Oleh: Lia Nathalia
Angin malam terasa segar membelai wajahku. Masih di atas sadel sepeda motor. Langit yang mengawal sepanjang perjalanan malam ini masih cantik dengan tampilannya yang menawan. Ada bintang-bintang bertabur memeriahkan malam.
Entah dari mana munculnya, tiba-tiba aku mulai bersenandung, menyuarakan suara hati mungkin, yang merindu.
Refrain lagu berkali-kali kusenandungkan bak mantra yang merasuk ke dalam dada: “I will wait for you, my darling…And I will wait for you…I will wait for you, my darling…And I will wait for you”
Air mata hangat mengalir pelan di kedua pipi. Ada rindu yang menggila terasa tiap saat mendengar atau menyenandungkan lagu besutan duo US yang I Will Wait For You.
Satu persatu kenangan bermunculan di benak, boleh dikatakan sangat mirip dengan alur cerita lagu.
Ada rasa lega yang tak bisa digambarkan Riana karena berhasil keluar dari keruwetan kisah sebelumnya. Kehidupan kembali berjalan normal dan terasa baik-baik saja. Ada rasa bangga di sana. Ya, Riana patut berbangga karena tetap waras setelah melewati tahun-tahun yang tak mudah. Melewati masa-masa dikerdilkan jiwanya, dipaksa berubah menyerupai orang lain. Beruntung, kesadaran untuk keluar dari neraka pengkerdilan pikiran datang dan dengan sisa keberaian seorang petarung yang pantang menyerah terhadap tantangan hidup, Riana berhasil keluar, walau terseok-seok untuk kembali menata hari-hari baru.
Sudah berbilang hari dan kemudian tahun demi tahun berganti, walau belum genap sejumlah jari di sebelah tangan, namun perasaan tenanglah yang terasa.
Melangkahkan kaki di kapel Anglican di bilangan Jakarta Pusat di siang yang cukup panas, Riana memilih bangku paling pojok paling belakang agar bisa khusuk menemui Sang Khalik. Belum cukup berani Riana beinteraksi dengan siapapun selama tahun-tahun ini, sehingga memilih menjejaki satu persatu tempat orang mencari Tuhan.
Dalam kekhusukan, Riana menangkap ada bayangan cukup besar melintas dan berhenti di depannya. Kelar meditasinya, Riana mencari arah bayangan. Di saat yang sama matanya bertemu dengan mata seorang laki-laki bangsa asing.
Ada rasa jengah yang memaksa Riana menundukkan pandangan dan berusaha kembali fokus pada kekhusukan semula.
Hajart menenangkan diri dan mendekatkan jiwa pada Sang Pencipta selesai, Riana bergegass beranjak meninggalkan kapel, Dua tiga langkah melewati pintu kapel, sebuah suara berat mengagetkannya.
“Boleh kita berkenalan?” tukas laki-laki itu. Dan tanpa menunggu jawaban Riana, ia telah memperkenalkan diri. “Raymond, panggil saja Ray”.
“Riana,” ujarnya memperkenalkan diri sambil berpamitan.
“Boleh kita bertukar nomor kontak,” kejar Ray sebelum Riana melangkah.
Dengan enggan Riana mengiyakan dan setelah bertukar nomor kontak, bergegas meninggalkan tempat itu.
Hari berganti. Dua minggu berlalu ketika sore di hari sabtu sebuah pesan dari Ray masuk di ponsel Riana. Isi pesan standar menanyakan kabar dan harapan semoga baik-baik saja yang dijawab Riana dengan ucapan terima kasih.
Tak ada yang istimewa sampai Ray akhirnya mengajak kopi darat. Ngopi santai di sebuah sore di akhir pekan. Itulah pertama kalinya Ray mengungkapkan rasa sukanya terhadap Riana yang dibalas dengan penolakan halus. Riana tak ingin hari-hari normal yang dirasakannya beberapa tahun belakangan ini terenggut. Cukup buat hubungan terkait percintaan. Hanya akan menyusahkan.
Namun Ray juga petarung yang pantang menyerah. Enam bulan berlalu dan Riana telah luluh.
Ray berkali-kali telah menyampaikan keinginanya untuk segera meresmikan hubungan mereka. Dan Ray berhasil membujuk Riana untuk mau menetap setelah menikah di negaranya, di tempat di mana matahari menuju peraduannya. Riana tak keberatan, ia suka tantangan.
Saat Ray kembali ke negaranya dan menunggu Riana untuk menyusul, Riana membunuh waktu dengan menambah ilmu dan berbagai aktivitas sambil satu per satu menyelesaikan PR untuk berpindah negara.
Di masa-masa itulah US mengeluarkan lagu mereka yang bercerita tentang cinta antara sejoli beda negara dan benua yang saling menanti waktunya untuk bersama selamanya dalam perjalanan dan perjuangan long distance relationship atau LDR.
“I Will Wait For You” menjadi semacam mantra yang menguatkan ketika Riana harus terpisah jarak ribuan kilometer dari Ray. Lyric-nya juga terasa pas dengan apa yang dialami.
“Everything was fine the way it was
Normal and ordinary
Then there was you, so randomly too
And now you’re staring at me
No one can choose who they fall for
Or when they fall, or how they fall, or why
I, well I fell for you and I must wait
It’s only a matter of time
I will wait for you my darling
And I will wait for you
Oooh
Oooh
Everything was cool the way it was
Just me, my thoughts, and I
Then there was you, so randomly too
The way that you walked by
No one can choose who they fall for
Or when they fall, or how they fall, or why
I, well I fell for you and I must wait
It’s only a matter of time
I will wait for you my darling
And I will wait for you
I will wait for you my darling
And I will wait for you
No, no I don’t fall in love
No I can’t fall in love
It’s much too complicated
Haven’t tried it before
I don’t need it anymore
So I thought, so I thought
So I thought
I will wait for you my darling
And I will wait for you
I will wait for you my darling
And I will wait for you”.
Yup, lebih dari satu dekade berlalu. Riana masih setia menanti Ray. Semua terbalik dari Ray yang harusnya menanti Riana di kampung halamannya, menjadi Riana yang menanti mukjizat Ray akan kembali padanya.
Riana melewati tenggat waktu yang disyaratkan Ray untuk menunggunya membereskan semua urusan tertinggal di kampong halamannya sebelum pindah ke kampung Ray. Riana tak bisa memenuhi deadline. Ray memutus hubungan diiringi doa bagi kebaikan massing-masing. Riana masih tetap tegar dengan prinsipnya menanti Ray.
“I will wait for you my darling, And I will wait for you”.
Inspirasi: Us – I Will Wait For You
Photo by Marc A. Sporys on Unsplash