Oleh: Dwyne
Tangan lentik Zendaya, perlahan meraih kunci slot berbahan kayu, pengait pintu ukir Jepara di kamarnya. Pintu klasik yang menghubungkan kamar bagian depan dengan balkon. Hawa sejuk gunung Panderman menyapu wajahnya tatkala daun pintu terbuka. Tidak hanya membuat segar tapi juga menenangkan. Wanita usia awal empat puluhan itu berusaha menyatu dengan senja yang kian erat mendekapnya.
Matahari dengan anggun berusaha berpamitan. Sinarnya yang cerah kini tak lagi hangat. Digantikan oleh keelokan semburat mega-mega. Pupil cokelat Zendaya bergerak perlahan menelusuri cakrawala. Mulutnya menggugamkan syukur atas limpahan nikmat di depannya.
Bagi wanita berambut panjang itu, keindahan senja ini sejenak mungkin bisa mengalihkan perhatiannya. Jika akhir pekan datang, dia tidak bisa membohongi diri kalau mulai merasa kesepian. Suami yang dihormatinya tugas di luar pulau. Anak-anaknya selalu sibuk dengan kegiataan kampus dan pengembangan diri. Dia selalu bisa mengendalikan perasaanya, tegar. Banyak cara untuk memperoleh kebahagiaan.
Cring!
Ponsel yang ada di saku wanita ramah itu berbunyi. Tangannya reflek memeriksa pesan baru tersebut. Seketika netranya terlihat berbinar. Sesungging senyum langsung terkembang. Jari jemarinya dengan lincah menari membalas pesan. Pasti itu dari separuh nafasnya. Namun, itu tidak berlangsung lama. Helaan nafas panjang beriringan dengan ditaruhnya ponsel di meja marmer berbentuk bulat di sebelahnya.
Secercah harapan yang sempat melambungkan angannya, kini harus ditahannya. Sejenak kebahagiaan itu datang, Tetapi secepat itu pula berubah menjadi godam yang menghantam benteng pertahanan dirinya. Dia sempat limbung, namun hatinya sudah berjanji tidak akan ada air mata lagi. Dia langsung bisa memguasai diri.
Ya dia pasti sedang sibuk, banyak masalah di kantor. Ituah kalimat sakti setiap kali separuh jiwanya hanya basa-basi bertanya kabarnya. Padahal Zendaya selalu butuh waktu lebih untuk bercanda bersama separuh nafasnya. Apalah daya kalau rasa itu tidak sama. Mungkin dia lebih asik dengan teman-temannya.
Setiap air mata identik dengan kelemahan. Siapa yang mau peduli dengan kesedihannya. Sang perampas waktunya untuk bahagia. Mematikan kreatifitas dan produktifitasnya. Solusi, adalah hal yang selalu dibutuhkan saat menghadapi masalah. Renungkan dan berusaha cari jalan keluarnya. Kalau memang tidak mampu lagi, ikhlaskan, berserah dirilah dan mohon pertolongan.
Tenang Zendaya, suatu hari, engkau pasti akan menemukan kebahagiaan. Tunggulah sedikit lagi, saat itu pasti akan tiba. Daya berusaha meyakinkan diri. Tak perlu mencari jawaban kepada orang lain. Hanya dia sendiri yang paling tahu masalah dan penyelesaiannya.
Gelap semakin merayap, suara hewan malam semakin riuh. Wanita anggun itu melangkahkan kaki untuk masuk ke rumahnya. Dia berjalan menuju tangga. Ada sederet foto-foto keluarga dan juga ibu bapaknya.
Pertama, dia memandang foto suami yang sangat dirindukannya. Bagaimana kabarmu, Cinta? Apa hari ini engkau sangat sibuk? Kapan engkau ada waktu untuk bertandang dan kita menghabiskan senja bersama lagi. Aku ingin bercerita tentang banyak hal. Tentang anak-anak kita, juga tentang rasa yang begitu menyesakkan dada. Tentang mimpi dan bagaimana cara mewujudkannya. Kita pasti akan bersama kan?
Kaki Zendaya bergerak ke tangga berikutnya. Ada gambar kedua anak-anaknya. Semoga kalian menjadi orang baik, soleh dan solehah. Terbanglah setinggi awan di angkasa, berjuanglah, berpuasa dan bekerja keraslah untuk meraih kebahagiaan kalian. Pandailah bersyukur atas yang ada. Jangan lupa untuk berbagi pengetahuan maupun rizki yang lain dengan sesama.
Semakin ke bawah , Zendaya menemukan foto kedua orang tuanya. Senyum yang begitu tulus. Sekarang mereka sudah sangat tua dan tak berdaya. Tidak bisa lagi bepergian seperti dulu ke rumah anak-anak dan cucu-cucunya.
Seperti ada beban yang menindih dadanya, semakin sesak membayangkan ketulusan mereka. Merawat, membimbing bahkan menghadapi kenakalan-kenakalannya dengan sangat sabar. Seperti yang dia rasakan sekarang, tidak mudah menjadi orang tua. Ada perasaan bangga tapi juga banyak kekawatiran datang silih berganti mewarnai setiap waktu yang berdetak.
Tiba di dekat tangga ada sebuah rak buku. Zendaya menghampiri dan mengambil sebuah album foto. Kumpulan gambar saat dirinya belum menikah dan selalu bersama orang tuanya.
Pak, Bu, maafkan Zendaya. Belum banyak yang bisa Zenda lakukan untuk Bapak dan Ibu. Zenda masih sering kali sibuk dengan diri dan keluarga sendiri. Sampai memutuskan tinggal di kota yang berbeda dengan Bapak dan Ibu. Kita tidak bisa setiap saat bertemu karena jarak dan kesibukan. Tetapi percayalah, Zenda selalu berdoa untuk kebahagiaan Bapak dan Ibu.
Kalau sudah berhubungan dengan orang tuanya. Zendaya merasa seperti anak-anak yang lemah. Dia masih butuh kasih sayang orang tuanya. Dia ingin bisa bersama dan tertawa lagi bersama mereka. Hancur hati Daya melihat semua gambar diri yang tak bisa diulang kembali.
Adalah sesuatu hal yang mustahil. Melangitkan doa agar bisa menikmati lagi saat-saat tertawa bersama dengan mereka. Walau hanya sebentar saja, masih ada keyakinan dalam hati. Sebuah keajaiban mungkin saja akan datang.
Begitu berat menerima kenyataan bahwa mereka sudah sangat lemah. Bukannya Zenda tidak bisa menerima kenyataan. Kesibukan bekerja membuat kerinduan teralihkan sejenak. Tetapi ketika sepi melingkupi, sulit untuk menghindari keinginan untuk mengulang kembali saat-saat itu. Hati ini hanya rindu.
Inspirasi: Andmesh – Hanya Rindu
Photo by Aleksandra Sapozhnikova on Unsplash