Bersama Bulan

Oleh: Iecha

Selamat malam, cahaya bulanku.

Untuk ke sekian kalinya aku mendaratkan diri di sini, di pantai yang hanya menampilkan hamparan laut dan langit malam. Begitu tenang, seakan aku berdua saja dengan bulan, menikmati perbincangan yang biasanya aku sudahi saat udara dingin mulai menelusup dari sela jaket. Beberapa pasang orang pacaran tak akan mengusik sebab mereka juga sibuk dengan urusannya.

Aku mengeluarkan cat air dan kanvas yang aku beli tadi siang dari dalam tas gemblok. Malam ini, sebagai penanda beralihnya aku dari kertas dan krayon, aku akan melukis bulan dan cahayanya yang selalu berhasil menenangkan gemuruh hati dan pikiranku. Sambil mencampur cat dengan air mineral yang aku bawa, senyumku tak lepas.

Tahukah kalau cahayamu indah?

“Ah, aww!”

Lekas aku menyingsingkan lengan jaket. Bercak biru keunguan di pergelangan tanganku terasa nyeri lagi. Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak sejak tadi. Padahal, aku ke sini berjalan kaki, tak memakai sepeda seperti biasa agar pergelanganku aman selama aku melukis. Nyatanya, baru beberapa sapuan, nyerinya sudah terasa.

“Bantu aku, ya. Jangan sakit dulu,” ucapku, seraya mengecup bercak itu. “Ayo kita kerja sama.”

Tadi Shafa menyeretku ke kantin saat istirahat pertama. Bukan, bukan dia yang membuat pergelanganku biru, meski genggamannya cukup kuat juga. Teman sebangkuku itu terlihat khawatir. Aku jadi ingin tertawa, sebab wajahnya tak pantas untuk serius seperti itu.

“Pilih aja makanan yang kamu mau, aku yang traktir,” katanya.

“Kayaknya kamu nggak lagi ulang tahun. Abis jadian, ya?”

 “Apa, sih? Cepetan. Keburu bel lagi.”

“Lagi males makan,” sahutku.

Dia menghela napas. “Karena kamu lagi males makan makanya aku traktir.”

“Dih, curang! Lagi begini aja mau traktir.”

Gadis berkacamata itu menarikku ke penjual ayam geprek, memesan dua porsi lengkap, kemudian menarikku lagi ke bangku kosong. Kalau setiap hari ada tema, mungkin tema hari ini adalah ditarik Shafa. Entah apa yang membuatnya semangat menarikku ke mana-mana. Mungkin benar, dia baru jadian.

“Lebam lagi?” Shafa mengusap bercak biru di dekat sikuku.

“Biasalah!”

“Kamu kenapa, sih? Aku jadi khawatir.”

“Jatoh. Keseimbanganku nggak bagus. Kan udah pernah aku ceritain.”

“Iya, tapi kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu pucat, selera makan hilang, kayak nggak ada semangat ngapa-ngapain. Belum lagi lebam yang tiap hari nambah.”

Aku tersenyum untuk meredakan kekhawatirannya. “Aku nggak kenapa-napa. Santai.”

“Orang tua kamu tau kalo kamu sering lebam?”

“Harusnya.”

“Cek lab, ya? Aku takut kamu kena penyakit.”

“Nggak percaya banget dibilang aku nggak kenapa-kenapa.”

“Dua minggu lagi kita udah PAS. Misalkan kamu—“

“Yang bener?!” potongku.

Shafa mengangguk. “Kamu punya target masuk peringkat pararel, kan?”

Wajahku pasti sudah lebih memucat. Hanya saja, Shafa mulai sibuk dengan ayam geprek yang kini sudah terhidang di hadapan kami. Sementara aku, nafsu makanku yang sudah tipis makin menguap. Target itu … bukan hanya masuk peringkat pararel, tapi juara umum. Hanya itu yang bisa membuat ayah tersenyum.

Selamat malam, cahaya bulanku. Peluk aku dalam-dalam.

Sapuan kuasku kian jelas membentuk pantai, laut, langit, dan bulan. Warna kuning bercampur sedikit cokelat yang aku bubuhkan untuk menggambarkan pantulan cahaya di laut membuatku tertegun beberapa saat. Sekali lagi aku alihkan pandanganku ke laut, memastikan apa yang aku lukis. Bibirku tersungging.

Jalan bertabur debu emas, seperti itu yang aku lihat. Aku baru menyadari keberadaannya yang menggantikan pekat laut dan langit malam. Hatiku menghangat, sekaligus penuh harap. Akankah jalanku meraih cita-cita juga bertabur emas, ataukah selamanya dipenuhi duri, kerilkil, batu kali, hingga batu letusan gunung berapi? 

“Kelas XI mau pilih apa?” tanya Shafa tahun lalu.

“Bahasa, sosiologi, sama semua mata pelajaran IPA kayaknya,” jawabku.

“Waaah, kita bareng, dong! Aku juga pilih itu, Nanti kita kuliahnya di UPI atau UGM aja, ya?”

“Kayaknya aku ke UI.”

“UI kan berat masuknya.”

Aku tersenyum miring. “Kamu yang pinter aja bilangnya gitu. Kita usaha aja.”

Kita-usaha-aja. Ucapan itu terasa miris sekarang. Aku bahkan kehilangan semangat untuk melanjutkan kuliah, pun melanjutkan di mata pelajaran minat yang kini aku jalani. Hariku yang sudah tak indah menjadi semakin buram sejak kelas XI. Aku terseok-seok mengumpulkan remah angka. Mata pelajaran umum dan bahasa yang dulu terasa mudah pun sekarang sulit aku cerna. 

 Kepalaku menengadah, khawatir bulan melihat air mataku yang hampir jatuh. Namun, tatapanku malah bertemu sosoknya. Aku bisa apa saat dia seakan mengizinkan aku menangis? Bebanku tumpah, lepas bersama ombak yang memberi usapan lembut di kakiku. Hei, ada apa dengan kalian? Kenapa kalian bersekongkol membuatku luruh? 

Saat tangisku mulai reda, hidungku merasai aroma laut yang menenangkan. Lekas aku hirup sebanyak-banyaknya, tak ingin satu partikel pun luput. Gemuruh hatiku hilang. Terasa ringan seolah selama ini aku selalu baik-baik saja.

Bulan, malam ini kamu seperti sihir.

Aku ambil lagi kuas dan kanvas di sebelahku dan kembali melukis. Lukisanku sudah jadi sebenarnya, hanya saja, aku ingin menambahkan satu obyek lagi di sana. Karpet dari debu emas itu aku tambahkan hingga menyentuh pasir, menyentuh kaki anak perempuan berkucir, yang berdiri menghadap laut.

“NAURA!”

Tubuhku menegang. Suara itu terdengar begitu jelas, seakan datang dari belakang tubuhku. Tak ada lagi jalanku untuk menghindar. Aku yang salah, berada di ujung pantai saat malam sudah lewat setengahnya. Pelan-pelan, aku berdiri, berbalik sambil memeluk lukisan yang masih basah. Kepalaku tertunduk, tak sanggup menatap wajah penuh kemarahan itu.

“Berapa kali Ayah bilang? Belajar! BELAJAR!”

Aku belajar! Sekolahku selesai pukul empat. Setelah itu, aku tak bisa langsung kembali ke rumah, melainkan berguru di tempat bimbingan belajar mahal, Pukul sepuluh malam aku baru tiba di rumah, dan kembali harus membuka buku pelajaran atau mengerjakan soal. Setiap hari hanya itu kegiatanku. Melukis adalah cara agar aku tetap waras, meski aku tak memungkiri kalau aku memimpikan jadi diplomat dan membuka pameran lukisan di Royal Academy, London.

“Maaf ….” cicitku.

Bugh!

Satu hantaman tongkat kayu yang dibawa ayah singgah di sisi kiri tubuhku. Besok pasti Shafa akan kembali menanyaiku soal lebam yang beberapa saat lagi terbentuk, dan mungkin juga memaksa untuk cek laboratorium karena mengira aku sakit. Tak apa. Aku sudah terbiasa dengan hantaman ini, dan lama kelamaan Shafa pasti bosan menanyaiku.

“Kamu lihat Tian! Selalu jadi juara umum, sekarang masuk Kedokteran! Kamu harus bisa, Naura! Harus bisa! Ayah nggak mau kalah dari Om Rudi!”

Aku menarik napas dalam. Selalu saja seperti ini. Ayah menganggap hidup adalah persaingan, dan saingannya adalah Om Rudi, kakaknya sendiri. Jika Om Rudi hanya punya Mas Tian, maka ayah juga hanya punya aku. Jika Mas Tian masuk sekolah terbaik, maka aku juga harus. Semua pencapaian Mas Tian harus menjadi pencapaianku juga,

Bukannya aku tak pernah membantah. Sering. Aku tahu apa yang aku inginkan, dan aku menyadari betul kemampuanku. Namun, ayah bukan orang yang bisa dibantah. Perintahnya adalah mutlak. Jika aku melanggar sedikit saja, tentu tongkat kayu itu akan memberitahu sebanyak apa kesalahanku. Seperti malam ini, saat aku memilih melukis di pantai ketimbang memenuhi perintahnya untuk belajar hingga pukul dua pagi. 

“Mau bikin Ayah malu, HAH?!”

Ayah menarik tanganku, kuat. Sakit. Benar-benar sakit. Lebam di pergelanganku masih nyeri bekas ayah pukul tadi sepulang bimbel. Sekarang, ayah menggenggamnya penuh emosi. Percuma aku berteriak, ayah selalu menulikan pendengarannya dariku.

Kepalaku tengadah, menatap bulan yang belum beranjak. Lekas aku lepaskan lukisanku, dengan gambar yang menghadap ke atas. Tak apa, lukisan pertama dengan media kanvas itu batal menjadi penghuni galeriku kelak. Aku hanya ingin memenuhi janji padanya yang sudah menemani sejak tadi, yang sudi memeluk dan menenangkanku. Senyumku terukir tipis, berpadu dengan kernyit nyeri.

Mungkin sekarang kamu tahu betapa cantiknya dirimu, bulan.

Langkahku tersaruk di pasir, kesulitan mengikuti ayah dengan kaki panjangnya. Bekas pukulan tadi pun semakin terasa nyeri. Aku menoleh, merekam baik-baik laut dan hamparan cahaya bulan. Setelah ini, mungkin aku akan sulit melukis di pantai. Ayah pasti menjagaku lebih ketat. 

Bulan, pegang janjiku. Suatu hari nanti, aku akan bersinar dan menemukan jalan sendiri yang bertabur debu emas.

“Belajar sampai Subuh! Ayah awasin kamu!”


Inspirasi: NCT 127 – 윤슬


Photo by Wolfgang Hasselmann on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *