jemarinya mulai membuka lembar pertama buku yang disambut gambar sekawanan penguin di benua penuh es.

Tentu saja aku tak bisa membedakan mana yang disebut ayah, ibu bahkan anak-anak penguin. Tak ada bedanya, pikirku. Ia melanjutkan celotehnya tentang kehidupan penguin, sebangsa burung yang tak bisa terbang itu. Tentang ayah penguin yang bergantian mencari makan, sementara ibu penguin menjaga anaknya.

“Begitu bergantian,” papa membaca dengan suara yang agak keras. Mungkin ingin menyindir pasangannya, seorang perempuan paruh baya yang tengah sibuk di sudut dapur, di ruang sebelah, yang ia sebut “Mama” untukku.

Mama hanya menggeleng-geleng iba menyaksikan tingkah suaminya. Wajahnya tak lagi menampakkan cahaya, sejak enam bulan terakhir. Lebih banyak kusaksikan, wajah yang muram, meski aku tahu, ia berusaha tegar dan sekuat tenaga untuk tetap tersenyum.

“Kau suka cerita ini?” raut wajah papa terlihat ceria dengan seulas senyum di bibirnya, ketika halaman terakhir buku itu selesai dibaca. Sorot matanya seperti sinar mentari pukul dua belas siang, begitu kuat dan bertenaga.

Aku hanya diam mematung. Tak sepatah katapun keluar dari bibirku, yang dia artikan justru aku sangat menyukai cara papa berkisah. Ia pun tersenyum kian lebar, lalu mengelus-elus kepalaku.

Detik-detik kemudian, aku sudah hapal benar, papa akan pamit untuk berangkat kerja, lalu mengecup keningku, merebahkanku di satu sudut sofa. Adegan berikutnya, mama akan menahan suaminya itu sebentar, untuk mengajak sarapan terlebih dahulu. Lalu papa setuju, membopongku lagi ke meja makan sambil menikmati sarapan diselingi cerita.

Obrolan pagi selalu membahas topik yang sama. Papa selalu mengajak mama membicarakan rencana pendidikanku, apakah aku akan disekolahkan di sekolah berasrama, atau home schooling saja. Papa ingin, agar aku home schooling saja, agar mereka berdua bisa menjadi guru bagiku secara bergantian. Tapi papa beranggapan, mama lebih memilih sekolah berasrama, agar aku lebih mandiri. Dan obrolan itu selalu berakhir pada keputusan mama yang akan mengalah pada pilihan papa. Afegan berikutnya, papa akan memberikan piring kotor sisa makannya kepada mama sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

Kemudian papa akan pamit berangkat kerja, merebahkanku di sofa, dan beberapa langkah setelah keluar rumah, ia akan berbalik dituntun Suster Ana, perawat muda yang membantu merawat papa, untuk kembali ke rumah.

“Yuk, Bapak istirahat dulu, nanti main lagi sama Tedy,” suster muda itu membujuk papa, menuntunnya masuk kamar.

Begitu rutinitas pagiku enam bulan ini, tak berubah.

***

Sepasang manusia paruh baya yang disebut papa dan mama untukku itu telah menikah sejak lama. Aku menerka, mungkin sekitar tiga puluh tahun mereka bersama. Sama seperti kebanyakan dua insan yang bersatu dalam ikatan pernikahan, kehadiran seorang anak begitu didambakan dan dianggap sebagai penyempurna kebahagiaan. Tahun demi tahun, hingga ia berbilang banyak, kehadiran buah hati itu tak juga hadir pada rahim mama.

“Kalian sudah periksa ke dokter?” pertanyaan itu yang sering meneror papa dan mama. Pertanyaan yang diputar berulang-ulang, tak hanya oleh keluarga dan kerabat, tetapi juga oleh kawan dan sahabat dekat, yang merasa prihatin dengan pernikahan mereka.

Pertanyaan yang justru lebih sering bernada sinis dan menyakitkan, ketimbang terdengar sebagai bentuk empati. Keduanya makin tertekan. Apalagi, pihak keluarga mama sering menyebut papa sebagai lelaki mandul yang tak berguna. Baik secara terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi pada acara arisan, hajatan, atau di grup Whats’App keluarga. Perlakuan semacam ini yang berlangsung puluhan tahun, membuat papa justru makin terjerembap pada depresi.

Keadaan itu makin memukul psikologi papa setahun terakhir ini. Emosi papa menjadi tidak stabil, sering berteriak dan tertawa dalam jarak waktu yang berdekatan, lalu menangis tersedu atau tersenyum-senyum sendiri. Dan karier papa sebagai salah satu manajer di sebuah perusahaan konstruksi, benar-benar terhenti enam bulan terakhir ini, ketika ia tak lagi mengenali dirinya, dan hanya mengenali mama, aku dan Suster Ana.

Aku pernah mencuri dengar, ketika mama berkeluh kesah pada Suster Ana yang telah bekerja delapan bulan terakhir, bahwa papa sering sekali bermimpir buruk, mengigau kalimat yang sama secara histeris, “Aku tidak mandul… Aku lelaki normal…” dalam tidurnya, lalu terbangun dengan tubuh bermandi keringat.

Dari cerita itu pula, aku tahu, mama sudah berusaha berobat ke dokter manapun di kota ini, atau dukun yang terdengar tak masuk akal, agar papa bisa sehat seperti sedia kala. Namun usaha itu selalu menemui kegagalan.

Dan Suster Ana, kini menjadi teman cerita mama satu-satunya untuk tak hanya sekadar mengurai cerita, melainkan meringankan beban di hatinya.

***

Aku lupa kapan persisnya keberadaanku di tengah papa dan mama. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, saat aku melihat keduanya masih baik-baik saja. Yang aku ingat betul, kehadiranku pada sebuah makan malam yang temaram dan romantis di sebuah restoran di kota ini saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan.

Saat itu, papa menghadiahkanku pada mama. Dari sana aku mulai tahu bahwa papa adalah lelaki romantis dan mama adalah perempuan yang suka diperlakukan dengan manis. Mereka terlihat saling mencintai dengan senyum dan kata cinta yang tak pernah absen dari bibir mereka. Sejak itu pula, aku bisa merasakan energi cinta dari keduanya yang seolah tak habis-habis.

Namun, energi cinta itu seolah perlahan meredup ketika mama mulai merasa papa lebih emosional. Mereka tak lagi hangat saat bercengkerama. Tak lagi kulihat, papa mau makan sepiring berdua sebagaimana biasa, serta selalu terlibat perang kata-kata. Saling menyudutkan, dan seolah berhadapan dengan musuh di depan mata. Aku tak tahu penyebabnya. Aku hanya sering melihat, papa menunjuk-nujuk dadanya sendiri, seperti menahan sakit, tapi bukan sakit betulan karena setelah itu, papa hanya duduk di sofa, memelukku dan puasa berkata-kata.

Sejak papa mulai didiagnosis penyakit itu, aku lebih sering ditimang-timangnya. Papa juga sering mengajakku berbicara entah mengenai apa, mengajakku berjemur saat matahari pukul tujuh pagi agar aku sehat katanya, atau membacakan buku cerita pada pagi hari sebelum ia merasa harus berangkat kerja, lalu membatalkannya ketika merasa melihatku memelas padanya untuk dibacakan cerita.

Sejak itu, aku lebih sering merasa sepi dan dingin. Tak sekalipun aku melihat keduanya merasakan cinta, seperti yang pernah kurasakan saat pertama kali hadir pada dua insan ini.

***

Ting nong…

Suster Ana bergegas membukakan pintu. Ia mendengus kesal, sambil bergumam siapa yang datang saat waktu istirahat setelah makan siang ini. Dari sudut sofa, aku bisa menyaksikan, Suster Ana menyebut nama yang rautnya wajahnya bisa kurasakan berubah dengan cepat seperti mengatakan perasaannya yang tidak suka pada perempuan tua itu.

Tamu itu tak sendiri. Ia bersama sosok gadis kecil yang kuterka usianya tiga tahun. Aku baru tahu tahu kalau mereka bertalian darah nenek dan cucu, ketika gadis kecil itu menimang-nimangku sembari berteriak, “Oma… oma… ada Tedy.”

Setelah Suster Ana mengetuk pintu dan mengatakan siapa yang datang, mama keluar dengan wajah masam setengah terpaksa. Aku tahu, mama tak suka dengan saudara sepupunya itu. Suster Ana juga tak suka, meski hanya mendengar lewat cerita-cerita mama saban hari. Mungkin itu wujud rasa empati perawat yang seolah telah menjadi anggota keluarga ini.

Saat mama dan sepupu yang dia panggil “Kak Melia” itu sedang mengobrol di ruang tamu, aku digendong gadis cilik yang belakangan aku tahu bernama Nadin, bermain di sofa ruang keluarga. Sesekali mama memperhatikan kami, seolah tak ingin aku disakiti.

Aku tahu mama merasa tak nyaman dengan kehadiran kerabat seperti Kak Melia yang dalam hati kupanggil “Oma Melia”. Yang aku tahu dari sambatan mama pada Suster Ana, Oma Melia itulah salah satu penyebab kondisi papa kian terpuruk. Kata-katanya sering kali menusuk perasaan mereka, mencabik-cabik dan seolah mendikte kriteria kebahagiaan sebuah keluarga dengan hadirnya buah hati, kemudian sempurna ketika buah hati itu berumah tangga lalu memiliki buah hati lagi yang kemudian memanggil mereka dengan “Opa dan Oma.”

Oma Melia selalu membanggakan itu. “Bagaimana mau punya cucu, kalau anak saja kau tak punya,” begitu kata-katanya yang sering diucapkan pada acara kumpul keluarga.

Sambil terus mendengarkan ocehan Oma Melia, mama terus-menerus melirik ke arahku. Kekhawatiran mama benar-benar terjadi, setelah Nadin, entah dari mana, mendapatkan gunting kecil dan telah mencucukkan pada mataku, sehingga satu bola mata itu bergelinding di lantai marmer putih gading itu. Mungkin karena aku tak mengerang kesakitan, Nadin memainkan gunting kecil itu ke perut bagian kanan, lalu membuat robekan panjang hingga dada sebelah kiriku. Ujung gunting itu ditusuk-tusuk ke pertuku, lalu mengeluarkan isinya yang berwarna putih bertekstur lembut itu.

Di ujung pintu kamar yang menghadap sofa itu, papa berteriak histeris memanggil-manggil namaku, ketika menyaksikan tangan kecil Nadin yang lihai memainkan gunting seperti seorang dokter bedah berpengalaman. Papa lalu berlari menuju kami dan merampasku dari kuasa Nadin.

“Apa yang kau lakukan pada putraku, hah?!” papa tak segan menghardik siapa saja yang menyakitiku, termasuk gadis kecil tak berdosa itu.

Nadin gemetar ketakutan dan berlari ke arah Oma Melia yang dia panggilnya “Oma….”

“Kau sudah menyakiti putraku! Jaga baik-baik cucumu!” suara papa tak surut meninggi.

Nadin mengkerut dalam pelukan Oma Melia.

Mama dan Suster Ana bergegas menenangkan papa yang menangis histeris sambil menimangku yang makin tak berdaya, lalu menggiringnya ke kamar. Papa tak melepaskan gendongannya padaku, ia terus menciumi wajahku yang kini bermata satu.

“Mana matanya? Mana mata Tedy?” papa memelukku lebih erat.

“Iya, nanti dicarikan sama Suster Ana, ya,” mama berhasil membujuk papa seraya berjalan masuk ke kamar.

Tanpa diperintah, Suster Ana paham maksud mama, lalu menyusuri lantai untuk mencari bola mataku.

Oma Melia dan cucunya pergi tanpa pamit setelah tragedi itu. Perempuan tua itu terus mengumpat tak terima cucu perempuan kesayangannya dihardik papa.

“Dasar lelaki sinting! Boneka beruang sudah dianggap anak semata wayang. Benar-benar sakit jiwa!”

Baru kali ini, aku merasakan kesal. Ya, namaku Tedy, boneka beruang yang diadopsi papa sebagai putra semata wayangnya.

Sawangan, Depok, 18 Mei 2020


Penulis: Lufti Avianto

Photo by Jose Pablo Garcia on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *