Oleh: Mee Wahyu
Bisakah diri terlepas dari bayang-bayang masa lalu, yang separoh memorinya terisi dengan hal-hal yang menyedihkan dan penuh drama.
Bisakah diri terlepas dari kejaran rasa bermasalah, ketika sebuah kesalahan ditimpakan pada kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan diri.
Atau bisakah diri berlepas dari keinginan untuk mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan diri yang lebih baik, disertai dengan keinginan untuk diakui dalam setiap pencapaian itu.
Untuk tiga pertanyaan tersebut, hingga hampir menuju usia kepala empat, pertanyaan-pertanyaan itu bergelut dalam setiap rutinitas kehidupanku. Bahkan menjadi raja dalam setiap emosi yang mewarnai setiap tindakkanku. Hingga saat ini, aku belum juga bisa memetakan diriku, belum mendapatkan jawaban tentang siapa diriku, apa mauku, dimana posion kebahagiaanku berada.
Untuk pertanyaan pertama. Aku masih kerap mengutuki masa laluku yang kuyakin apa yang kulalui pada masa kini adalah imbas dari drama masa lalu yang penuh kesalahan, ketidakpasan, kekurangan orang-orang yang mengelilingiku.
Pengetahuan yang kudapat pada masa sekarang membuatku menghakimi masa laluku. Huh, banyak keluhan-keluhan yang kutanam dalam pikiran dan hatiku, hingga sewaktu-waktu akan beraksi menghujat sisi lemahku. Aku benar- benar tidak bisa merangkul perjalanan masa laluku, atau lebih tepatnya aku belum bisa menerima penuh akan kondisi keluarga besarku dimasa lalu, asal-usul diriku ditakdirkan. Menurutku, jika, seandainya dan seharusnya aku juga ditakdirkan seperti temanku, atau seperti dia yang mendapatkan pengasuhan dari keluarga yang penuh kasih sayang, komunikatif dan bertanggungjawab, tentu aku juga bisa seperti mereka. Sebuah penghakiman diri yang melelahkan.
Banyak imbas dari ketidakstabilan emosi yang kurasakan karena ketidakmampuanku melepaskan diri dari takdir masa lalu. Salahsatunya, aku kerap menyalahkan diri dan membawa semua ketidaksempurnaan, kegagalan, kesalahan yang aku lakukan, baik secara personal atau tim kutimpakan dengan menjejal diri dengan makian-makian yang merendahkan dan melemahkan atau dengan mencari kesalahn orang lain. Ini terkait dengan pertanyaan kedua.
Aku tidak legowo menerima dan berbesar hati dengan setiap kegagalan dan kesalahan yang aku lakukan. Aku terlalu takut berkawan dengan proses. Aku tak hirau dengan ungkapan, bahwa proses akan mendewasakan. Emang dasar akunya yang lol, bodoh dan tak pandai, dan sekali-sekali menghakimi Tuhan, dengan mencap Tuhan tebang pilih. Tuhan tidaklah menyayangi sama semua hambaNYa, Tuhan memiliki dendam den kebencian. Demikian puncak dari emosi yang kuluapkan jika tidak mampu lagi mencari kompromi dalam diri.
Dan pertanyaan ketiga, bisakah diri terlepas dari keinginan, angan-angan untuk pencapain terbaik dengan mengharapkan adanya pengakuan dalam pencapaian itu. Aku haus pengakuan. Aku ingin diterima dengan sebuah image yang bisa dibanggakan, haus dijadikan bahan rumpian oleh orang-orang di sekitar tempatku berada. Sehingga terlihat baik, bahagia dan sejahtera harus menjadi identitas utama bagiku. Aku tidak mau ada sedikit celah orang melihatku tidak baik-baik saja. Aku tidak mau orang lain menerka bahwa keuanganku sedang tidak baik-baik saja, atau kehidupan keluargaku sedang bermasalah. Aku tidak mau orang lain melihat sisi buruk dan membicarakan sisi lemah dari diriku, aku akan frustasi jika mengetahui ada orang lain mengulik sisi itu.
Demikian pergulatan batin yang kurasakan sekian dasawarsa, meski tidak mendominasi terlalu dalam, namun keadaan ini sungguh melelahkan dan tidak produktif. Dalam suka cita, seketika aku bisa menjadi pribadi yang penuh kesedihan. Dalam duka cita, seketika aku bisa menjadi pribadi yang begitu terpuruk dan menyedihkan.
Puncak dari pencarian jawaban akan ketiga pertanyaan itu, akhirnya aku menemukan sebuah obat yang dapat menjawab semua pertanyaan tersebut. Ada satu kata yang akhir-akhir ini menjadi peganganku, yang mampu melapangkan dadaku akan penerimaan takdir masa lalu. Sebuah kata yang mampu menstabilkan detak jantung kekuatirkanku bagaimana rilek menerima konsekwesni dari sebuah kegagalan/kesalahan. Sebuah kata yang meringankan langkahku memyongsong masa depan dengan penuh kebahagiaan. Sebuah kata itu kusebut dengan “Melepaskan”. Kata ini kudapatkan dari seorang teman. Dia seorang motivator, yang sedang mendalami ilmu cinta murni. Sebuah cinta tanpa syarat yang dinisbahkan kepada Tuhan dan diejawantahkannya kepada hamba-hambaNYa yang senantiasa mensucikan hati dan pikiran.
Ketika kita mampu melepaskan bayang hitam masa lalu dengan menerima semuanyas sebagai takdir, tidak ada beban yang akan kita timpakan untuk kesalahan yang kita lakukan pada masa kini. Ketika kita mampu melepaskan diri bayang kesempurnaan diri, maka kita akan mencintai kita lebih baik dengan memeprkuat diri dengan karakter tanggung jawab dan tangguh. Ketika kita bisa melepaskan diri dari anggapan bahwa kebahagiaan abadi adalah kebahagiaan di dunia, maka kita akann lebih fokus mengejar kebahagiaan hidup setelah mati.
Terima kasih Diri, yang telah mau membuka diri dan menerima setiap pengajaran yang datang dari siapapun.
Mind, Soul, and body are interconnection and affect to the each other..
Photo by Jacqueline Day on Unsplash