Oleh: Rama Aditya Firdaus
Semasa kuliah, aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang manis, jelita, ramah, anggun, dan begitu bersahabat. Dia tampak baik kepada semua orang, termasuk kepada diriku. Aku terhipnotis dengan pesona dan perhatian yang ditebarkannya kepadaku, hingga kami menjadi sangat dekat. Ya, sangat dekat. Eva nama gadis itu.
Kami sudah menjalin kedekatan sejak kami berjumpa saat orientasi mahasiswa baru. Saat aku berkenalan, aku terpesona dengan wajah cantiknya. Kupikir pada saat itu, adalah pertama kalinya aku jatuh cinta kepada seorang gadis. Waktu SMA aku belum pernah sekalipun jatuh cinta, bahkan aku menolak pengakuan cinta yang diutarakan siswi-siswi sekolahku kepadaku. Waktu itu aku hanya ingin fokus belajar dan mempersiapkan diriku masuk ke perguruan tinggi yang kudambakan, Universitas Gajah Mada.
Saat aku melihatnya pertama kali, jantungku berdebar tidak karuan. Perhatiannya sangat dalam padaku. Dia sering mengabariku lewat chat-chat di Whatsapp. Kami sering bertemu dan mengobrol-obrol. Kami jadi akrab. Aku merasa saat itulah kebahagiaanku. Aku berjanji pada diriku bahwa setelah aku lulus kuliah dan meneruskan perusahaan ayahku, aku akan melamarnya menjadi istriku.
Tetapi impianku kini menjadi hancur. Gadis itu menimbulkan luka yang mendalam pada diriku. Dia menghancurkan keinginanku yang paling terdalam, bahwa aku mencintainya dan berkeinginan melamarnya menjadi istriku kelak. Di balik sifat cerianya, perhatian yang diberikannya, ketulusan yang diperlihatkannya, ternyata semua itu hanya topeng. Dia mengoleksi laki-laki lain tanpa aku tahu. Dia juga sering mengintimidasi teman-teman perempuannya, bahkan adik kelasnya sendiri.
Awalnya aku tidak percaya. Aku bahkan menulikan diriku dari nasihat teman-temanku supaya tidak dekat-dekat dengan Eva lagi. Aku merasa telah dibutakan oleh cintaku padanya. Namun akhirnya aku menyaksikannya dengan mata kepalaku. Kupergoki dia sedang berduaan dengan laki-laki lain. Di sebuah kafe dekat kampusku. Aku syok dengan pemandangan yang kulihat. Dia tampak mesra sekali dengan laki-laki itu. Aku marah. Kusambangi mereka dan aku pukul laki-laki itu.
“Andika, hentikan!” Eva berteriak, tidak sanggup melerai perkelahian aku dengan cowok brengsek yang memeluknya. Akhirnya para pengunjung dan staf kafe yang melerai kami. Kulihat Eva mendekap laki-laki itu. Aku memicingkan mata melihat mereka berdua. Aku jadi membenci mereka.
“Jadi, begini kelakuanmu, Eva. Kamu sudah membohongi aku selama ini. Sepertinya cerita teman-temanku tentang kamu benar. Kamu punya hobi mengoleksi para cowok. Ini sudah cowok ke berapa yang kamu koleksi, ha?” aku membentaknya.
“Tidak begitu, Andika. Kamu salah paham. Aku cuma berteman sama mereka. Benaran!” Eva menyangkal.
“Bohong, aku paling benci perempuan pembohong seperti kamu. Kalau kamu cuma berteman, tidak mungkin kamu bisa memeluk orang ini begitu mesra! Kamu sudah mengkhianati aku!”
“Tidak, Andika, kamu salah paham. Begini saja, aku akan jelaskan baik-baik, oke? Tapi kamu jangan asal marah dan memukul Bondi seperti ini!”
“Dia layak aku pukul karena menyentuh pacarku, mengerti?”
“Ayo kita keluar saja,” Eva mencoba menggamit lenganku. Aku berusaha menolaknya tapi dia tetap memaksa menarikku. Di luar kafe kami berbincang-bincang. Aku masih tersulut amarah. Aku melihat Eva tampak takut dengan ekspresiku.
“Bondi cuma temanku, sumpah. Aku tidak ada apa-apa sama dia.”
“Kamu mesra-mesraan sama dia!”
“Aku tidak tahu Bondi akan memelukku mesra begitu!”
“Terus kamu biarin dia memeluk kamu tanpa kamu merasa risih? Perempuan macam apa kamu?”
“Andika,” Eva mulai menangis, matanya berkaca-kaca, “aku minta maaf. Aku khilaf. Aku janji tidak akan mengulangi lagi, oke? Aku tetap sayang kok sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku?”
Aku bimbang. Aku ragu Eva tidak akan mengulangi perbuatannya. Aku khawatir setelah kejadian yang kulihat ini, semua nasihat temanku benar adanya. Batinku berperang antara ingin memaafkan Eva atau tidak. Maka, setelah sepersekian detik, akhirnya kuputuskan untuk memaafkannya. Tetapi aku tidak lantas melepasnya begitu saja. Aku meminta tolong temanku, Irsyad, untuk mengawasi Eva diam-diam. Imbalannya aku berjanji akan menraktirnya makan di warung angkringan sebulan. Irsyad senang sekali menjalankan permintaanku.
Selama satu bulan, Irsyad secara berkala melaporkan kelakuan Eva padaku. Dia memberikan foto-foto sebagai bukti. Aku semakin terluka, semakin kesal, dan marah pada Eva. Ternyata permintaan maafnya hanya basa-basi belaka. Eva terus mengulangi perbuatannya. Bermesraan dengan cowok lain, bergonta-ganti pasangan. Irsyad dan teman-temanku benar. Eva memang hobi mengoleksi cowok, entah untuk apa alasannya.
“Dia memang tipikal playgirl. Kalau cowok ada istilah playboy, nah, dia pun playgirl. Tidak hanya suka mengoleksi cowok, ini, lihat saja, aku diam-diam merekam aksi dia merundung Nia, adik kelas kita, yang diam-diam suka sama kamu.”
Aku terperangah menyaksikan perbuatan Eva merundung Nia. Aku melihat bagaimana kejamnya Eva merundung Nia dan mengeluarkan kata-kata ancaman yang penuh intimidasi padanya. Nia jadi ketakutan setengah mati. Dia terus berteriak ampun karena tersiksa oleh perbuatannya. Tidak hanya video Nia, aku juga mendapat kesaksian-kesaksian yang sama dari teman-teman perempuan dan adik kelasku yang lainnya. Kesaksian mereka menguatkan keyakinanku.
Sungguh, kali ini tindakan Eva telah menggoreskan luka yang begitu dalam di hatiku. Aku bersumpah ingin memberikan pelajaran padanya!
“Kalau seperti ini sih, pendapat kita benar. Kamu putuskan saja dia. Dia tidak layak menjadi pacar kamu. Cari saja perempuan lain yang benar-benar tulus dan setia!” kata Irsyad.
Aku tidak bisa menyangkal lagi. Aku menangis. Semua impian yang kubangun dengan Eva, semuanya hancur seketika. Akhirnya, aku bersiasat dengan Irsyad untuk menguntitnya menemui cowok lain. Cowok itu berbeda dengan yang ada di foto Irsyad sebelumnya. Cowok baru, kata Irsyad.
Mereka lagi-lagi bermesraan di taman kota. Aku bergegas mendatanginya. Eva panik dan ketakutan melihatku. Aku memandangnya dingin.
“A… Andika, aku bisa menjelaskan.”
“Aku punya video dan foto menarik,” suaraku terdengar datar.
“Eh?” Eva mengernyit tidak mengerti.
Aku memperlihatkan semua foto dan video yang dikirimkan Irsyad kepadaku. Eva terkejut dan malu. Dia tidak kuasa membantah. Dia bingung bagaimana harus menjelaskannya.
“Andika, aku… aku… aku minta maaf… Aku sungguh tidak bermaksud…”
“Tidak usah dilanjutkan. Mungkin kamu bosan sama aku, jadi kamu mendekati cowok-cowok lain, yang aku tidak tahu apa alasanmu melakukan itu. Bahkan, ternyata kamu punya sifat manipulatif yang suka mengintimidasi teman-teman kamu, bahkan adik-adik kelas kamu. Kamu tahu, aku paling tidak suka punya pacar yang jahat kepada orang lain, dan bahkan dia sudah melukai hatiku.”
“Andika, aku… aku minta maaf!” Eva berusaha memegang tanganku, tapi aku menolaknya. Aku memandangnya tajam, “Hubungan kita sampai di sini saja. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Kamu tidak layak menjadi pacarku, dan nama kamu pun sudah aku hapus dari hatiku.”
Luka, luka, hilanglah luka
Biar senyum jadi senjata
Kau terlalu berharga untuk luka
Katakan pada dirimu
Semua baik-baik saja
Aku meninggalkannya pergi. Aku tidak peduli bagaimana reaksi Eva. Aku merasa mataku menghangat. Hatiku betul-betul terluka sekarang. Aku benar-benar sedih. Aku menyesal karena pernah menjalin hubungan dengan Eva. Aku alihkan penyesalanku dengan mengikuti kuliah sebaik-baiknya. Aku menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu, lulus dari kampus dengan nilai terbaik. Setelahnya, aku kembali ke Jakarta untuk membantu ayahku mengelola perusahaannya yang saat ini sedang berkembang sampai ke luar negeri.
Ketika ayah menugaskan aku sebagai General Manager di cabang perusahaan kami di Jepang, dengan senang hati aku menerimanya. Di Jepang aku bisa meluangkan hidupku untuk menyembuhkan luka yang kualami semasa kuliah. Kesempatanku untuk bangkit kembali. Sambil bekerja, aku menekuni rutinitasku untuk memperdalam agama, di Masjid Tokyo Camii, sebuah masjid di Tokyo yang berarsitektur seperti masjid di Turki.
Selama memperdalam agama, aku merasa Tuhan sedang menyembuhkan luka yang telah terpendam lama dalam hatiku. Berangsur-angsur luka itu mulai sembuh dan aku menemukan semangatku kembali. Selama di kantor, aku bertemu dengan seorang bidadari yang jelita. Ayumi namanya. Seorang gadis asli Jepang yang sangat berdedikasi dalam pekerjaannya juga sangat antusias mempelajari agama Islam dan kebudayaan Indonesia.
Awalnya aku membentengi hatiku. Aku takut masa laluku akan terulang kembali. Tetapi sekian lama aku menjalin hubungan dengan Ayumi, aku merasakan ketulusan yang tidak dibuat-buat darinya. Dia betul-betul gadis yang jujur sehingga perbuatan baiknya mendapatkan kebaikan serupa dari teman-teman terdekatnya. Aku terkesan dan kagum padanya. Aku semakin menyukai Ayumi. Hatiku luluh untuknya.
Suarakan
Bilang padanya, jangan paksakan apa pun
Suarakan
Ingatkan terus aku makna cukup
Aku suka mendengarkan lagu ini. Tulus adalah penyanyi favoritku. Biasanya kalau sedang bekerja, aku sambil mendengar lagu-lagu Tulus. Suaranya enak didengar, merdu, dan melodinya pun nyaman di hati. Menenteramkan. Ketika sedang mendengarkan lagu Tulus, aku mendengar suara pintu diketuk. Kulihat Ayumi masuk ke dalam ruangan, menenteng berkas-berkas dokumen untuk aku cap, karena di Jepang tidak mengenal budaya tanda tangan.
“Lagu Tulus?”
Aku memandangnya heran, “Bagaimana kamu tahu.”
“Aku suka lagu Tulus,” Ayumi mengangguk sambil menyerahkan dokumen-dokumen berbahasa Inggris dan Jepang itu kepadaku. “Aku sering mendengarkannya di apartemenku kalau sedang santai.”
“Begitukah? Ternyata ketertarikanmu dengan Indonesia sudah sampai sejauh itu,” Aku tersenyum senang mendengar penjelasannya, sambil membubuhi cap di dokumen-dokumen itu lalu memberikannya kepada Ayumi.
“Saya permisi dulu, Pak.”
“A.. Ayumi!”
“Ya?”
Aku dan Ayumi saling pandang. Entah mengapa aku merasa gugup. Aku sudah lama ingin menyampaikan rasa hatiku padanya. Aku sangat menyukainya.
“Sehabis pulang kerja nanti, kamu mau kencan denganku?”
Mata Ayumi membulat. Mungkin dia terperangah karena tidak menyangka bosnya akan mengajaknya kencan. Sedangkan dia hanyalah seorang staf biasa.
“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau. Aku minta maaf kalau permintaanku lancang.”
Ayumi kelihatan bingung harus menjawab apa, “Anda yakin mau kencan dengan saya, Pak? Saya hanya staf biasa sedangkan Anda adalah bos saya.”
“Tapi aku sangat suka kamu sejak kamu masuk kantor ini. Aku suka melihat betapa antusiasnya kamu belajar agama Islam dan budaya Indonesia. Aku mau mengajak kamu kencan, karena aku betul-betul suka kamu, Ayumi-san.”
Ayumi tampak malu-malu. Ragu sesaat untuk menjawab. Aku pun gugup. Aku siap kalau dia mau menolakku. Tetapi kulihat dia tersenyum kecil. Senyumnya itu menawan diriku.
“Baik, Pak. Kalau Bapak tidak keberatan berkencan dengan saya, saya tidak keberatan.”
“Jadi kamu mau?”
Ayumi mengangguk, “Ya, dengan senang hati, Pak.”
“Jangan panggil aku “Pak”. Panggil aku Andika.”
“Baiklah, Andika,” Ayumi terus tersenyum padaku. Senyumnya sungguh memesona diriku. Aku tertawan dengan senyum itu. Seolah-olah senyuman Ayumi adalah penawar luka di hatiku, yang telah tergores sekian lama.
Luka, luka, hilanglah luka
Biar senyum jadi senjata
Kau terlalu berharga untuk luka
Katakan pada dirimu
Semua baik-baik saja
Inspirasi dari: Tulus – Diri
Photo by Ekaterina Kuznetsova on Unsplash