Senandung Memori

Oleh : Atik

Drrrrrt…..drrrrrt…. Getaran ponsel membuyarkan lamunan wanita berusia 40an, berjilbab hijau pupus, yang tengah memandang hamparan hijau sawah di atas laju kereta Yogyakarta-Jakarta. Ditatapnya layar yang menampilkan nama My Soul dan segera digesernya tombol hijau.

“Hai, sayangnya Ibuk. Kangen, ya?” Sapa wanita yang berparas sederhana itu dengan riang.

 “Iyalah, Buk. Ibuk jadi pulang, kan hari ini?” Cecar si ganteng, putra satu-satunya.

“Iya, sayang. Ibuk udah di kereta. Sabar, ya. Ibuk bawa bakpia kukus Tugu kesukaanmu, loh.”

“Yeay, asyiiik. Yang brownies keju, kan? Aku nggak mau kalau bukan itu.”

“Iiiiish, boong banget! Apapun rasanya, pasti kamu makan. Kamu kan sap sap.” Goda si Ibu sambil terkekeh.

“Yeeee, masa’ anaknya sendiri dibilang sap sap.”

“Laaah, emang iya apa aja kamu suka, kan. Makanya, pipi kamu tambah gembul, tuh. Hihihi.”

“Yaelah, Buk. Itu namanya aku nggak pilih-pilih makanan. Asal jangan masakan Ibuk, soale suka keasinan. Hehehhehe.”

“Eeeeh kamu tuh, ya, suka bener. Yang penting Ibuk, kan sayang sama kamu.”

“Hehehehe, iya, iya, Ibuk sayangku, cintaku, manisku. Ya udah, Ibuk hati-hati, ya.”

“Huuuu, gombaaal. Tapi Ibuk suka, hahahahha. Ya udah. Ibuk tutup teleponnya, ya. Love you.”

Sampe ketemu di rumah, Buk. Love you, too.”

Hendak disimpannya ponsel itu kembali ke tasnya. Namun, ia malah beralih scrolling Tiktok. Aaah, salah strategi. Maksud hati biar nggak ngelamun, eeeh… malah muncul fyp random lagu Tulus. Membawa ingatan sang wanita tentang kisahnya dua hari lalu bahkan bertahun-tahun silam, kala masih muda belia.

Perjalanan membawamu 

Bertemu denganmu

Kubertemu kamu

Sepertimu yang kucari

Konon aku juga 

Seperti yang kau cari

IAIN Syarif Hidayatullah, September 1999

Riuh suara calon mahasiswa baru memenuhi area kampus. Beberapa raut wajah serius terlihat mengisi formulir. Ada pula yang digandeng orang tuanya ke arah loket registrasi. Tak sedikit yang kipas-kipas kegerahan menunggu giliran dipanggil petugas loket. Pun ada yang celingak-celinguk bingung harus ke loket mana dulu karena tiada yang mengantar. Salah satunya adalah seorang gadis berjilbab lilac dengan setelan blus polos warna senada. 

Gadis itu berdiri ragu memegang map berisi ijazah dan dokumen penting lainnya. Ia mereka-reka siapa kiranya yang bisa ditanyai. Bagai oase di tengah gurun, tiba-tiba seorang pemuda berwajah teduh menegurnya dengan ramah.

“Maaf, kamu calon mahasiswa Tarbiyah, bukan? Mau registrasi ulang, ya?” 

Si gadis yang memang sedang butuh bantuan balas menjawab dengan wajah memelas.

“Eeeh, iya, bener. Kamu juga? Duuuh, tolongin saya, ya.”

“Nah, pas kalau gitu. Kita sama-sama aja yuk, antre ke loket 2 untuk nyerahin formulir ini. Fakultas Tarbiyah di situ loketnya bareng Fakultas Adab dan Syariah.  Abis itu tunggu dipanggil, lalu kita akan ke loket 5 untuk pembayaran.” Jelasnya tetap dengan senyum dan tatapan yang teduh.

“Oooh, gitu. Tapi kok, kamu tahu saya calon mahasiswa Tarbiyah?” Selidik si gadis penasaran. Bukannya menjawab, pemuda itu malah menyodorkan map hijaunya ke arah si gadis yang menatap dengan sorot mata tak mengerti. Lalu, si pemuda pun menunjuk map yang dipegang si gadis dan menjelaskan.

“Map kamu hijau, sama dengan punya saya. Tuh, yang lain beda, kan warnanya. Ini sebagai pembeda antar fakultas.”

“Ooooh, gitu.” Si gadis pun manggut-manggut paham.

“Yuk, kita antre bareng di sana.” Ajak si pemuda yang langsung diekori oleh si gadis. Sambil antre ia lanjut berkata.

“Oh iya, kenalkan saya Tyo, dari Yogyakarta. Saya ambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Kalau kamu?”

“Waaah, sama ternyata jurusan kita. Saya Anin, dari Bekasi.” Sahut si gadis dengan mata berbinar. 

Tyo pun membalas jawaban Anin dengan senyum hangat sembari menyodorkan tangannya untuk bersalaman dan berkata, “Waaah, berarti jodoh kita.” 

Anin pun menyambut tangan Tyo dengan senyum lebar dan mereka tertawa bersama.

Taman Fakultas Tarbiyah, Oktober 2000

Semilir angin menepuk-nepuk pipi para mahasiswa yang tengah duduk mengelilingi bangku-bangku melingkar DPR di sepanjang Fakultas Tarbiyah. Yaa, DPR alias di bawah pohon rindang, tempat favorit para mahasiswa menunggu jam kuliah, ngobrol, bahkan mengerjakan tugas. Di sanalah Anin dan Tyo sering berkumpul bersama beberapa teman, melatih kemampuan komunikasi berbahasa Inggris dengan membahas berbagai hal. Kadang makna lagu, film favorit, bahkan berita perpolitikan yang sedang melanda negeri. Mereka berdua punya pemikiran yang sama, yaitu bahasa hanya bisa berhasil jika digunakan untuk berkomunikasi dua arah. 

Seperti siang itu, mereka memimpin jalannya English Club yang mereka bentuk bersama-sama. 

Who is better for Dawson, is it Jen or Joey?” Tanya Tyo kepada para anggota klub mengenai serial Dawson’s Creek yang mereka sepakati untuk dibahas siang itu.

Karena melihat yang lain masih ragu-ragu mau mengucapkan apa, maka Anin mulai menjawab pertanyaan Tyo sebagai trigger.

I think Joey is better for her because they have known each other for years. They know their ups and down by just starring at their eyes or hearing the tone of each other’s voices.”

Mendengar jawaban itu, salah satu peserta menanggapi.

But as a man, I prefer Jen than Joey cos she’s hot. A man needs a girl as his babe, not just a friend.”

Sontak tanggapan tadi disambut sorak-sorai peserta lelaki lain dan berujung perdebatan seru antara peserta laki-laki dan perempuan. Di tengah keriuhan itu, Tyo pun menengahi.

Chill, guys. No matter your choices are, it depends on what Dawson needs more as a person. If I were Dawson, I would choose the girl who has the same vision with me to live a life. To achieve the goal together.” 

Tyo mengerling usil pada Anin ketika mengucapkan kata terakhir. Anin menyambut keusilan Tyo dengan kedipan mata dan tepuk tangan yang disambut meriah oleh peserta lainnya. Aaah… Sejak siang itu, Anin menyimpan rasa merah jambu pada Tyo yang ternyata pun menyimpan hal yang sama pada Anin. Namun, mereka hanya menyimpannya rapat-rapat atas nama persahabatan.

Cisarua, November 2002.

Udara pagi nan sejuk beserta kabut tipis menghiasi vila yang dipenuhi puluhan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Rapat kerja pengurus baru BEM kampus itu berjalan produktif semalam di bawah pimpinan Tyo, sang ketua BEM baru. Jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Anin terlihat asyik memainkan lagu dengan gitarnya. Tyo yang baru saja kembali dari jalan-jalan pagi, tiba-tiba duduk di sampingnya dan mengambil alih gitar tersebut.

“Hei, gue baru aja latihan lagu baru. Main ambil aja, lo.” Protes Anin yang merasa keasyikannya terusik.

Tyo hanya terkekeh seraya menjawab santai.

“Yaelah, nadanya masih random begitu lo bilang latihan. Nih, dengerin lagu original ciptaan gue. Judulnya Cireng.”

Cireng anget-anget baru digoreng

Pake wajan yang udah rombeng

Si Eneng minta dibungkus goceng

Tuk dimakan bareng temen ngeceng

Eeeh sebiji jatuh karena mata si Eneng meleng

Anin tergelak mendengar lirik lagu yang dimainkan Tyo, sahabat sekaligus rekan kerjanya di setiap kegiatan kampus. Mereka bak amplop dan perangko yang hampir selalu terlihat bersama. Punya kesamaan visi dan latar belakang ekonomi yang serupa. Semangat mencari jalur beasiswa dan mengais rezeki dari memberikan les privat untuk membiayai kuliah mereka. Bahkan hobi mereka pun sama, yaitu random menciptakan lagu-lagu pendek yang lucu dengan petikan gitar yang mereka beli berdua saking tak punya uang lebih kala itu. 

Aiiih…. Penggalan memori itu kembali menyeruak di pikiran Anin yang tengah menikmati lagu Tulus di atas kereta yang masih melaju menuju Jakarta. Namun, bukannya diempaskan lamunan itu, justru ia biarkan lagu itu diputar berulang-ulang, membawa kembali perasaan yang telah dipendamnya belasan tahun silam.

Kukira kita asam dan garam

dan kita bertemu di belanga

Kisah yang ternyata tak seindah itu

Kukira kita akan bersama

Begitu banyak yang sama

Latarmu dan latarku

Pesanggarahan Ciputat, Januari 2004

“Yo, ayolah. Ajuin judul skripsi lo. Katanya mau lulus bareng. Inget janji kita, nggak? Kita masuk bareng and lulus bareng juga.” Keluh Anin pada Tyo yang tak kunjung mengajukan proposal skripsinya.

“Yeee, siapa bilang gue belum ajuin, Nin. Udah diapprove, dong.” Sambil mengulurkan map berisi abstraknya yang sudah ditandatangani pihak kampus, Tyo tertawa lebar dan melanjutkan ucapannya.

“Kita lulus bareng ya, Nin. Terus kita lanjut S2 di Inggris, dapetin beasiswa. Bareng. Janji?” Tyo mengarahkan kelingkingnya disertai tatapan teduh meyakinkan. Anin menyambut kelingking itu dengan kelingkingnya dan berkata, “Insyaa Allah.”

Resto Situ Gintung, Agustus 2007

Sore itu suasana tempat makan yang tak jauh dari UIN Syarif Hidayatullah itu tak terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa meja terisi oleh pasangan muda yang tengah menikmati hidangannya. Di saung dekat kolam terlihat Anin dan Tyo tengah serius berbicara. Anin menyesap jus alpukatnya lalu menghela nafas panjang.

“Tyo, kita harus bicara serius kali ini. Nggak bisa kita terus-terusan di jalan yang nggak berujung kaya gini. Mau sampai kapan, Yo?”

Yang ditanya hanya tersenyum dengan tatapan teduh khasnya yang selalu menenangkan hati Anin. Namun, kali ini, Anin bertekad untuk menagih jawaban. Jawaban yang telah dinantikannya sejak pertama kali wajah teduh itu menyapanya.

“Yo, please… Answer me honestly. Though it might hurt me, I’m ready now. Please…

Kali ini giliran Tyo yang menghela nafas dalam sebelum kemudian ia genggam tangan Anin, sahabatnya sekaligus yang telah menjadi kekasihnya sejak 3 tahun terakhir. Wajah teduhnya berubah mendung.

“Nin, lo tahu persis gimana perasaan gue ke lo selama ini. No doubt, gue sesayang itu sama lo. Bahkan, jujur, sejak awal tahun ini gue udah bertekad untuk datang nemuin Mama buat ngelamar lo. Tapi, Nin, gue nggak bisa nyakitin lo. Gue nggak bisa….” 

Tiba-tiba kepala Tyo tertunduk dan bahunya berguncang. Genggaman tangannya pada Anin semakin erat dan isakan tangisnya meledak menyisakan bulir-bulir air mata jatuh membasahi tangan Anin yang digenggamnya. Anin kaget dengan reaksi Tyo yang baru kali itu ia lihat begitu rapuh. Anin beranjak mengambil posisi duduk sambil mengusap punggung Tyo untuk memenangkannya sambil bertanya-tanya kebingungan dalam hatinya. Ada apa gerangan. Selang 15 menit kemudian setelah tangis Tyo mereda dan terlihat mulai bisa melanjutkan pembicaraan, giliran Anin yang menggenggam tangan Tyo dan perlahan bertanya.

“Yo, ada apa sebenarnya? Kenapa lo tiba-tiba kaya’ gini? Pelan-pelan aja, cerita ke gue. Apa yang bikin Lo berpikir kalo lo bakal nyakitin gue. Hmmmm?”

Dengan meneguhkan hati, akhirnya Tyo menatap Anin dengan mata yang berkaca-kaca menahan air matanya tumpah lagi.

“Nin, I’m just gonna tell this once to you. I do hope you understand and don’t get me wrong. Could you?” 

Anin berusaha tersenyum meskipun hatinya berantakan karena ia menduga jangan-jangan Tyo sudah memiliki cinta yang lain, atau bahkan sudah menikah. Yaa Allah…

“Ok, I’ll try. Just tell me, so I can decide what to do next.”

Helaan nafas Tyo bolak-balik diembuskan dengan maksud menguatkan hati untuk mengucapkan apa yang selama setahun terakhir ia sembunyikan dari gadis yang sangat ia kasihi itu.

“Anin… Maafin gue yang nggak mungkin bisa nikahin lo ataupun wanita manapun. Karena gue nggak akan bisa memenuhi kewajiban gue nantinya sebagai seorang suami…”

Kata-katanya terputus karena menahan air mata dari beban yang teramat sangat dipendamnya. Lalu ia melanjutkan.

“Nin, lo ingat setahun lalu waktu gue lagi ikut volunteering di Thailand, terus gue sempet kecelakaan dan harus ditransfusi darah?”

Anin mengangguk ragu. Ke mana arah perkataan Tyo. Kemudian, Tyo melanjutkan ucapannya dengan tetesan air mata dan isak tangis kembali.

“Gue positif kena HIV, Nin.”

Bagai petir di siang bolong, ucapan Tyo sore itu meluruhkan pula bulir-bulir tangis dari mata Anin. Keduanya hanya bisa saling menggenggam erat dan meratapi takdir kisah mereka yang tak ‘kan pernah bersatu.

 Kasih sayangmu membekas

Redam kini sudah pijar istimewa

Entah apa maksud dunia

Tentang ujung cerita kita tak bersama

Cafe Wisanggeni, Yogyakarta, Juli 2022

Senja itu langit beratapkan Merapi merona jingga indah seakan malu-malu dirayu oleh para turis yang berdatangan sejak pagi. Anin sengaja melipir sendirian ke cafe eksotis yang tepat di bawah kaki Merapi. Hendak melepaskan penat membersamai beberapa mahasiswanya yang sedang PKL di daerah Yogyakarta sejak hampir sebulan terakhir. Dua hari ke depan ia akan kembali ke Jakarta, kembali ke tengah putranya dan mamanya. Kembali berjibaku dengan kegiatan rutin menjadi dosen di UHAMKA dan komunitas literasi yang digelutinya.

Diseruputnya kopi latte dingin sambil memetikkan senar gitar yang teronggok manja di sudut ruangan. Dijentikkannya jemarinya membawakan lagu milik Tulus, penyanyi favoritnya.

Semoga rindu ini menghilang 

Konon katanya waktu sembuhkan

Akan adakah lagi yang sepertimu

Pintu cafe terbuka. Sesosok lelaki tegap nan menarik masuk dengan tas ransel di bahunya. Ia langsung menuju meja bar dan memesan segelas Americano hangat. Pandangannya pun disapu ke seantero beranda cafe yang nyaman itu. Lalu, ia tertegun memastikan pandangannya pada seorang wanita berjilbab maroon yang tengah memainkan gitar. 

“Anin, is that you?” Dihampiri dan disapanya wanita tersebut, masih dalam posisi berdiri.

Anin menengadahkan kepalanya dan tercenung beberapa saat lalu perlahan berdiri, “Tyo? Ini beneran lo? Masyaa Allah. Hei, apa kabar?”

Keduanya berdiri berhadapan lalu bersalaman. Lelaki tegap yang ternyata Tyo menyunggingkan senyum dan tatapan teduhnya yang khas sambil berkata, “Iya, ini gue, Nin. Alhamdulillah, gue baik. Kayanya lo juga begitu, bahkan much better. Right?”

Anin terkekeh menjawab, “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Nggak nyangka setelah belasan tahun, kita ketemu di sini, ya. Lo lagi pulang kampung atau stay di sini, Yo?”

Lagi ada proyek sama temen-temen ACT buat warga di sekitar Merapi, Nin. Biasalah. Mana mungkin gue menetap di satu tempat. You know me, kan.” Jawab Tyo sambil mengajak Anin kembali duduk.

Yaa, sore itu sepasang sahabat lama sekaligus mantan kekasih itu dipertemukan lagi di kaki Merapi. Perpisahan mereka belasan tahun lalu akibat takdir HIV yang menimpa Tyo memupuskan harapan mereka membina rumah tangga. Meskipun kala itu Anin bertekad tetap mendampingi Tyo, sebagai lelaki, Tyo tak tega membiarkan wanita yang sangat dikasihinya itu mengorbankan masa depannya demi dirinya. Maka kala itu, mereka memutuskan berpisah dan sepakat tak saling memberi kabar lagi demi menjaga perasaan masing-masing.

Dua hari terakhir di Yogyakarta dihabiskan Anin untuk bercengkerama berbagi cerita pada Tyo. Anin mengisahkan jalan hidupnya yang kini menjadi single mom dengan satu putra akibat KDRT dan perselingkuhan mantan suaminya. Mendengar kisah miris itu, rahang wajah Tyo mengeras karena merasa marah pada keadaan yang membuat wanita yang masih sangat dikasihinya hingga saat itu ternyata menjalani hidup yang tak sempurna. Jauh dari dugaannya selama ini.

“Yaah, namanya juga jalan hidup, Yo. Awalnya gue sempet depresi, tapi terus gue bangkit. So, here I am now.” ucap Anin berusaha legawa. 

Begitupun Tyo menceritakan perjalanan hidupnya bersama komunitas penyandang HIV yang berusaha tetap survive menjalani kehidupan normal. Ia memilih bergabung ke dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. 

Gue akhirnya bisa ke Inggris, Nin. Bahkan ke berbagai belahan dunia lainnya. Meskipun jalannya berbeda, bukan buat sekolah, tapi bantu banyak orang dengan tangan gue. Karena gue nggak tahu kan, kapan gue akan bisa bertahan dengan penyakit ini.” Ucap Tyo sambil menatap langit yang mulai senja.

Pertemuan mereka kali itu pun kembali diakhiri dengan perpisahan. Hanya saja, perpisahan mereka kini terasa lebih baik dan saling menguatkan. Pagi itu Tyo sengaja mengantar Anin ke Stasiun Tugu hingga Anin menjejakkan kakinya di atas kereta menuju Jakarta. Keduanya berpamitan sambil saling menepuk punggung tangan satu sama lain. 

“Kali ini, boleh kan, kita tetap saling bertukar berita, as a friend, like the old times?” Tanya Tyo ragu pada Anin.

Yes, I think that’s fine. We’ve grown up now, right? Gue seneng bisa ketemu lagi sama lo. Gue bersyukur bisa jadi sahabat lo, Yo.”

So do I. Sampai jumpa lain kali, Nin. Hati-hati di jalan, ya.” Jawab Tyo dengan tatap teduhnya pada Anin.

“Ya, insyaa Allah. Lo juga, ya, Yo. Hati-hati di jalan.” Pamit Anin menutup perpisahan mereka kali itu.

Lantunan lagu Tulus yang diputar berulang-ulang menemani sisa perjalanan Anin kembali ke Jakarta. Dengan hati baru yang lebih lapang dengan hidupnya. Insyaa Allah.

Kukira tak ‘kan ada kendala

Kukira ini ‘kan mudah

Kau aku jadi kita

Kukira kita akan bersama

Hati-hati di jalan


Inspirasi: Tulus – Hati-Hati di Jalan


Photo by Alexas_Fotos on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *