Tuhan, Tolong Berikan Bapakku Surga

Oleh: Ha Mays

Tidak perlu kau berlelah-lelah mengunjungi rumahku. Aku tidak akan menerimamu sebagai seorang bapak. Walau secara biologis kau memang bapakku.

“Maafkan Bapak, Nak. Bapak menyesal.” Sesal menggelayut di keriput dahimu.

Apakah kau pikir aku akan menerima maafmu setelah apa yang kau lakukan padaku dan pada Ibu di masa lalu? Kata maaf tidak akan menggembalikan luka menjadi baik-baik saja. Maaf untuk mengatakan bahwa aku tak sudi menjadi anakmu. Aku tak percaya akan mengatakan ini, tetapi inilah kenyataan yang sedang aku rasakan.

Tidak lama setelah permintaan maaf, lutut rentamu bersimpuh di hadapanku. Kau pikir aku akan luluh Bersama simpuhmu? Ibuku sudah lebih dahulu bersimpuh di hadapanmu berpuluh tahun lalu untuk memelas agar kau tak meninggalkan kami. 


Terik mentari menyapa ubun-ubun Ibuku di persimpangan jalan tempat kau janjikan untuk bertemu. Wajah harap-harap tersurat jelas di setiap lekukan kontur wajahnya. Ibu hendak memberitakan kehadiranku di rahimnya. 

“Aku hamil, Mas,” tutur Ibuku tanpa bertele-tele sambil menunjukan test pack bergaris dua.

“Kamu yakin itu anakku?” timpalmu.

“Aku melakukannya denganmu, Mas. Ini anak kita,” sahut Ibu cemas kalau aku tak kau akui.

Aku tahu, perih hati Ibu. Walau wajahnya menyiratkan baik-baik saja, tetapi perasaannya hancur bukan kepalang saat aku diragukan sebagai anak biologismu. Bagi Ibu, tak apa-apa jika kau tak mencintainya lagi, asalkan akui aku sebagai darah dagingmu. Keraguanmu itu sangat menghancurkan relung hati Ibuku secara keseluruhan.

Berbulan-bulan lamanya di setiap pertemuan antara kau dan Ibuku selalu dihantui berdebatan tentang keraguanmu untuk mengakuiku sebagai anakmu. Setidaknya kau bisalah berpura-pura yakin aku ini anakmu sampai aku lahir saja, agar kesehatan Ibu saat hamil tidak terganggu. Kasihan Ibuku, menanggung beban fisik, mental dan moral. 

Waktu itu di pertengahan September, tak lama sebelum aku diprediksi akan lahir. Perut ibuku besar maksimal. Tubuh mudanya tampak berisi. Ibu sudah mulai susah bergerak tetapi masih dipaksakan untuk jalan-jalan pagi sesuai dengan saran dokter. Ibu menemuimu kembali di tempat yang kau janjikan.

“Bertahanlah, Mas. Aku tak meminta pertanggungjawabanmu, aku hanya ingin kau di sini sampai anak ini lahir saja. Aku butuh kekuatan untuk melahirkan, aku tak akan mampu melahirkan tanpa Bapak anak ini.” Simpuh dan derai air mata Ibu yang tak kau indahkan. 

“Dinda, aku terpaksa. Suatu alasan yang tak dapat kujelaskan, aku harus lekas berangkat melanjutkan studiku. Aku pasti kembali untukmu dan anak kita.” Janji itu yang pada kemudian hari adalah palsu. 

“Tapi anak kita akan lahir hanya dalam hitungan hari, Mas. Bertahanlah sebentar saja di sini,” Pinta Ibu dengan tulus tanpa meminta materi apapun, hanya butuh kehadiranmu saat aku menyapa dunia. 

Ibuku kalah dalam agumentasi itu. Ibu memaklumi keadaanmu yang terpaksa harus pergi ke Ibu Kota untuk melanjukan studimu. Ibu hanya dapat memegang janjimu bahwa kau akan datang menemui kami. Bahkan kau berjanji untuk datang sebelum aku tumbuh dewasa. 

Benar saja, beberapa hari kemudian aku terlahir. Mungkin karena Ibuku sudah terlalu sering meratap dan menangis selama aku dikandungnya, saat lahir aku sudah tak mampu menangis manja lagi, aku sudah menjadi bayi pria yang tangguh dan kering sudah air mataku. 


Mengapa kau masih berada di sini? Bukankah aku tidak menerima maafmu, pergilah! Kau malah membisu dalam simpuhmu, tidakkah mau mendengar usiranku? Kau masih sama seperti dulu, keras kepala dan egois. 

Tanpa aba-aba kau mengusap tubuhku. Hey! Enyahkan tangan kotormu dari tubuhku. Sungguh tak pantas.

“Nak, Bapak rindu.” Matamu mulai berlinang yang maknanya tidak kupercayai sebagai sesal.

Air mata ibuku jauh lebih deras daripada air mata yang kau sebut sesal itu. Aku tidak akan pernah peduli dengan air matamu yang sudah basi dan tak kubutuhkan lagi.

Tanpa mengindahkan usiranku, kau memelukku erat. Aku tak kuasa mengelak walau tak sudi rasanya berada dalam pelukkamu. 

“Bapak terpaksa meninggalkan kalian, beban moral sangat berat dan tak mampu Bapak pikul, Nak. Bapak tidak memiliki kesempatan untuk menjadi Bapak yang sesungguhnya.” ujarmu di sela sinisku.

Kau pikir aku akan menerima alasan itu? Tentu tidak akan pernah masuk dalam akalku. Aku tidak akan pernah menerima alasan apapun tentang kepergianmu. 

Aku tak percaya akan mengatakan seluruh kebencian ini langsung di hadapanmu. Kedatanganmu menggali kembali luka-lukaku yang lama aku pendam dalam-dalam. Aku kira, aku sudah baik-baik saja. Ternyata tidak juga.

Kau lepas pelukkanmu dan kembali bersimpuh di hadapanku. Kini kau tampak lebih tenang dan dapat mengendalikan emosimu dari rasa salah dan rindu yang kau ulang-ulang katakan tadi. Kau tengadahkan kedua tanganmu seraya berdoa pada Tuhan untuk kedamaianku. Angin sejuk mendadak menyapa tubuhku dengan damai. Sekaligus kehangatan yang lembut merengkuh seluruh tubuhku. Amarahku luruh, dendamku terhempas, setelah dipenghujung Al Fatihah kau mengusapkan kedua telapak tanganmu ke wajah dan batu nisanku.  Tuhan, tolong berikan Bapakku surga juga sepertiku yang tak sempat melihat dunia. 


Inspirasi: Demi Lovato – Father “Father”


Penulis: Ha Mays, seorang Guru Bahasa Inggris yang memiliki hobi menulis. Jejak menulisnya dapat diikuti pada akun Instagram @hamays_official


Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *