Celengan untuk Ibu

Penulis: Denik


Berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, damai dan bahagia adalah dambaan semua anak. Memiliki orangtua yang berkecukupan merupakan anugerah tak ternilai. Tetapi jika tak satu pun dari semua anugerah tersebut menghampiri, apakah mesti berganti orang tua dan mencari keluarga baru?

Tentu tidak. Seperti apapun kondisi yang dialami, ya harus dihadapi. Seperti apapun tabiat buruk orangtua kita, tetaplah harus dihargai. Sebab merekalah kita hadir di dunia. Karena merekalah kita bisa hidup dan tumbuh seperti sekarang ini.

Aku tidak tahu sejak kapan bapak menjadi seorang penjudi. Semenjak aku mulai mengerti atas apa yang menimpa ibu setiap kali bapak datang ke rumah, sejak itu aku tahu bahwa di dalam keluargaku ada prahara. Aku hanya anak tunggal.

Ibu membuka usaha warung makan di depan rumah. Sebelum ada pembeli datang, ibu sudah menyiapkan setumpuk buku di sekitarku. Sehingga aku tidak kesepian saat ia melayani pembeli. Jika sudah tidak ada pembeli, ibu menghampiriku untuk membacakan beberapa buku cerita.

Semua berjalan baik dan lancar meski tak ada sosok laki-laki dalam kehidupan kami. Itu karena bapak yang tidak pernah pulang dalam hitungan bulan. Ketika tiba-tiba muncul di rumah, selalu membuat kekacauan yang berakibat ibu menangis.

“Terserah kamu mau ndak pulang-pulang, Pak! Aku sudah tidak peduli. Tapi jangan rampas uang dagangan ini. Ini modal untuk hidupku dan anak kita satu-satunya!” teriak ibu sambil memegangi kotak uang.

Tetapi bapak tak menggubris. Bapak seolah-olah tak memiliki perasaan lagi. Inikah efek judi? Hati menjadi mati.

“Aaahh, minggir! Aku sedang butuh uang. Aku kalah judi. Jadi aku pakai uangmu untuk modal. Nanti kuganti kalau menang.”

“Jangan Pak!”

Tetapi apa daya seorang ibu? Bapak berhasil merampas kotak uang itu. Lalu pergi meninggalkan ibu yang menangis tersedu. Kuhampiri ibu sambil memeluknya dengan erat. Aku tahu ibu sedang dalam kesusahan. Maka kuberikan celengan kalengku kepada ibu untuk modal dagangannya. Ibu memelukku dengan erat. Tangisnya semakin tersedu-sedu.

“Ya, Allah, Nak! Maafkan ibu bapakmu ya ndak bisa menyenangkan kamu. Justru uangmu yang terpakai. Nanti ibu ganti kalau uangnya sudah terkumpul. Kamu yang rajin belajar ya nduk biar jadi orang sukses. Jangan membenci bapak. Walau bagaimanapun ia tetap bapakmu. Orangtuamu yang harus dihormati. Tanpa bapak kamu tidak akan lahir ke dunia.”

Aku bangga kepada ibu. Meski tersakiti tetapi tidak lantas menghakimi. Apalagi menularkan virus kebencian. Aku tetap menghormati bapak sampai sekarang yang sudah mulai sakit-sakitan. Dan semakin sayang terhadap ibu yang setia merawat bapak.

Ibu tak lagi membuka warung nasi. Semenjak aku mulai bekerja ibu tak lagi kubiarkan membuka warung nasi. Apalagi ada bapak yang kini di rumah saja karena sakit-sakitan. Aku tidak mau ibu capek. Lalu jatuh sakit. Jadi biarlah ibu merawat bapak tanpa perlu bersusah payah mencari uang. Karena berkat doa ibu. Kini aku tak lagi memberi ibu celengan kaleng. Tetapi nomor rekening yang kapan pun ibu mau dan seberapa pun ibu butuh bisa kuisi sewaktu-waktu.

Terima kasih, Bu. Doamu mengiringi kesuksesanku.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *