Sajak Lisvy Nael: Muharam

Perempuan

Dengarlah sekali ketukan langkah perempuan
Bukankan itu luar biasa?
Dimana dunia kebanyakan menutup mata,
Sinar perempuan kini dikibarkan
Bukan dengan iring-iringan genderang perang
Melainkan dengan suka cita dan kasih sayang yang ditebarkan

Lihatlah, Islam yang menjadi perdebatan dengan benturan peradaban!
Perempuanlah yang menjadi umat pertama yang mengakui dan memeluknya, erat! sang Khadijah
Ingatlah, bagaimana nabi Isa terlahir dari perempuan, tak ada bapak, itulah Maryam
Taukah pelita yang pertama menyelimuti nusantara , memastikan terbitnya terang setelah gelap datang
Jika ada patrilinial maka berarti matrilinial akan ada disandingnya

Para lelaki menumpahkan darah,
Berperang melenyapkan sesama umat bernyawa dengan sebilah pedang atau senapan
Para perempuan menumpahkan darah,
Berperang dengan dirinya untuk melahirkan kehidupan baru bagi calon umat manusia
dengan senjata hanya keyakinan dan cinta
Bukan ini sedang menuduh atau memuji kedua jenis kelamin ini,
bukankah sejarahlah yang telah mencatatnya demikian?
Bukan ini perkara adil dan tidak adil
Atau di atas dan di bawah, nyatanya sejajarpun sama enaknya

Malang, 25 Februari 2012


Di Dalam Etalase

# Membangun itu butuh keteguhan
Begitu pula iman yang kita yakini, padanya
tuhan terkurung dalam etalase
meronta, merintih, menjilat, mengharap
kita membelinya, tuhan didalam etalase
sadarkah?

#membangun itu butuh kesadaran,
jejak imperalisme atau kolonialisme dan maniakisme
Mengurung kebebasan atau membebaskan kebebasan
Lembaran dengan nol enam hingga lebi sembilan sungguh berkuasa
Atas namanya pembangunan diimani, namun
Kesadaran tergadai dalam etalase
Tuhan semakin terkubur dalam bayangan-Nya, dibalik
tubuh kerdil tuhan didalam etalase
namun sakit kita bersikukuh tak berlaku begitu

#tuhan dalam etalasemu, etalase-semu, etala-semu bersedih
Sedang tuhan yang lain bergembira kita menangkan
Dan Tuhan yang satunya…
Telah lama mati dikota orang mati
Yang katanya terus membangun diri.

Malang. 17 September 2012


ITU

Saat tiba sang waktu pemisah
Rayu-rayu berlalu-lalang, lalu
Semua dalam kelabu, itu
Mendesak bimbang memutuskan jalan

Merindu untuk madu
Tak mungkin terpangku, sang waktu
telah berlalu
Tangis rayu bukan lagi teruntuk dipenuhi
Hanya tambahi beban untuk melangkah, itu
seharusnya terobati

Melati jadi kembang mati
Wangi yang sering ditakuti, itu
Orang-orang yang pesimis tentang gelap
akankah indah?

Malampun tak berubah
tetaplah langit yang membumi
dan bumi melangit.
Kau tanya kenapa?
Langit telah mengalah untuk berganti hitam
dan langit telah mengalah untuk bumi menjadi terang, itu
Dengan bintang-bintang
Akankah selalu?

Jeritan anjing alas pertanda
darah segar telah terpancar dari jalurnya
telah beku, kaku, sedingin salju
Selamat menempuh hidup baru
Semoga bahagia selalu
Akan kita bertemu dengan pencipta biru, itu
Bait salam dan do’a perpisahan yang dipadu

Malang, 11 April 2012


Muharram

Tidak ada petasan, tapi pembaharuan
Semangat yang sempat tenggelam, mari kita tegakkan
Bersama datangnya Muharram

Ingat-ingatlah pesan Moeslim Abdurrahman
Menjadi Islam transformatif, Islam berkemajuan
Bukan yang meninggalkan, melainkan memakmurkan

Muharram, singkaplah wajah-wajah muram
Hiburlah wajah para muztadz’afin dengan keadilan
Jangan biarkan mereka lepas dari pengharapan, hanyut pada ketidakpastian

Boleh sekali kita risau dibuat pandemi
Lelah ini, bersama kita teguhkan hati
Duka luka yang tak terperi, mari saling lipur lara

Katanya, hidup adalah tentang bergerak bersama semesta
Sekali diam, mati sukma busuklah Atma
Jiwa-jiwa kesepian, cerialah saat Muharram datang

Plompong, 17 Agustus 2020


Photo by Alex Antoniadis on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *