Oleh: Putri Astrie
“Apa jaminannya, Den?”
Deni tak mampu menjawab. Wajah selusuh kaus yang dikenakannya tertunduk di hadapan Rizaldi. Bulir keringat membasahi dahinya. Disapunya keringat itu dengan tangan kanan.
“Rumahku.”
“Den, kamu itu lupa atau pura-pura lupa? Lihat ini!” Rizaldi melemparkan map yang berisi sertifikat rumah Deni.
Deny terkulai lemas. Wajahnya kian menunduk tak berani menatap orang yang berada di hadapannya. Ia baru ingat, sebulan yang lalu saat bermain judi, ia mempertaruhkan sertifikat rumahnya. Kemenangan yang diharapkan tak kunjung datang. Bukan kemenangan yang diperolehnya melainkan sertifikat rumah melayang.
“Ayolah, bantu aku! Tidak ingatkah dulu, aku juga pernah membantu usahamu.” Deni memohon kepada Rizaldi. Tak peduli saat ini ia rela bersujud di kaki Rizaldi untuk meminta bantuan. Persetan dengan harga diri.
“Rumahmu itu sekarang jadi milikku. Kamu tidak berhak tinggal di sana.”
“Jangan usir aku dan Desi dari rumah itu, Zal! Rumah itu satu-satunya kenangan yang tersisa dari istriku.” Deni tetap bersimpuh dan memegang kaki Rizaldi.
Rizaldi tampak puas melihat kondisi Deni saat ini. Rizaldi dari dulu sangat menginginkan Deni bertekuk lutut di hadapannya. Deni merupakan saingan utama bisnisnya. Kehancuran Deni membuatnya tersenyum penuh kemenangan. Deni mempunyai hutang yang banyak dan tak mampu lagi membayarnya.
“Kamu mau tau cara membayar hutangmu agar lunas?”
Deni menatap wajah Rizaldi dengan wajah semringah. Rasa tak percaya sebentar lagi hutangnya yang banyak itu akan lunas. Deni mengangguk menanggapi ucapan Rizaldi.
“Hutangmu lunas, asal …”
“Asal apa, Zal? Cepat katakan!” Deni tak sabar menunggu Rizaldi melanjutkan kalimatnya.
“Syaratnya mudah, kok. Apa kamu sanggup?”
“Apa syarat itu, Zal?”
“Nikahkan aku dengan Desi–anakmu itu. Hutangmu kuanggap lunas dan rumah itu bisa kau tempati lagi.” Rizaldi mengajukan penawaran dengan penuh keyakinan. Keinginan hatinya untuk menjadikan Desi menjadi istri kedua tidak dapat dibendung lagi. Saat ini waktu yang tepat untuk menjadikannya sebagai istri.
“Yang benar, Den. Desi itu lebih pantas jadi anakmu.”
“Terserah kalau kamu tidak setuju. Lunasi segera hutangmu. Kuberi waktu berpikir tiga hari.” Rizaldi beranjak meninggalkan Deni. Dikibaskan tangan agar Deni segera pergi dari rumahnya.
Suara tamparan keras terdengar memenuhi ruang kamar. Desi tersungkur ke lantai setelah tangan ayahnya mendarat di pipi putihnya. Tubuhnya terhempas membentur dinding tembok saat didorong ayahnya. Desi tertunduk sambil menghapus bekas tamparan itu. Ia tidak berani mendongak melihat wajah ayahnya. Bau alkohol yang menyengat, membuat Desi yakin ayahnya saat ini sedang mabuk.
“Pokoknya kamu harus nurut dengan Ayah!” Deni membentak Desi.
“Yah, Desi gak mau menikah dengan pak Rizaldi. Beliau lebih pantas menjadi ayahku, Yah.” Desi menolak permintaan ayahnya dengan suara lirih.
Mendengar kata penolakan dari anaknya, tanpa berpikir panjang, Deni melayangkan tamparan lagi di kedua pipi Desi berkali-kali. Wajah Desi kaku. Ia hanya bisa diam menerima perlakuan yang entah sampai kapan berakhir.
Ia sangat tahu Rizaldi—teman ayahnya itu. Seorang pria seumuran dengan ayahnya yang memiliki harta berlimpah dan menjalankan bisnisnya dengan cara tidak halal. Meminjamkan uang dengan bunga yang mecekik leher. Kekayaan yang ditawarkan tidak membuat Desi silau harta. Tidak terbersit dalam impiannya untuk mendampingi Rizaldi di sepanjang hidupnya.
“Des, kamu sayang, Ayah?” Suara Pak Deny merendah.
“Desi sayang Ayah.”
“Tolong … sekali ini, Des. Hanya kamu yang dapat menolong, Ayah.”
“Apa tidak ada acara lain, Yah?” tanya Desi.
“Itu jalan satu-satunya, Des. Hutang Ayah akan lunas asal kamu mau menikah dengan Rizaldi.”
Desi menghirup napas dengan berat. Dadanya seakan terhimpit beban berat. Jawaban ayahnya membuat hatinya terluka.
“Apa kamu ingin ayahmu membusuk di penjara?”
Desi menggeleng berulang kali. Ia tidak menginginkan ayahnya menikmati masa tua di penjara. Sebuah tempat yang menyeramkan. Pertentangan batinnya membuncah. Satu sisi Desi tidak ingin kehilangan kasih sayang ayahnya sementara hatinya tidak bisa menerima pernikahan itu.
“Ayah harus melunasi hutang 500 juta. Hutang ini akan lunas kalau kamu mau menikah dengan Rizaldi. Lupakan Ali yang miskin itu!”
“Desi gak mampu melupakan Ali, Yah.” Desi semakin terisak.
“Des … waktumu hanya seminggu. Pikirlah baik-baik, nasib ayahmu ini sangat bergantung padamu.” Pak Deny melangkah meninggalkan kamar Desi sambil membanting pintu kamar.
Desi menangis tersedu-sedu. Desi hanya bisa meratapi nasibnya. Semuanya terasa tidak adil baginya. Semenjak ibunya meninggal lima bulan yang lalu kehidupan keluarganya menjadi pora-poranda. Satu bulan lebih ayahnya tenggelam dalam kesedihan. Desi sudah berusaha menghibur ayahnya agar bisa menerima kenyataan bahwa mama Nesya telah tiada. Merelakan kepergiannya dan mendoakan agar mama Nesya bisa tenang dan mendapat tempat yang layak. Ketika Deny dinasehati bukan bertambah senang. Sikap temperamentalnya semakin lama semakin membuncah.
Dengan berjalan tertatih karena nyeri di tubuhnya, Desi berjalan menuju kamar mandi. Ia teringat belum melaksanakan salat Isya. Desi segera berwudu. Di atas sajadah, ia bersimpuh memohon ketegaran dan ampunan atas tindakan ayahnya.
Ruang tamu rumah Deni telah disulap menjadi tempat ijab kabul. Beberapa tamu yang diundang telah datang. Rizaldi sudah menempati kursi yang disediakan untuk mempelai pria. Penghulu dan wali nikah sudah siap memulai acara. Pak Deny dan Rizaldi saling berjabat tangan.
Rizaldi menghela napas panjang saat rasa gugup melanda hatinya. Ini memang bukan pernikahan pertama baginya. Namun, rasa gugup khawatir salah ucap tetap menghantuinya.
“Saya nikahkan engkau Rizaldi bin Mahmud dengan anak kandung saya, Desi Wulandari dengan maskawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas seberat 20 gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Desi Wulandari binti Deni Satrio dengan maskawin tersebut dibayar tunai.” Rizaldi mengucapkan kalimat tersebut dengan sekali tarikan napas.
“Bagaimana saksi?” tanya penghulu
“Sah.”
Suara kata sah terdengar bergema di ruang tamu. Untaian doa dan surat Al-Fatihah terdengar dilantunkan di ruang tamu ini.
Rizaldi tampak tersenyum bahagia. Keinginan hatinya untuk mempersunting gadis yang pernah menolak cintanya telah tercapai.
“Akhirnya, kamu jatuh juga dalam pelukanku,” bisik hati Rizaldi.
Kata sah terdengar sampai kamar pengantin. Desi—pengantin perempuan tampak menundukkan wajahnya. Ia mempermainkan jemari tangannya. Bulir air mata mulai mengalir di pipi.
“Selamat, Mbak Desi,” Tania memeluk Desi.
“Terima kasih, Nia.” Desi membalas pelukan dari Tania.
Tania segera menggandeng Desi menuju ruang tamu untuk menemui pengantin pria. RIzaldi merasakan tubuhnya berdesir hebat saat Desi duduk di sebelahnya. Penghulu meminta mereka untuk duduk berhadapan.
Rizaldi menghela napas panjang sebelum menatap wajah Desi yang kini telah sah menjadi istrinya. Dadanya berdebar ketika wajah cantik itu tersenyum di hadapan tamu. Rizaldi memasangkan cincin pernikahan di jari manis sang istri. Tangan Desi terlihat bergetar Ketika Rizaldi menyentuhnya.
Ini memang kali pertama, Desi bersentuhan dengan seorang pria. Selama dua puluh tahun hidupnya, Desi menjaga diri agar tidak disentuh sembarangan oleh pria yang bukan muhrimnya. Desi pun mencium tangan orang yang kini telah sah menjadi suaminya.
Pak Deni terlihat bahagia malam ini. Akhirnya Desi mau menuruti perintahnya untuk menikah dengan Rizaldi.
“Hidupku akan bahagia,” gumam Deni.
Pernikahan yang tanpa dilandasi cinta dan kasih sayang membuat hidup Desi tak bahagia. Hidup di mata orang serba berkecukupan harta, ternyata tidak membuat bahagia. Rizaldi memperlakukan Desi tak lebih dari seorang abdi yang harus setia pada tuannya. Belum lagi cercaan dari istri pertama Rizaldi yang membuat Desi hanya bisa mengurut dadanya untuk bersabar.
Desi tidak mau menyalahkan siapa pun termasuk ayahnya. Hubungannya dengan ayahnya tidak semakin baik. Pak Deni hanya menemui dirinya saat uangnya habis untuk memuaskan dirinya. Judi dan judi lagi. Kalah dan kalah terus.
“Yah, sampai kapan Ayah seperti ini?” tanya Desi saat ayahnya meminta uang lagi.
“Baru jadi istri orang kaya saja sudah sombong. Ingat, Des. Ayah ini satu-satunya orang tuamu. Cepat beri uang! Ayah butuh sekarang!” perintah Deni.
Desi menangis melihat kelakuan ayahnya yang semakin gila bermain judi. Tidak ada kapoknya saat kalah. Nasihatnya hanya dianggap angin lalu.
“Yah, Desi tidak punya uang. Desi tidak memegang uang. Semua keuangan Rizaldi yang mengatur.” Desi menjelaskan sambil berlinang air matanya.
Deni marah karena Desi tidak mau memberinya uang. “Menantu sama anak sama saja. Pelit!”
Desi hanya bisa pasrah menerima bentakan dari ayahnya. Deni kalap saat desi tidak memberinya uang. Dicengkeramnya tangan Desi dan menarik paksa gelang yang menghiasi tangan Desi.
“Jangan, Yah. Aku mohon kembalikan. Itu satu-satunya harta peninggalan mama Nesya yang masih tersisa.” Tanpa menghiraukan Desi yang tangannya merah, Deni segera meninggalkan rumah itu.
“Bagaimana, Mbah?” tanya Deni.
Mbah Parmo hanya mengangguk sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra yang terdengar tidak jelas di indra pendengar Deni.
“Mudah. Semua bisa diatur. Asal kamu memberi mahar yang cocok.”
“Ini, Mbah. Sudah saya siapkan mahar dan segala keperluannya.” Deni mengeluarkan perhiasan berupa gelang dan bunga yang dibungkus kain putih.
Mbah Parmo menerima dengan tawa renyahnya. Mulutnya kembali menyuarakan mantra-mantra.
“Sesampai rumah, kamu taburkan ramuan ini pada minuman menantumu. Tak usah nunggu lama, pasti menantumu akan menuruti semua permintaanmu.”
“Terima kasih. Mbah Parmo memang tiada duanya.” Deni mengacungkan dua jempolnya.
Tidak lama kemudian Deni pamit undur diri dari rumah Mbah Parmo.
“Tunggu pembalasanku, Rizaldi. Siapa suruh kamu pelit. Setelah ini, pasti kamu akan bertekuk lutut dan memenuhi segala permintaanku,” kata Deni jumawa.
Sepulang dari rumah Mbah Parmo, Deni langsung menuju rumah Rizaldi. Rumah itu tampak sepi. Dilihatnya secangkir teh ada di meja makan. Deni yakin teh itu minuman untuk Rizaldi. Segera dikeluarkannya ramuan dan menaburkannya. Teh itu diaduk lagi agar ramuan tercampur.
“Des, mana minumanku?” teriak Rizaldi.
Desi berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa secangkir teh melati kesukaan Rizaldi. Tanpa menunggu lama, minuman itu pun habis sekali tegukan.
“Enaak sekali teh buatanmu kali ini.”
Deni segera keluar dari tempat persembuyiannya dan menemui Rizaldi. Melihat kedatangan Deni, aura persahabatan terpancar dari wajah Rizaldi.
“Den, lama kita tidak bertemu. Kamu butuh apa?” tanya Rizaldi ramah.
Deni merasa yakin ramuan itu telah bekerja. Rizaldi tidak mungkin menyapanya dengan lembut saat bersua dengannya.
“Aku saat ini butuh uang. Aku ada janji dengan teman-teman,” jawab Deni.
Rizaldi tanpa banyak tanya langsung membuka laci meja kerjanya dan menyerahkan segepok uang sesuai permintaan Deni.
Deni puas telah menguasai Rizaldi. Ia pun keluar untuk bersenang-senang dengan teman-temannya.
Semenjak hari itu, hubungan Deni dan Rizaldi semakin erat. Rizaldi tidak pelit lagi pada Deni. Segala permintaaan Deni selalu dituruti. Deni sering mengajak Rizaldi keluar untuk menikmati hidup. Berkelana di dunia malam dengan bermain judi.
Rizaldi kini terbiasa dengan segala bentuk permainan judi. Taruhan demi taruhan selalu dimainkan. Kekalahan demi kekalahan membuat Rizaldi kehilangan banyak harta bendanya. Desi sudah berulangkali memperingatkan ayah dan suaminya. Usahanya tidak pernah berhasil. KDRT yang ia terima saat Rizaldi kalap kalah bermain judi. Sertifikat tanah, rumah, dan mobil pun menjadi barang taruhan. Keadaan ekonominya kacau balau. Desi pun terusir dari rumah Rizaldi karena disita.
Saat asik bermain judi, tiba-tiba …
“Angkat tangan!” perintah beberapa orang sambil mengacungkan senjata.
Semua yang berada di ruang itu belum menyadari apa yang terjadi. Setelah sekian detik, mereka baru menyadari tempat ini telah dikepung oleh pihak berwajib. Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Borgol telah menghiasi tangan Deni dan Rizaldi. Betapa kagetnya Deni saat mengetahui siapa yang telah menangkapnya.
“Ali …!” gumamnya.
Ali hanya tersenyum tanpa membalas sapaan Deni.
Judi menjanjikan kemenangan. Judi menjanjikan kekayaan. Bohong … kalaupun kau menang itu awal dari kekalahan. Bohong … kalau pun kau kaya itu awal dari kemiskinan. Judi meracuni kehidupan. Meracuni keimanan. Perjudian mengakibatkan orang malas dibuai harapan.
Inspirasi: H. Rhoma Irama – Judi
Photo by Viacheslav Bublyk on Unsplash