Melawan Stigma

Oleh: Dwyne

Resign dari tempat kerja ternyata membuatku berada dalam masa krisis identitas. Sedih berkepanjangan karena merasa rendah diri. Tidak terima kalau diberi label ibu rumah tangga. 

Ibu rumah tangga kerap menerima stigma yang tidak mengenakkan. Pemalas karena sepanjang hari hanya nonton TV. Tukang gosip dengan tetangga atau media sosial. Bergantung pada suami karena tidak mempunyai pemasukan sendiri. Boros karena suka shopping. 

Tidak mempunyai gaji sendiri membuat aku seperti tak berguna di keluarga. Dicap boros karena suka belanja. Padahal, belanja juga untuk kebutuhan keluarga untuk makan dan sandang anak-anak. Namun, keluarnya uang dari tanganku membuatku seolah bertanggung jawab penuh dengan gaji suami yang aku olah. 

Sebenarnya ketika memutuskan resign, aku punya rencana untuk melanjutkan kuliah jenjang yang lebih tinggi. Keputusan setelah keluar dari tempat kerja untuk sekolah lagi ternyata membuatku seperti digantung. Aku meragukan diri ini kalau masih mampu untuk melanjutkan kuliah ke jenjang selanjutnya.  Aku semakin terpuruk. 

Pendaftaran kuliah program pascasarjana sudah dekat. Aku masih ragu-ragu mampu atau tidak nanti. Kalau menghadapi tugas-tugas kuliah mungkin masih bisa diusahakan. Tetapi, untuk menulis tugas akhir yang terkenal sulit aku sangat pesimis. 

Aku sudah terlanjur keluar dari tempatku bekerja. Aku malu kalau hanya diam di rumah saja. Seperti orang yang sudah putus asa. Menerima nasib hanya sebagai ibu rumah tangga. Setiap hari pakai daster, malas dandan, tidak pernah ada deadline sehingga bahan bacaan seputar bagaimana menjadi ibu dan istri yang baik. Pengorbanan hanya untuk keluarga.   

Untuk daftar kuliah butuh biaya yang tidak sedikit. Aku tidak bisa coba-coba. Belum lagi melihat nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) benar-benar membuatku tak berkutik. Di sini adalah puncak keterpurukanku. Maju seperti tak mampu, tapi mundur aku malu. 

Setelah diskusi dengan suami ternyata beliau tidak keberatan dengan nominal UKT-nya. Dengan modal nekat, akhirnya aku daftar kuliah. Muncul lagi kekhawatiran yang membuat jantungku berdebar keras setiap hari. Menghadapi tes masuk membuat rambutku rontok tak terkendali. Aku berusaha belajar untuk menghadapi tes potensi akademik dan TOEFL sebagai syarat masuknya. 

Hari pelaksanaan tes TOEFL untuk masuk kuliahpun tiba. Sebuah aula yang besar disiapkan. Yang sudah datang pasti segera ambil duduk untuk segera siap tes TOEFL? Aku menjalani tes dengan perasaan yang sangat tidak siap. Kemampuanku tidak pernah aku asah karena setiap hari yang aku ajar hanya setingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. 

Belum keluar hasil tes tulis, aku dijadwalkan untuk tes wawancara. Aku tidak punya persiapan apapun untuk tes tersebut. Giliran aku yang masuk ke ruang Kaprodi. Beliau ternyata santai saja dan bertanya tentang motivasiku kuliah lagi. 

Sebulan kemudian angin segar mulai menyapaku. Aku dinyatakan lulus dalam perekrutan dan bisa mulai mengurus administrasinya untuk persyaratan kuliah. Entah tantangan apa yang akan berada di depan. Minimal statusku sebagai mahasiswi cukup mengobati ketidak percayaan diriku.

Perjalanan menyelesaikan tugas demi tugas kuliah begitu menantang. Aku berusaha menikmatinya. Sampai pada saat penelitian tugas akhir sekolahan tempat aku meneliti menolak untuk dijadikan tempat penelitian dengan alasan kelas tiga akan menjalani ujian akhir sekolah.

Bukan hanya tugas akhir yang memeras otak, ternyata tempat penelitian juga membutuhkan kesabaran untuk memperolehnya. 

Revisi demi revisi membuat semangat menulis juga semakin redup. Bagaimana tidak, bahan dari mana lagi yang bisa aku jadikan sumber jika google scholar sudah aku acak-acak tapi masih saja pembimbing mengatakan kurang.

Sempat dua minggu putus asa dan menyingkirkan semua yang berkaitan dengan thesis. Aku cuma malas-malasan, menonton film dengan dalih mencari motivasi. Hal-hal yang berhubungan dengan tugas akhir tersebut benar-benar membuatku mual.  

Suami dan anak-anak heran melihatku yang tidak segera menyelesaikan tulisan.  Akan tetapi, mereka hanya tersenyum saja, embiarkan aku yang kacau bisa kembali semangat lagi. Mereka cuma menunggu. 

Ternyata, hidayah datang pada minggu ketiga. Dua orang teman sudah melaju hampir ujian tutup. Bagaimana bisa aku menyerah? Aku harus terus bergerak dan rasa malu disuruh revisi berulang kali harus aku abaikan. 

Akhirnya, dosen pembimbing mengeluarkan kalimat saktinya. 

“Ujian dulu saja, nanti juga akan direvisi oleh penguji.” 

Akhirnya aku bisa maju ujian. Sampai kepada hari wisuda tiba. Alhamdulillah, terbayar ucapan selamat dari suami, anak-anak dan saudara serta teman membuat diri ini kembali percaya diri. Aku bukan ibu rumah tangga biasa. 


Photo by GR Stocks on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *