Cita-Cita Jadi Orang Kaya

Oleh : Meli

Yuk, tertawa bersama! Pasti, kalian akan menertawakan sangat lebar akan cita-citaku. Mau dikata apa. Memang itu kenyataanya. Impian terbesar dan terbaik! 

Saat itu, aku masih merasa uang adalah sebab dan penyelesaian dalam setiap masalah. Sebuah keluarga bisa langgeng karena uang. Sakit bisa sembuh karena ada uang untuk berobat. Seseorang bisa sukses karena ada biaya untuk sekolah setinggi mungkin. Bla-bla-bla. 

Kucari tahu bagaimana cara mencari uang cepat. Lupakan halal dan haram. Semua informasi dikumpulkan. Persiapkan diri untuk pantas di posisi itu. Banyak baca, tanya, dan lain sebagainya. Solusi terjawab adalah menjadi trader

Setahu aku, tidak ada trader miskin. Sekali trading harus merogoh kocek yang dalam. Jika menjadi trader saham maka harus pahami secara detil perusahaan mana yang jadi tujuan. Yang pasti punya cacatan yang bagus dalam fundamental. Mau disimpan berapa lama saham itu. Pilihannya ada harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Tergantung strategi apa yang dipelajari. Kling! 

Kunci kesuksesan terletak di strategi trading. Itu yang harus dipelajari sedetil-detilnya agar tidak berakhir di jalanan karena salah strategi. Yang paling menyedihkan saat uang habis di pasar saham dengan bunuh diri. Kalau sukses, bisa membeli apa saja. Bahkan harga diri seseorang. Namun…itu bukan tujuan utama. Aku ingin setiap menginginkan sesuatu tanpa pusing memikirkan uang, ada atau tidak. 

Dulu, aku berencana. Setelah selesai kuliah, kerja di suatu perusahaan hanya 5 tahun. Berhubung masih tinggal sama ortu jadi tidak usah pusing untuk biaya kehidupan. Seluruh gaji bisa disimpan untuk dana persiapan trading saham. 

Misal gaji 700 ribu, disimpan untuk 60 bulan. Udh kebayang kan berapa uang yang terkumpul? Realitanya, pekerjaan yang mengandalkan otak tak kunjung kudapatkan. Mereka selalu meminta fisik yang baik. Bukannya aku tidak pantas (cieee…senengin diri), tapi tak suka jadi pusat perhatian. 

Waktu terus berjalan. Lamaran kerja sudah dikirimkan. Panggilan tak kunjung kudapatkan. Suatu hari sadar, apa yang kulakukan saat kuliah bukan sesuatu yang bernilai besar. Dalam artian begini, aku kuliah sastra. Tidak mungkin kerja di kantor dengan sistem bisnis. Paham maksudku kan? Yup, bener banget! Tidak mungkin suatu perusahaan memenangkan tender dengan dibacakan puisi dengan rima tertentu. Hanya senyum lebar yang terpasang di wajahku. Sebagai tanda menyadari atas kebodohan yang kujalani selamat 4,5 tahun lalu. Mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. 

Tahun 90 akhir, mulai banyak tuh Reksadana yang mulai bisa diikuti hanya dengan memiliki dana 100 ribu rupiah. What? Iya. Rendah. Memang rendah, tapi otomatis feed back-nya juga rendah. Baru akan terlihat di beberapa tahun mendatang. Lama! Realitanya tidak secepat dalam bayanganku. Hidup santai dan banyak duit kayaknya harus menunggu lama. Ditambah pemikiran, aku adalah seorang cewek. Jika aku sudah menikah maka langkah ku harus atas ijin suami. Yo wis, yang penting kerja dulu. Apa saja yang menghasilkan uang. 

Koridor pekerjaan masih dijaga. Tidak sampai yang menyimpang menurutku, ya. Ada tawaran, coba. Bisa, teruskan. Ada uangnya, ambil. Tetap berharap mudah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat. Realitanya, ada saja masalah yang bikin aku tidak bisa simpan uang dalam waktu yang lama. Aku terkena penyakith aneh. Berbulan-bulan kaki terasa sakit. Diperiksa kemana-mana tidak mendapat solusi. Sampai akhirnya ketemu dengan teman ayahku yang memiliki profesi di bidang kesehatan. Aku cerita yang terjadi. Berobat dengannya gratis. Sayang alatnya harus bayar. Zaman itu harga alatnya lumayan bikin manyun kantong. Sudah kebayang kan gimana? Iya, habis lagi uang simpanan untuk mulai trading. Setelah sembuh makin serabutan cari kerja.  

Bukan uang yang banyak, dilamar seorang pria. Di otakku, mulai ada komitmen yang kemungkinan besar menunda cita-citaku. Eits, aku salah. Calon ku berpikir yang sama tentang bagaimana cerdas menggunakan uang. Pensiun di usia muda. Hidup makmur. Investasi. Pasif income. Tua-bahagia. Harapan orang tua segera terwujud. Kami menikah. 

Pola berpikir kami hampir sama. Dia juga sudah mempelajari bagaimana trading yang benar. Setelah uang gaji suamiku cukup terkumpul, dia mulai ikut trading. Dia sendiri yang jadi trader-nya. Tidak meminta bantuan dari lembaga mana pun. 

Nasib baik berpihak pada kami. Dr kantor di mana tempat suami kerja dapat. Dari trading saham juga dapat. Pundi-pundi keuangan mulai membaik. Menurut pemahaman aku yang money oriented. Mau beli apa saja tidak perlu berpikir. Mau ngapain saja, alhamdulillah ada. Merasa Allah meridhoi pilihan hidup kami. Banyak ulama juga yang bilang halal. Di situ ada jual-beli. Sudah ya, sampai di situ saja. Jual-beli diperbolehkan oleh agama.  

Tidak selalu ada di atas. Kadang ada lost juga. Dibalikin ke ilmu bisnis. Yah, yang namanya jualan. Kadang untung atau juga bisa buntung. Kalau selalu di atas bukan namanya hidup. Ya kan? 

Time goes by. Kami mulai menancapkan podasi investasi jangka panjang dengan tujuan hari tua yang lebih baik. Namun usia kami belum tua dan anak masih kecil, badai korona menyerang seluruh negeri. Lock down

Iya, semua merasakan. Imbasnya ke segala lini kehidupan. Virus yang merusaknya. Semua harga perusahaan juga ikut turun. Kesannya perusahaan bagus hilang kualitas karena virus. Inilah realitanya. Kehidupan berangsur menurun. Serba sulit. Uang di pasar modal hilang begitu saja. 

Virus ini seperti tangan besar yang memegangi di perjalanan kami. Disertai dengan kalimat, “Duduklah sejenak! Nanti, kamu akan sadar apa yang sudah kamu jalani!”

Kami bisa duduk bukan karena mengikuti perintah yang selalu terngiang itu. Keadaan memaksa kami untuk tidak bergerak. Kami tahu rasanya tidak ada uang sepeser pun di kantong. Diam dan bengong menjadi rutinitas yang harus dilewati. 

“Jangan pernah takut hari esok. Allah yang menjamin semuanya. Kamu cukup menjalani apa yang bisa kamu jalani sebaik mungkin. Seperti orang sebelum kamu. Berinvestasi di Allah maka hidupmu juga akan terjamin.” Kata seorang pengusaha yang sudah hijrah. 

Jadi mulai berpikir ulang, di mana sih salahnya. Emang salah pengen jadi orang kaya? Emang salah bisa menikmati hidup pakai uang sendiri? Emang salah ya ngasih diri kebahagian? Emang salah ya berencana untuk hari tua? Emang salah ya niat tidak mau menyusahkan anak saat tua nanti? 

Sebagian orang ada yang bilang, salah. Saat kamu berpikir untuk dunia maka salah. Saat kamu berpikir untuk akhirat maka jadi benar. Terlepas dari itu semua, Allah memposisikan kita sudah sesuai tempatnya. Yup, realitanya kami tidak memiliki apapun. Hanya keluarga yang masih bersama. Sepertinya, cita-citaku tidak bisa diteruskan agar terwujud. Lalu kami harus bagaimana? 

Pada kesimpulannya, kami merubah pola pikir. Uang bukan tujuan utama. Kebahagian yang utama. Untuk bahagia tidak butuh uang, meski segalanya butuh uang. Jalani saja yang ada di depan mata. Tidak usah berpikir terlalu jauh. Jalankan atas nama Allah, sisanya serahkan pada yang membuat takdir kami. Kalau kita baik, Insya Allah hidup kami dijaga. Apapun yang terjadi pada kami, tujuannya hanya ingin mendewasakan kami. Sedangkan investasi yang dimaksud adalah membantu seseorang secara finansial. Tebarkan bibit kebaikan di mana saja dan jangan berharap kebaikan itu kembali dari orang yang sama. Pasti ada cuannya. Tidak selalu materi. Kesehatan, kasih-sayang, kemudahan, dan lain sebagainya. Oh iya, satu lagi. Anak itu bukan investasi, loh. Yang suatu hari nanti bisa diambil cuannya dalam bentuk mereka merawat kembali para orang tuanya. Itu bentuk kasih sayang mereka pada orang tua. 

Jalani hari-hari seperti biasa saja. Cukup untuk sehari dulu. Esok hari, tunggu bagaimana besok. Begitu seterusnya. Berharap semoga hari kami menyenangkan. 


Photo by Jp Valery on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *