Cerpen Iecha Hakim: Gadis Kecil di Koridor

Naura menemukan gadis kecil itu meringkuk di pintu kelas, saat ia akan ke kamar mandi. Usianya sekitar lima tahun. Hampir jam satu malam. Tak ada lagi orang yang lalu lalang sepanjang koridor sekolah menuju toilet. Hanya Naura dan gadis kecil berwajah pucat itu.

“Hai,” Naura mendekat.

Gadis kecil itu tak menyahut. Tubuhnya menggigil. Pakaiannya basah. Rok panjang menutupi kakinya. Dia menatap Naura, takut-takut, kemudian menunduk lagi. Gemeletuk giginya terdengar sangat jelas.

“Namanya siapa?”

“Shin… Shinta.”

“Boboknya di tenda aja, yuk. Kalo di sini nanti diomelin satpam,” ajak Naura. Sesekali matanya menyapu sekeliling, khawatir ada satpam yang melihatnya. Sesuai perjanjian, pengungsi hanya dibolehkan menggunakan halaman sekolah dan toilet.

Shinta menggeleng tanpa suara. Sama sekali tak menatap Naura. Hujan masih belum berhenti sejak tadi siang. Udara malam menjadi sangat dingin, sedingin tubuh Shinta. Naura melepaskan jaketnya dan menyelimuti Shinta.

“Ra!”

Naura menoleh. Adhit sudah berdiri di dekatnya sambil menaruh ponsel ke tas. Adhit yang mengajak Naura ke mari dan bergabung menjadi relawan. Naura menemani pengungsi di tenda, Adhit dan kawan-kawannya mengevakuasi korban banjir dari rumah-rumah mereka.

“Banjir bandang lagi, Ra. Di Bogor. Ada villa yang hanyut.”

“Ada korban?”

“Pastinya. Tapi belum ketahuan ada berapa. Kejadiannya baru aja.”

“Dapet info dari mana?”

“Di luar lagi rame.” Adhit mendekati Shinta. “Tidurnya jangan di sini. Nanti diusir satpam.”

“Biarin aja, Dhit. Dia nggak mau. Kita jagain aja biar nggak ada satpam yang mendekat.”

“Ya udah, kamu tidur, deh. Ntar aku yang jaga. Besok kita kuliah kan?”

Naura mengangguk. Matanya juga sudah mengantuk karena sejak pulang kuliah tadi dia sudah ada di situ dan disibukkan dengan pengungsi. Naura beranjak ke toilet, meneruskan niatnya yang tertunda tadi. Shinta dia biarkan bersama Adhit.

“Serem nih bocah,” kata Adhit, saat Naura kembali.

“Nggak ah, biasa aja.”

Adhit menarik Naura menjauh. “Ra, pucet banget. Dingin. Kayak setan.”

“Setan nggak ada yang menggigil, Adhit.”

“Ada aja.”

“Jangan nakut-nakutin.”

Naura kembali ke tenda, mengambil tasnya dan selimut. Halaman sekolah dipenuhi pengungsi. Jumlahnya ratusan orang. Dinas Sosial memasang beberapa tenda besar beralas terpal sebagai tempat berteduh. Tengah malam begini, hanya ada beberapa orang pria yang masih terjaga, memantau situasi. Di depan sekolah, berjajar mobil-mobil satelit milik tiga stasiun televisi swasta.

Jurnalis televisi swasta itu riuh. Sepertinya mereka mendapat berita baru. Naura mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tak ada sesuatu di situ. Petugas dari Dinas Sosial dan relawan-relawan dari partai politik juga terlihat tenang-tenang saja. Naura penasaran. Namun, matanya sudah terlalu mengantuk. Ia kembali ke dalam sekolah.

“Malem-malem jangan pake minyak wangi dong, Ra….” keluh Adhit.

“Siapa?”

“Ya kamu. Siapa lagi?”

“Tau, ah!”

Shinta sudah tidur. Napasnya teratur. Namun, tubuhnya masih dingin dan pucat. Naura menyelimutinya lalu merebahkan diri di sebelah Shinta. Lantai sekolah terasa sangat dingin. Tetes air yang masih setia turun dari langit menjadi lagu Nina Bobo untuk Naura. Semilir wangi melati seolah aromaterapi yang menenangkannya. Adhit duduk tak jauh darinya. Hampir saja Naura masuk ke alam mimpi, suara Shinta membangunkannya.

“Ja… Jangan….”

Naura terbangun. Shinta masih lelap di sebelahnya. Matanya terpejam, seolah tadi bukan dia yang mengigau. Adhit mendekat dan menatap Shinta, heran. Belum sempat Adhit bertanya pada Naura, Shinta mengigau lagi.

“Ampun…. Udah….”

“Shin… Shinta. Bangun, Shin!” Naura mengguncang-guncang tubuh Shinta, panik.

Shinta bergeming. Berkali-kali Adhit dan Naura berusaha membangunkan, hasilnya tetap nihil. Berkali-kali igauannya terdengar dengan kata yang sama dan sangat lirih. Hingga akhirnya Shinta berhenti mengigau.

“Dhit.” Naura menatap Adhit, dalam-dalam.

“Kamu curiga sama sesuatu?”

Naura menggeleng. “Cuma mau tanya, emang ada setan yang ngigo?”

“Kamu juga curiga kalo Shinta ini setan?”

“Jawab aja dulu.”

Naura duduk bersandar di tembok kelas. Tatapannya masih tertuju pada Shinta yang tidur dengan tenang, seakan tak pernah mengigau minta tolong. Pun, saat tadi mengigau, hanya suaranya saja yang terdengar, tak ada sedikitpun gelisah. Ia tak punya adik, tak ada pengalaman melihat anak kecil mengigau. Apa benar anak kecil mengigau dengan tenang, ia tak tahu. Hanya saja, ia merasa Shinta agak berbeda.

“Tidur lagi, deh!” suruh Adhit, seraya membongkar tasnya. Sebungkus mie seduh dan gelas kertasnya sudah berada di tangan. “Mau?”

“Nitip teh anget aja, kalo ada.”

Adhit mengangguk, kemudian berlalu dari hadapan Naura. Hawa dingin kembali menyergap Naura, seiring hujan yang belum juga berhenti. Sekelilingnya gelap, hanya beberapa lampu koridor dan toilet saja yang menyala dengan pasokan listrik dari genset. Bulu kuduknya meremang. Terasa hawa tak biasa mengungkung.

Ini bukan pertama kali ia menginap di sekolah. Sejak ikut Pramuka di kelas III SD, tiap tahun ia ikut Persami di sekolah. Hawa-hawa seram sekolah sudah terlampau akrab dengannya, tak lagi membuatnya gentar. Namun, hawa yang ia rasakan sekarang berbeda.

Naura mengedarkan lagi pandangannya ke sekeliling. Tak berharap menemukan apapun, hanya ia ingin sedikit melonggarkan sesak yang melingkupinya bersama hawa asing itu. Waktu terasa sangat lambat selagi menunggu. Ponselnya pun kehabisan baterai sejak tadi. Ia melongok ke gerbang kecil yang menjadi pembatas koridor dan halaman sekolah, berharap Adhit atau teman-teman lainnya muncul.

“Kelamaan, ya?” Adhit menyodorkan gelas plastik berisi teh pada Naura, lalu duduk di samping gadis itu.

Kepala Naura terangguk. “Ada info?”

“Bukannya info lagi. Ada yang nemu jenazah,” jawab Adhit, sambil menghirup aroma hangat yang meruap dari gelas berisi mie yang dia seduh.

“Serius?” Naura kembali merasakan hawa tak biasa, yang sempat hilang saat Adhit muncul. Seteguk teh hangat yang masuk ke tenggorokannya tak bisa menghilangkan hawa itu.

“Namanya Joko, masih pake seragam petugas kebersihan. Kemungkinan dari Bogor, soalnya tadi pagi ada laporan orang hilang.”

“Kayaknya banjir sekarang lebih serem, ya? Lebih besar. Pake banjir bandang segala. Nggak biasanya begini.”

“Biasanya yang diangkut cuma pohon pisang,” Adhit memasukkan segulung besar mie dalam mulutnya. “Itulah kenapa aku ajak kamu.”

“Kamu sering jadi relawan?”

“Tiap tahun. Di sini kan, langganan banjir. Mau diapain juga, mau berapa kali ganti gubernur juga, selagi kawasannya masih kayak mangkok begini, ya tetep banjir. Hulu sih, yang parah. Kalo hulu nggak pada diubah jadi villa, banjir nggak gini-gini amat.”

“Tapi, kok kamu nggak kenal Shinta? Harusnya tiap tahun kamu ketemu dia.”

“Suer Ra, baru kali ini liat dia. Mungkin warga baru. Kalo anak-anak SMP yang kemaren nyari kucing itu emang ketemu tiap tahun. Mereka bantu-bantu juga.”

Naura menyeruput lagi tehnya yang mulai mendingin. Tubuhnya tak juga terasa hangat. Hawa asing yang dari tadi mengungkung masih enggan beranjak. Matanya tertumbuk pada satu titik: Shinta. Ia menyadari, gadis kecil itu tidur tanpa sekalipun mengubah posisinya.

“Jangan bilang kalo kamu juga curiga,” tambah Adhit.

“Curiga kalo dia setan? Nggak, lah!”

“Terus, bau melati ini parfum kamu? Bukan, kan?”

“Tau, ah!”

Ia tak ingin menyangkal aroma melati yang disebut Adhit. Aroma itu begitu menyengat di hidungnya. Awalnya, ia menyangka aroma itu datang dari pengungsi di halaman sekolah. Namun, logikanya menolak. Jangankan bawa parfum, bisa bawa pakaian saja sudah beruntung. Meski penasaran, ia tetap tak ingin menghubungkan aroma itu dengan Shinta.

Suara di luar terdengar riuh. Naura mengenali itu sebagai suara anak-anak SMP yang dua hari kemarin sibuk mencari kucing milik seorang kakek renta bernama Kong Rohim. Tadi pagi, nama Kong Rohim dan kucingnya itu sudah tertulis sebagai korban jiwa. Kisah mereka diangkat oleh salah satu media daring, dengan anak-anak SMP itu sebagai narasumber.

“Ada apa ya, Ra?” Adhit melongok ke luar. “Kayaknya rame banget.”

Naura menggeleng. “Coba ajak mereka ke sini. Kali-kali ada yang kenal Shinta.”

“Ya udah, tunggu.”

Adhit beranjak lagi, dan Naura kembali sendiri. Senyap kembali menyergap, riuh di luar lenyap mendadak. Hanya terdengar suara orang berlari, kemudian hening. Naura menarik napasnya dalam, dan mengembuskannya perlahan. Ia tak suka suasana seperti ini.

Sekilas, tatapannya membentur sosok Shinta yang berbaring tenang. Tangan Naura terjulur, ingin mengusap surai gadis kecil itu. Hanya berjarak beberapa sentimeter lagi, tangannya terhenti, berganti kekhawatiran saat melihat bibir gadis kecil itu membiru, kontras dengan wajahnya yang seperti tanpa aliran darah.

“Shinta, bangun! Ayo, bangun! Jangan begini! Bangun, pleaseee!”

Sekuat tenaga, Naura mengguncang tubuh Shinta. Namun, sosok itu tetap diam dengan mata terpejam, berbaring meringkuk dalam selimut yang tak terlalu tebal. Sekali lagi ia mencoba, Shinta tetap tak merespon.

Naura berlari keluar, melintasi petugas keamanan yang menatapnya heran. Tujuannya hanya menemui Adhit. Seingatnya, Adhit cuma keluar untuk memanggil anak-anak SMP di depan gerbang, tapi sosok mereka tak ada di depan. Naura menghampiri posko, berharap Adhit ada di situ. Aroma melati meruap dari posko itu.

“Ra!”

Naura menoleh ke arah suara. Adhit sudah mencekal lengannya, tepat sebelum ia melangkah masuk ke dalam posko. Tanpa kata-kata, ia menarik Adhit kembali ke koridor, tak peduli petugas keamanan yang menatap mereka curiga.

“Pucet banget, Ra!” ucap Adhit, saat melihat Shinta yang masih terbaring. “Bodolah, kalo ntar dia ngamuk!”

Tak ada lagi penawaran, Adhit menggendong tubuh kecil Shinta keluar dari bangunan sekolah. Setengah berlari ia menuju posko medis, membiarkan Naura terseok-seok mengikuti di belakang. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka, hingga mereka tiba di posko. Adhit merebahkan Shinta di velbed, berharap tak ada kondisi serius dari gadis kecil itu.

“Bang Adhit.”

Adhit dan Naura kompak menoleh ke arah yang sama. Lima anak SMP berdiri di dekat mereka dengan tatapan penasaran. Sama penasarannya dengan Adhit dan Naura yang tiba-tiba melihat mereka di mulut tenda posko medis. Keduanya melangkah ke luar usai memasrahkan Shinta pada relawan medis dari lembaga zakat.

“Kenapa?”

“Kata Bang Pethuq, Abang nemuin Shinta?”

“Iye, Vie. Lagi ditanganin petugas.”

Terdengar ucapan syukur dari mulut anak-anak itu. Beberapa dari mereka melongok ke dalam posko, ingin memastikan. Namun, Adhit segera menggiring mereka ke jalan. Ia khawatir keberadaan anak-anak itu mengganggu tim medis menangani Shinta.

“Siapa, Dhit?” tanya Naura. Tatapannya tertuju pada anak-anak SMP yang melangkah beberapa meter di depannya.

“Yang tadi nanya itu Yovie, yang dari tadi nguap itu Icha, yang botak Fajar, yang rambutnya panjang itu Bulan, yang pake jaket abu-abu itu Ricky, Bang Pethuq itu tukang ojek yang ikut jadi relawan.”

“Eh, maksudku bukan itu. Hubungan sama Shinta apa?”

“Ntar kita tanya.”

Tujuh orang itu bersila di jalur Transjakarta, menikmati kosongnya jalan itu dari bus besar yang terlihat angkuh. Jangankan Transjakarta, kendaraan yang bisa melaju saat ini cuma mobil yang membawa bantuan. Jalanan ditutup, sebagian besar ruasnya tertutupi tenda.

“Shinta tetangga ane, Bang,” jelas Yovie. “Belom setaun pindah ke mari.”

“Tapi, kok bisa dia ada di koridor? Nggak ada yang nyari?” selidik Adhit.

“Kaga bakalan dicariin! Emaknya mana peduli? Digebukin mulu tuh, sama emaknya. Tadi, emaknya ngamuk lagi. Tau dah, apaan masalahnya. Kayaknya Shinta kabur ke sekolahan biar kaga diamuk.”

“Bapaknya ke mana?” Naura buka suara juga.

“Kaga tau. Cuma pindah sama emaknya.”

“Tiap hari main sama kita di rumah Kong Rohim,” tambah Bulan. “Ntar sampe rumah digebukin lagi.”

“Pak RW sering kasih jajan.” Gadis yang menyebut namanya itu lagi-lagi menguap.

“Pak RW kan babeh lo, Cha!”

“Ih, Fajar mah buka rahasia!”

Naura berjengit. Telinganya seakan mendengar lagi igauan Shinta. Semuanya jelas sekarang. Shinta menolak dibawa ke tenda dan memilih berada di koridor karena takut ibunya, dan ketakutan itu terbawa hingga alam bawah sadar. Ia melirik Adhit, yang masih mengobrol dengan anak-anak itu.

“Oh… yang tadi bau melati? Tau tuh, tadi ada yang kasih bantuan semobil tapi wangi banget. Begitu tuh mobil dibuka, baunya ke mana-mana. Takut ye, Bang?”

“Nggak, lah! Aneh doang.” Adhit menepuk bahu Yovie, pelan.

“Dhit,” panggil Naura, pelan. “Kayaknya cita-cita aku berubah.”

“Sekarang jadi apa?”

“Komisi Perlindungan Anak.”

“Bagus!”


Photo by Should Wang on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *