Oleh: Widyaningsih
“Ndin, kamu nggak ada keinginan untuk menikah lagi?” tanya Mas Randu yang baru kutemui di acara reuni SMP. Kami bertetangga dan bersahabat dari kecil, saat masih sama-sama jadi bocah ingusan.
“Kalau sekarang sih kayaknya enggak dulu. Aku lagi fokus buka cabang Ayam Krezz di Klaten sama Solo.”
Bukan rahasia lagi. Aku seorang janda. Bukan ditinggal mati, tetapi ditinggal pergi. Perih sebenarnya kalau aku harus mengingatnya lagi. Long distance marriage atau hubungan jarak jauh setelah menikah rupanya menjadi akar permasalahanku dulu.
Masalah ekonomi dan kebutuhan hidup yang makin tinggi, membuatku tidak bisa melepaskan pekerjaanku begitu saja di Jogja sebagai pengurus sebuah Bimbingan Belajar ternama. Mas Faiz pun ikhlas dan rida aku harus jauh darinya. Apalagi setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut dan dia termasuk karyawan yang terkena PHK. Pemasukan yang tidak pasti dari pekerjaan serabutannya cukup bisa disupport dengan gajiku.
Satu minggu sekali kami bergantian berkunjung. Aku yang pulang ke Klaten, atau dia yang ke Jogja, ke rumah kontrakan yang aku sewa bersama Marni.
Bimbel tempatku bekerja semakin maju, cabangnya semakin banyak karena keahlianku mencari peluang. Namun, kesuksesan dalam pekerjaan rupanya tidak dibarengi kelancaran dalam rumah tanggaku. Hampir tiga tahun kami belum juga dikaruniai momongan.
Hingga hari itu datang. Hidupku hancur oleh bom yang diledakkan sahabatku sendiri. Marni hamil. Pria yang melakukannya tidak lain Mas Faiz, suamiku. Mereka mengaku khilaf. Aku diceraikan begitu saja. Dua tahun lebih aku seperti mayat hidup. Setiap hari aku bertanya, apa salahku hingga suami dan sahabatku setega itu. Aku menyalahkan diri sendiri. Aku bukan istri yang baik. Mungkin juga aku sahabat yang buruk.
🎶 Apa saja ku mampu, ‘tuk meraih hatimu
Kuharap engkau suka, beri kecil binar mata
Melekat erat di jiwa
Sudikah naik ikut perahuku
Berkain layar cinta
Arungi warna-warni gelombang dunia
Satu kayuh berdua
‘Tuk sampai di sana
Kau turut serta 🎶
Lagu lama dari Kla Project mengalun merdu dari vokalis band yang disewa untuk reuni akbar ini. Lagu yang dulu sering kami nyanyikan saat bersepeda bersama menuju sekolah, membuat aku dan Mas Randu menyanyi bersama.
“Ya ampun, Ndin. Lagu ini. Kamu masih ingat juga?”
“Masih dong, Mas,” sahutku sambil menyanyikannya lebih keras, sehingga menarik perhatian teman-teman yang lain.
“Wis. Kalian nikah aja. Cocok. lagian sama-sama free kan?” teriak Pay yang membuatku menempeleng lengannya.
“Ngawur tenan, Kowe!” umpatku.
“Ndin, kamu nggak pengin kayak yang di lagu itu?” tanya Mas Randu pelan tepat di telinga, membuatku bergidik.
“Maksudnya?”
“Satu kayuh berdua, Ndin. Aku sama kamu,” ucap pria itu sambil menaik-naikkan alisnya.
“Halah, melu-melu ngawur,” sahutku.
Aku tahu istri Mas Randu sudah meninggal dua tahun lalu, meninggalkannya bersama sang putri cantik yang sekarang mungkin sudah TK. Menatap teman-temanku dengan binar bahagia membuat sudut hatiku nyeri. Sementara aku masih berusaha berdamai dengan masa lalu.
Aku kembali ke kota ini karena keinginan ibu untuk pulang, setelah bertahun-tahun mendampingiku di Pekalongan, kota tempatku berjuang setelah dibuang. Hal itu juga yang membuatku harus melihat rumah tangga Mas Faiz dan Marni yang terlihat bahagia dengan tiga anaknya. Sementara aku masih mengumpulkan kepingan-kepingan hati yang mereka hancurkan.
“Ndin, aku serius dengan kata-kataku tadi. Gimana?”
“Aku nggak bisa, Mas,” jawabku tegas.
“Oke. Sekarang mungkin belum bisa. Tapi aku bakal berjuang.”
“Jangan, Mas. Waktumu terlalu berharga untuk menunggu sesuatu yang tidak jelas.”
“Kamu pantas ditunggu,” ucapnya sambil berpamitan. Meninggalkan aku yang terdiam kebingungan.
“Paket nasi ayam dua ya mbak. Sama paket burger satu. Satu lagi, minta tolong dipanggilkan bosnya. Kami tunggu di meja sepuluh,” ucap suara yang begitu familiar di telingaku saat hendak masuk ke ruangan yang berada di sebelah kasir. Aku berhasil membuka cabang baru Ayam Krezz di Delanggu. Tidak kusangka, animo masyarakan di sini sangat bagus. Restoranku berkembang pesat.
Pintu ruanganku diketuk, setelahnya sebuah kepala muncul dari sana.
“Bu, dicari tuh sama Bapak ganteng sama anak gadisnya. Di meja sepuluh ya,” ucap Nita, anak buahku yang hanya kujawab dengan anggukan.
Sudah tiga tahun lebih sejak pertemuan kami saat reuni dulu. Selama itu pula Mas Randu membuktikan ucapannya untuk berjuang. Dia membantuku mencari lokasi usaha, konsultan, dan segala hal yang berhubungan dengan pendirian usaha, termasuk administrasi dan birokrasi yang cukup rumit. Dua cabang kini sudah beroperasi dan berjalan lancar. Aku banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan bekerja.
“Nduk, kamu ndak pingin nikah lagi? Ibu lihat Randu baik. Apa kalian tidak berpikir buat nikah saja?“
Pertanyaan dari ibu beberapa waktu yang lalu cukup menggangguku. Apalagi candaan si Lola, sahabatku yang tepat sasaran.
“Ndin, tahu nggak sih. Kesepian akan membunuhmu pelan-pelan,” ucapnya membuatku sedikit ngeri.
Tidak bisa aku pungkiri, aku memang sering merasa kesepian. Mas Randu dengan segala sikap manisnya, mau tidak mau membuatku sadar, aku memang butuh seseorang. Pendamping yang bisa mengajakku berjalan bersama untuk satu tujuan. Apakah sekarang sudah saatnya?
“Hai Ndin, yuk makan dulu. Aku nggak sempat beli makanan yang lain. Jadi nggak masalah kan, kalau aku traktir kamu burger dari restoranmu sendiri?” ucap Mas Randu membuatku terkikik.
“Boro-boro beli makan. Aku aja belum makan dari pagi. Bun, boleh nggak aku tambah nasinya setengah?” ucap Nana, putri Mas Randu dengan pandangan memohon. Lihat saja, gadis cantik kelas tiga SD itu bahkan memaksaku untuk mau dipanggil Bunda.
“Boleh dong, Sayang. Sebentar ya.” Aku beranjak untuk mengambil satu porsi nasi dan ayam lagi.
“Kamu nggak boleh skip sarapannya Nana, dong, Mas. “Kan kasihan.”
“Makanya, kapan kamu mau jadi Bunda dia beneran,” sahutnya santai.
“Bun, temani Na beli sepatu, ya. Nggak seru pergi sama Ayah,” ucap Nana sambil terus melahap sarapan sekaligus makan siangnya.
“Siap, Tuan Puteri,” jawabku sambil mengelus rambut hitam gadis cilik itu. Hatiku menghangat. Aku seperti sedang menghabiskan waktu makan siang bersama keluarga kecil yang sangat bahagia. Rasanya sudah cukup Mas Randu menunggu.
“Mas ….”
“Ndin …,” ucap kami bersamaan.
“Lady’s first,” ucapnya.
“After man,” sahutku, membuat kami tertawa.
“Kamu sudah siap satu kayuh berdua mengarungi warna warni gelombang dunia?” tanyanya membuatku tertawa. Sok puitis, padahal aku tahu dia menyontek lirik sebuah lagu.
“Yakin cuma berdua?” tanyaku sambil melirik Nana yang kini sedang menikmati minumannya.
“Oh iya, tentu saja bertiga, berempat atau berlima terserah kamu?” jawabnya membuat keningku mengernyit.
“Bersama anak-anak kita nanti,” sahutnya tegas.
“Aku tunggu kamu di rumah. Izin langsung ke Ibu,” jawabku mantap.
Akhir cerita ini aku harap akan menjadi awal kisah bahagia selanjutnya. Semoga.
Inspirasi: KLa Project – Satu Kayuh Berdua
Photo by Joe Yates on Unsplash