Pesan Terakhir

Oleh: Tyasya

Telah kucoba terus bertahan. Tentang cinta yang kurasa. Ku mencinta, kau tak cinta. Tak sanggup ku terus bertahan.”–Pesan Terakhir-Lyodra.


Edelweis Kirana Anindya adalah seorang murid kelas 3 SMA Garuda yang cantik jelita. Dia mempunyai seorang teman karib bernama Rahman Dama Montana. Mereka sudah berteman sejak kecil, bahkan rumah mereka bersebelahan.

Tidak ada yang salah dengan pertemanan mereka. Hingga suatu hari Rahman mengenalkan seorang gadis bernama Safa Citrani Kaluna.

“Kirana, kenalin. Ini Citra cewek gue.”

Ucapan Rahman membuat hati Kirana terasa sakit. Rasa yang belum pernah dia alami sebelumnya. Kirana mencoba tersenyum sebelum meninggalkan mereka.

Kejadian itu terjadi saat mereka baru masuk SMA. Hari itu tidak akan pernah dilupakan Kirana, di mana dia menyadari perasaan cinta yang ada dalam hatinya. Walau sudah berusaha bersikap biasa saja, tetapi hati memang tidak bisa dibohongi.

“Kirana, besok lo ikut nggak?” tanya Rahman suatu hari di depan rumah.

“Ke mana? Malam mingguan bareng lo sama Citra? Ogah. Gue jadi nyamuk entar,” gerutu Kirana.

Rahman hanya tertawa sembari mengacak rambut Kirana.

“Lucu banget sih, lo. Mirip adek gue.”

Deg.

Jawaban Rahman melukai hati Kirana. Dengan wajah bersungut, dia meninggalkan Rahman ke dalam rumah.

Lo suka ya sama Rahman?”

Kirana teringat pertanyaan Yuga kemarin di sekolah. Apa benar gue suka sama Rahman? pikirnya.

Kirana merasa gelisah di dalam kamarnya. Notifikasi pesan tidak ada satupun yang dilihatnya. Dia memang merasa hatinya berdenyut ketika melihat kedekatan Rahman dengan Citra. Perasaan seperti ini baru dirasakannya, sehingga dia tidak mau langsung menganggap itu sebagai jatuh cinta.


3 bulan kemudian

“Kirana, gue udah putus sama Citra.”

Ucapan Rahman membuat Kirana mengernyitkan dahinya.

“Kenapa? Perasaan belum lama lo jadian?” tanya Kirana.

Rahman beralasan sudah tidak ada cinta di antara mereka. Sejujurnya Kirana merasa senang tetapi di sisi lain juga kecewa. Mengapa begitu mudah Rahman putus? pikir  Kirana.

Setelah itu hari-hari Kirana bersama Rahman kembali seperti dulu. Walau seminggu kemudian, dunia Kirana kembali diguncang. Rahman mengenalkan pacar barunya!

Kali ini, pacarnya adalah seorang gadis dari sekolah lain. Kirana tidak banyak bicara. Dia masih berharap suatu hari Rahman melihatnya sebagai seorang gadis yang menarik.

Apa kurangnya dia? Fisik yang nyaris sempurna, hingga otak yang tidak bisa dipungkiri kepintarannya. Kirana hanya bisa menyimpan rapi rasa cinta di dalam hatinya.

Ketika Rahman kembali putus, asa berkembang dalam hati Kirana. Dia mencoba lebih dekat dengannya.

“Kenapa lo nggak bilang aja langsung ke Rahman? Kalo lo suka sama dia?” tanya Yuga.

Gue takut. Kalo gue ditolak terus dia ngejauhin gue,” jawab Kirana.

Yuga merasa kasihan dengan Kirana. Terus mengharapkan Rahman berpaling kepadanya dan pura-pura baik-baik saja.

“Terserah lo deh,” ucap Yuga.

Kirana terdiam setelah ditinggal pergi Yuga. Dia menatap dedaunan yang bergerak mengikuti arah angin. Bunyi bel masuk membuyarkan lamunannya. Kirana bergegas masuk, meninggalkan gelisah dalam relung jiwanya.


Rahman masih sama seperti biasanya. Berganti pacar setiap sekian bulan sekali, hingga predikat playboy pun melekat padanya. Kirana masih tetap bertahan dengan cinta dalam hatinya.

Dia sadar, tidak berhak memaksa Rahman mencintainya. Dia tidak bisa meminta Rahman mempunyai perasaan yang sama dengannya. Dia hanya bisa menyimpan rapi selama hampir tiga tahun ini.

Ujian kelulusan sudah di depan mata. Kirana berusaha fokus mempersiapkannya. Kedua orang tuanya menginginkan Kirana kuliah di luar negeri. Awalnya, dia tidak mau. Namun, Yuga memberinya saran agar mengikuti kemauan orang tuanya.

“Siapa tau dengan lo jauh dari Rahman, dia bisa mandang lo lebih dari sekedar teman,” ucap Yuga saat itu.

Akhirnya Kirana mengiyakan permintaan orang tuanya. Dia menyiapkan segala sesuatunya tanpa sepengetahuan Rahman. Dia tahu hatinya akan goyah jika Rahman memintanya tetap kuliah di Jakarta.

Lo sibuk banget kayaknya? Kapan nongkrong bareng lagi?” tanya Rahman suatu siang.

“Iya, bentar lagi kan ujian. Ya, gue belajar lah. Emangnya lo. Sibuk pacaran mulu,” ketus Kirana.

“Jutek banget sih, lo. Mau dapet ya?” ledek Rahman.

Kirana tidak menjawab, hanya memberikan ekspresi kesal. Rahman menghela napas.

“Ya udah, iya. Gue yang salah. Udah, ya. Jangan bete lagi. Nanti cantiknya ilang,” ucap Rahman.

Kirana hanya meringis kemudian pergi meninggalkan Rahman sendirian. Kirana kenapa sih sekarang? Aneh. pikir Rahman.


Hari kelulusan pun tiba. Seluruh murid kelas XII SMA Garuda berkumpul di Aula Sekolah. Mereka tampak rapi dengan kebaya dan jas. Orang tua mereka hadir untuk menyaksikan prosesi wisuda.

Rahman mencari Kirana sejak pagi tetapi tidak  ketemu. Bahkan orang tuanya pun tidak hadir. Tumben. pikir Rahman.

“Rahman, ayo masuk. Udah mau dimulai,” panggil mamanya.

Dia berharap bisa bertemu dengan Kirana di dalam. Namun, dia dibuat syok ketika mendengar pengumuman dari Kepala Sekolah.

“Murid terbaik SMA Garuda, Edelweis Kirana Anindya, hari ini tidak dapat hadir karena sudah harus berangkat ke Australia. Kita patut berbangga karena salah satu alumni SMA Garuda diterima di Monash University. Beri tepuk tangan untuk Kirana.”

Rahman tidak bisa berkata apa-apa. Dia melirik kepada kedua orang tuanya yang juga hanya mengangkat bahu, tanda mereka juga tidak tahu. Tanpa menunggu acara selesai, Rahman bergegas keluar. Tidak diperdulikannya tatapan teman-teman.

Dia harus meminta penjelasan Kirana. Dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah Kirana, dia mengetuk pintu.

“Kirana ada, Bi?” tanya Rahman kepada Bi Isah, asisten rumah tangga yang membuka pintu.

“Non Kirana udah ke bandara, Den. Bentar ada titipan buat Den Rahman,” ucap Bi Isah.

Setelah menerima surat dari Kirana, Rahman langsung membukanya.

Dear Rahman,

Kalo lo baca surat ini, mungkin gue udah di pesawat. Sorry, gue nggak pamitan langsung sama lo. Bahkan nggak bilang-bilang kalo gue bakal kuliah di luar negeri. Gue takut perasaan gue bakal goyah.

Ya, gue suka sama lo. Gue cinta sama lo.

Tapi gue sadar, gue nggak bisa maksa lo buat punya rasa yang sama. Gue udah berusaha bertahan di samping lo, tapi gue nggak bisa.

Gue nggak bisa liat lo sama yang lain. Akhirnya, gue hanya bisa pergi dari hadapan lo.

Lo tenang aja, gue nggak benci sama lo. Gue harap lo juga sama, nggak marah sama gue.

Gue berharap lo bahagia. Sejujurnya gue punya permintaan. Gue pengen meluk lo sebelum gue pergi. 🙂 

Rahman, lo tahu gue ada di mana. Kalo lo satu hari terluka dan bisa kasih perasaan lo ke gue, lo tahu gue ada di mana.

Gue selalu mencintai lo sepanjang waktu, tetapi hati lo  bukan buat gue. Gue pergi ninggalin lo  dengan segala rindu tersimpan dalam kalbu.

Terima kasih buat pertemanan kita selama ini.

Dari gue,

Kirana.

Rahman melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dia berjalan gontai menuju halaman rumahnya sendiri. Bahkan motornya ditinggalkan begitu saja.

Jadi, selama ini lo suka sama gue, Kirana? Maafin gue udah nyakitin lo,” ucap Rahman dalam hati.


Terkadang, hal yang kita inginkan tidak kita dapatkan. Bukan karena tidak pantas, tetapi karena memang itu bukan hak kita. Teruslah melangkah menuju masa depan.

Inspirasi lagu: Pesan Terakhir – Lyodra


Photo by Eduardo Goody on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *