Oleh : Nik Damayanti
Bertanya, cobalah bertanya pada semua
Di sini ku coba untuk bertahan
Ungkapkan semua yang ku rasakan
Lelah sudah Anindita menjalani kehidupan perkawinannya. Berbagai cara dilakukan untuk memperbaiki hubungan, tetapi selalu gagal dan gagal lagi. Empat tahun bukan waktu yang singkat baginya untuk berbagi rasa. Namun, keinginan sepihak saja tentu tidak akan membuahkan hasil. Ibarat pepatah, bertepuk sebelah tangan.
Wajah oval dengan dagu lancip sangat serasi dengan hidung mancungnya. Kulit putih bersih dan postur tubuh yang proporsional melengkapi kesempurnaannya. Sungguh nama yang sesuai, Anindita, yang berarti sempurna. Sang suami, Farhan, mempunyai perawakan atletis, kulit bersih, dan wajah mirip artis korea. Mereka berdua sangat serasi.
Di saat merenung, kejadian beberapa tahun yang lalu masih terekam jelas dalam ingatan Anindita. Saat awal perkenalan dengan Farhan, ia langsung tertarik pada pandangan pertama. Wajah tampan, tutur kata sopan, dan pribadi yang menyenangkan. Meskipun baru pertama bertemu, pembicaraan mereka langsung cocok. Demikian juga Farhan, dia tidak perlu berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius. Usia yang lebih muda lima tahun dari Anindita tidak menghalangi keseriusan mereka dalam membina rumah tangga.
Tepat tiga bulan setelah perkenalan mereka, Farhan menelepon Anindita. “Assalamu’alaikum, Dita. Ada yang ingin aku sampaikan.”
“Waalaikum salam. Tumben pagi-pagi sudah telepon. Ada apa, nih?”
“Begini, Dita. Kalau kamu tidak keberatan besok minggu aku dan keluarga akan silaturahmi ke rumahmu. Boleh, kan?” Farhan menyampaikan dengan hati-hati.
Anindita sejenak tidak bisa berpikir. Kata-kata itu begitu indah terdengar di telinganya. Benarkah ini? Apakah bukan mimpi?
“Halo, Dita. Kamu masih di situ, kan?” Nada khawatir terdengar dari suaranya.
“Oh, iya … aku masih di sini. Rasanya tidak percaya, benarkah?” Anindita butuh kepastian dari perkataan Farhan.
“Aku serius dengan kamu, Dita. Oleh karena itu, keluargaku ingin segera mengenal keluargamu. Tolong kamu sampaikan, ya. Sementara begitu dulu ya, Dita. Aku tunggu kabar baikmu.”
Gadis itu begitu bahagia. Hatinya berbunga-bunga. Tidak mengira kalau Farhan secepat itu akan meminangnya. Alhamdulillah, Allah telah mengabulkan doanya selama ini.
Semua berjalan sesuai yang mereka rencanakan. Pesta pernikahan yang cukup mewah terlaksana di pihak Anindita, dilanjutkan dengan acara ngunduh mantu di rumah orangtua Farhan.
Awal pernikahan segalanya terasa indah. Semua pekerjaan rumah dikerjakan berdua. Anindita memutuskan untuk tidak bekerja, ia memilih mengurus rumah. Keahliannya dalam memasak dan membuat kue bisa diandalkan untuk membantu perekonomian keluarga.
Sejak menikah ia memang tidak pernah diajak menghadiri acara pernikahan ataupun acara kantor Farhan, hal itu bukan masalah baginya. Karena beres-beres rumah yang lumayan besar cukup menyita waktu, belum lagi kalau ada pesanan kue dan masakan membuat Anindita seringkali kewalahan.
Waktu bergulir dengan cepat. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa sudah satu tahun pernikahan mereka. Wanita cantik itu mulai merasakan ada yang berubah di diri Farhan. Kalau dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu dia akan setia menemani Anindita, tetapi akhir-akhir ini selalu ada acara dengan teman-temannya. Sikapnya mulai acuh dan seringkali meninggalkan Anindita sendiri di saat weekend, di mana ia ingin bermanja-manja bersama suami tercinta.
Hingga di suatu sore yang cerah, saat mereka berdua minum teh, wanita berambut sebahu itu memberanikan diri memulai pembicaraan. “Mas, ayuk minggu depan kita jalan-jalan ke Banyuwangi sekaligus mengunjungi ibu. Kebetulan hari Jum’at libur, jadi ada waktu tiga hari, cukuplah untuk refreshing.”
“Minggu depan? Kayaknya kantorku ada acara keluar kota, deh.” Farhan menjawab tanpa ekspresi sambil matanya tidak lepas dari gawai, seolah mata itu tidak berani memandang istrinya.
“Bersama keluarga, kan? Berarti aku boleh ikut, dong.” Anindita begitu agresif menanggapi.
“Maaf, hanya untuk karyawan.” Jawaban pendek yang sangat menusuk hati.
Setelah itu hening, tidak ada penjelasan lagi. Dita tidak sanggup melanjutkan, mulut rasanya terkunci. Kalau dipaksakan berbicara tentu hanya isakan tangis yang keluar. Sebelum air mata jatuh menetes, ia segera memberesi cangkir tempat minum teh mereka, sedangkan Farhan tetap sibuk dengan gawainya.
Berbagai cara ditempuh supaya perkawinan dapat terselamatkan. Ada kalanya Farhan menyadari dan kembali perhatian, tetapi seringkali melakukan kesalahan yang sama, begitu seterusnya. Saat pernikahan menginjak tahun keempat, Dita sudah tidak sanggup untuk bertahan. Lelaki tampan itu semakin sibuk dengan teman-temannya.
Perpisahan terjadi bukan selalu karena masalah yang besar. Merasa tidak didengarkan, diacuhkan, didiamkan atau dianggap tidak penting. Mungkin bagi orang lain hal seperti itu dianggap sepele, tetapi bisa menjadi pemicu timbulnya pertengkaran. Akhirnya, perceraian menjadi jalan terakhir, meskipun ia tahu cara ini yang paling dibenci. Tapi apa daya, mediasi dari kedua keluarga pun sudah tidak bisa membantu. Keputusan ini segera diambil Anindita, daripada menghabiskan waktu sia-sia dengan orang yang salah, lebih baik ia segera memikirkan langkah ke depan yang lebih baik. Ternyata Farhan tidak keberatan dengan keputusan untuk berpisah.
Saat paling sulit dalam hidup Anindita adalah melupakan kenangan indah maupun kenangan yang menyakitkan saat bersamanya. Ia berharap apa yang dialami hanyalah mimpi. Ternyata saat bangun semua luka dan kecewa itu masih ada. Tidur yang biasanya menyembuhkan banyak hal, tidak berlaku untuk luka di hati. Rasa itu tetap saja bertahan. Ia berharap bahwa semua ingatannya akan lumpuh daripada terus menanggung luka.
Payung memang tidak menghentikan hujan, tetapi memakainya akan melindungi dari basah. Seperti halnya senyuman, mungkin tidak serta-merta menghentikan kesedihan. Akan tetapi, saat senyuman menghiasi wajah, selalu ada harapan untuk sembuh seperti sedia kala. Karena hidup harus tetap berjalan meskipun dengan atau tanpa dirinya. Wanita berparas elok itu berusaha menunjukkan ketegaran, tanpa sedikitpun air mata menetes di pipi. Sesungguhnya, air mata itu menetes deras di dalam hati, membanjiri bahkan menenggelamkannya.
Mungkin sekarang adalah waktu terbaik untuk sendiri. Bukan untuk mengasingkan diri atau menjadi terasing dari yang lain, tetapi semata-mata untuk menata diri sehingga siap menerima pilihan terbaik-Nya.
Seringkali akal tidak sejalan dengan perasaan. Saat akal ingin melupakan, justru hati menolak untuk merelakan. Memang tidak ada cara untuk melupakan, yang ada hanyalah membiasakan diri untuk menjalani hari-hari tanpanya.
Mata bisa ditutup untuk sesuatu yang tidak ingin dilihat, telinga bisa ditutup untuk sesuatu yang tidak ingin didengar, tetapi hati tidak bisa ditutup untuk sesuatu yang tidak ingin dirasakan. Namun, Anindita yakin bahwa rencana-Nya pasti lebih indah dan akan datang di saat yang tepat.
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentangnya
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Sidoarjo, 20/12/2022
Inspirasi: Geisha – Lumpuhkanlah Ingatanku
Photo by Yuvraj Singh on Unsplash