Oleh : Meili
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Emas intanmu terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Syair lagu “Ibu Pertiwi” mengiringi berita bencana banjir bandang, tanah longsor, gempa, dan erupsi. Bencana beruntun menerpa negeri yang indah ini. Hati mana yang tidak sedih mendengar dan melihat berita itu. Hal itu juga yang dirasakan Junaedi. Hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu. Apa yang bisa dilakukan untuk menjaga Ibu Pertiwi. Gumamnya dalam hati. Ingin sekali kerja di BNPB, tapi tingkat pendidikan dan pengalaman membantu ibunya jualan gado-gado tidak akan bisa membawanya ke dunia itu.
Selalu indah terbayang di pikirannya bisa menolong semua orang di daerah bencana. Seluruh tenaga akan dikerahkan. Baginya senyum mereka adalah hal terbaik di dunia ini.
Plok!
Ibu Juned memukul lengan atas dengan lap meja yang dibawanya.
“Napa sih, Mak?” tanya Junaedi kesal.
“Eh, ada juga emak yang tanya. Elu kenapa? Senyum-senyum sendiri. Mana tuh, senyum kagak lepas. Timbang senyum aja, pelit banget,” kata ibunya sambil jalan menuju teras depan.
Melihat ibunya begitu, Junaedi ikut santai juga. Dia kembali nonton.
Kangkung masih di dapur. Jadi, Ibu Junaedi masuk lagi ke dalam rumah. Dia jualan gado-gado. Sejak ayahnya mulai sakit-sakitan karena TBC, ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Junaedi belum dapat kerja yang membanggakan. Kerjanya serabutan. Untungnya, dia sangat ringan tangan. Namun jika tidak ada yang meminta tolong bantuannya, akan duduk manis di depan TV menghabiskan hari.
“Juned!”
“Juned!”
“Juned!”
Junaedi diam. Tidak mendengar panggilan ibunya. Kesal pula ibunya.
Plok!
“Napa sih, Mak? Dari tadi, dipukulin mulu!”
“Elu juga! Ngapain bengong di depan tipi! Emang gak ada kerjaan lain yang bisa lu lakuin?”
“Juned kan, lagi nonton berita bencana. Negara kita tuh lagi kesusahan. Bencana dimana-mana. Ada yang tanah longsor, banjir bandang, gempa, erupsi, angin puting beliung, gak ada cewek yang naksir…,”
“Emang trus napa kalo gak ada cewek yang naksir? Bencana di hidup lu? Bapak lu meninggal juga bencana buat gua. Harus banting-tulang cuma buat hidup kita sehari-hari. Emang lu pikir gua gak pengen kayak emak-emak yang lain? Duduk manis di rumah, suaminya datang bawa gajinya tiap bulan. Belanja deh, ngabisin duit suaminya. Enak!” sela ibunya panjang.
Mendengar ucapan ibunya, Juned merasa tidak enak hati. Langsung salah tingkah. Diam dia juga bencana buat ibunya. Kemudian, kangkung yang ada di tangan ibunya direbut. Segera dibawa ke teras.
“Kalo lu diem aja, makin susah tuh dapet cewek!”
“Trus, Juned ngapain dong?”
“Pikir ndiri! Lu tanya gua. Gua jawab pertanyaan hidup aja udah susah. Jawab pertanyaan lu, lagi,”
Televisi sedang menayangkan program berita. Saat ini, membahas tentang krisis alam. Diperkirakan tahun 2050, Jakarta akan tenggelam.
“Tuh, denger! Jakarta tenggelam! Hidup makin susah. Gimana caranya kamu gak tenggelam… “
“Kok kamu, Mak?”
“Paling tahun ntu, Emak dah meninggal.”
“Hush, jangan ngomong, gitu! Apa ya, Mak?! Bantuin dong, Mak.”
“Hadeh! Lu tanya lagi ma emak!”
Diam sejenak ibunya. Tetap bantu mikir. Dia lihat wajah anaknya tampak serius. Mungkin pikirannya mulai teralih. Pikirnya.
“Ambil sikat gigi… “
“Buat apaan?” Sela Juned
“Bersihin jalan tol…”
Bruk!
Juned memeluk ibunya. Sebenarnya, dia masih kesal dengan becandaan ibunya. Namun, mau gimana lagi. Itulah ibunya suka becanda.
“Ada lagi!”
Juned melepaskan pelukan dan bertanya, “Apaan lagi?”
“Ambil sapu lidi. Trus, lu ke kalimantan… “
“Ngapain? Jauh, amat!”
“Sapuin hutan yang semek, noh!” Kata ibunya sambil ngeloyor pergi.
Ujung bibir saling menarik. Senyum tipis. Kembali meneruskan liat berita di TV, Juned duduk manis.
Berita di TV mengatakan, “Hutan Kalimantan banyak yang digunduli. Dimanfaatkan lahannya untuk pihak Swasta. Sehingga mengakibatkan hewan hutan jadi tergeser habitatnya. Dan bahkan ada yang mati. Tak biasa dengan perubahan yang drastis. Membuat para makhluk hidup yang dilindungi jadi stres. Jumlah kematian meningkat.”
Serem juga. 2050 aja, Jakarta tenggelam. Hutan sedikit. Artinya, banjir. Panas meningkat. Sedikit jumlah oksigen. Hewan mati. Gak lama manusia pasti ikutan…Kalau 100 tahun kemudian dari sekarang, kiamat! Udah gak jelas bentuknya dunia ini. Bukan tempat yang layak untuk ditempati. Ujar Juned dalam hati.
“Eeeh, dia nonton lagi!” keluh ibunya. Kemudian, dia mengambil sapu lidi dan kantong kresek. Dibawa ke hadapan Juned.
“Astaga, Mak! Mau ngapain?”
“Mak mau nyuruh lu biar dapat cewek cantik dan baik hati! Lakukan hal yang berguna!”
“Emang kalo nyapu bisa dapat cewek?”
“Bisa! Cewek pada kagum ma usaha lu membersihkan dunia ini!” Diam sejenak sambil mendekatkan sapu lidi dan kantong kresek ke Juned. “Sapuin tuh, halaman! Jangan lupa pisahin sampah plastiknya sama daun. Daun bisa jadi kompos. Ingat, plastik sendiri!” Lanjutnya.
Kembali Juned diam untuk berpikir.
“Tungguin jualan Emak ya..! Mau anter pesenan dulu ke Mpok Arpah, “
“Mmm, ” Respon Juned.
Juned duduk di dekat meja jualan gado-gado. Memandangi sekeliling rumahnya. Bangun dari kursinya. Melihat halaman rumah. Hanya ada sampah daun. Begitu keluar rumah, liat selokan, sekumpulan sampah plastik berserakan di mana-mana. Seperti ada artis k-pop yang datang dan semua fans datang hanya untuk sekedar melihat.
Apa mungkin ngumpulin sampah ada ngaruh ma hidup? Bisa dapat cewek cantik-pintar-baik-solehah. Tidak usah cari kerja lagi?! katanya dalam hati.
Semoga bisa berubah. Harus dimulai. Kita gak akan pernah tahu jika belum mencoba. Semangat!
Kantong kresek yang sudah disiapkan oleh ibunya diambil. Mulai dari halaman rumahnya. Masih ada tertinggal beberapa sampah plastik. Mungkin hasil dari tiupan angin. Yang membawa terbang ke rumahnya.
Selangkah demi selangkah diambil sampah plastik. Terus berlanjut hingga tanpa sadar Juned sudah berada di luar rumahnya. Seiring itu juga rasa semua beban di hati berangsur hilang. Kesal. Sedih. Sepi. Bosan.
Terus tanpa henti. Keringat yang mengucur dari kulit kepala membawa rasa penat di kepala hilang. Pergi bersamaan dengan tiap tetesan air yang turun
Saat ini, Juned sudah berada di selokan. Di RT sebelah. Sudah lumayan jauh dari rumahnya.
“Juned, ngapain?” tanya seorang pria paruh baya.
“Biasa, Pak, ” jawab Juned singkat.
Juned meneruskan perjalanannya. Saat itu sudah kantong kresek yang ke 4 di tangannya. Jika kresek yang diisi sampah sudah penuh, kemudian ditinggalkan di tong sampah terdekat.
Aksi pahlawan lingkungannya berakhir ketika terdengar nanyian merdu di lambungnya. Juned pun sadar. Bergegas pulang.
Keesokan pagi, dengan semangat yang menggebu meneruskan misinya sambil lari pagi. Sebelum aksinya, disempatkan mampir ke pasar. Mencari karung bekas untuk mengumpulkan sampah. Mulai dipilah sampah yang berupa botol dengan sampah plastik biasa. Hal itu terus berlanjut di hari-hari berikutnya.
Beberapa tetangga sedang kumpul membeli sayuran di tukang sayur keliling. Membawa sayur dengan kendaraan motor yang telah dipasangkan kotak di belakangnya.
“Juned kasihan sekarang… “
“Iya, jadi aneh kelakuannya,”
“Ibunya juga aneh! Dikasih tahu gimana anaknya di luaran, malah diam aja!”
“Iya, anak udah kayak orang gila gitu,”
“Tiap hari, cuma cari sampah!”
“Ada juga cari kerja, “
Para ibu saling bersahutan. Menanggapi dengan nyinyir. Sesekali, Juned mendengar. Berusaha tidak mendengar. Biar tidak ada konflik dalam dirinya.
Beda dengan apa yang dilihat para Bapak. Apalagi pengurus RT. Mereka merasa apa yang dilakukan Juned sungguh luar biasa. Ada anak muda mau melakukan pekerjaan yang bikin tangan kotor. Bukan duduk menghadapi komputer.
Pak Mulyono juga berpikir hal yang sama. Melihat lingkungan terlihat luar biasa. Tidak ada sampah plastik sedikit pun. Dia cuma bisa bilang “Woow!”
Terpikir di benaknya ikut berpartisipasi dalam kebersihan lingkungan. Sampah plastik sudah menjadi momok di seluruh dunia. Apalagi kalau sudah masuk ke selokan air. Ilmu apapun sulit menyelesaikan. Cukup ada yang mau ubek-ubek selokan untuk ambil plastik.
Beberapa penelitian juga sudah banyak yang membahas kemungkinan kerusakan yang terjadi saat plastik masuk ke dalam lautan. Korban paling pertama adalah hewan laut. Banyak yang masuk ke dalam plastik.
“Jun!” Panggil Pak Mulyono
Juned yang sedang ambil sampah langsung menghampiri. “Ada apa, Pak?”
“Saya mau minta tolong kamu untuk menggerakkan orang kampung sadar lingkungan. Kalau kita gak peduli sama lingkungan akan jadi seperti apa. Mungkin di 20 tahun mendatang isinya cuma sampah semua. Makhluk hidup gak ada yang bertahan.” Cerocos Pak Mulyono.
Juned paham akan maksud Sang Ketua RW. Dia mengangguk-angguk sebagai tanda paham.
“Oh, bisa banget! Saya ingin, rumah saya jadi Bank Sampah. Tempat pengumpulan sampah plastik, kertas, kardus, dan sampah organik juga. Tujuannya kita daur ulang semua. Sampah organik dijadikan kompos. Sampah plastik dijual buat daur ulang. Sampah bungkus sabun atau minuman didaur ulang jadi tas atau dompet. Minyak jelantah pun harus kita terima. Kita kirim ke lembaga tertentu yang khusus mengolah sampah-sampah itu. Kalau perlu, ada anak bawa sampah botol atau kardus, kita terima dan mereka dapat bayaran yang sesuai.” Memandang ke langit dan melanjutkan. “Pasti semua akan tergerak, ” Respon Juned panjang dan lebar.
“Setuju!” Katanya Pak Rw sambil memberi 2 jempol tangan.
Dengan bantuan RW-RT dan seluruh staf-nya, apa yang diingankan Juned berjalan. Duit yang didapat Juned tidak seberapa. Namun, dia berhasil menggerakkan warga. Yang dipikirkan dia hanya membersihkan “Ibu Pertiwi” dengan ide-idenya.
Minggu pertama, sangat rame. Bahkan dagangan ibunya jadi lebih rame. Banyak orang tua yang memang niat mengajarkan anaknya peduli lingkungan. Liburan mereka bukan Mall lagi. Secara tempat itu belum bisa semua masuk. Masih korona. Bank Sampah menjadi solusi liburan plus-plus. Gratis dan ilmu bertambah. Jika, membawa barang bekas atau sampah, uang di kantong pun ikut bertambah. It’s amazing!
Bank sampah didatangi 5 orang ibu yang julid-julid dulu.
“Jun-Bu, kami ke sini, mau minta maaf!” Kata mereka bersamaan.
“Untuk apa?” tanya ibu Juned.
Juned yang sedang membereskan sampah datang. Mencoba perhatian dan mendengarkan dengan seksama.
“Kami sering membicarakan ibu yang gak bisa mengurus anak. Dan Juned dibilang orang gila yang kerjannya hanya memungut sampah,” kata salah satu ibu yang lebih tinggi dan memakai baju berwarna coklat.
Ibu dan anak tersenyum lebar. Dan Juned berkata, “Gak papa!” Juned mendekati mereka. “Yang penting bantu saya kumpulkan sampah yang banyak! Kita bikin lingkungan jadi sehat. Buat generasi penerus nanti,” lanjutnya.
Ibu Juned semakin tersenyum lebar dan lama. Bahagia dia karena anaknya sudah hebat dalam pemikiran.
“Jun!” Teriak Pak Mulyono
“Jun!”
Juned dan ibunya mendengar. Mereka keluar.
Pak Mulyono menghampiri. Langsung masuk di teras rumah.
“Besok, Lurah dan Camat akan ke sini. Mereka akan bersama orang Walhi pusat juga!” Penjelasan Pak RW.
Pikiran Juned langsung melayang jauh. Pasti ada yang baik dengan didatangi orang Walhi. Namanya akan semakin harum.
Walhi datang dengan tujuan memberikan jabatan pada Juned sebagai Duta Iklim. Sekarang, dia berdiri di sini. Di depan bangku jati yang indah akan ukirannya Jeparanya. Melihat Presiden memasuki ruangan.
Sebelah kanannya salah dua artis muda yang paling berpengaruh di dunia internasional. Yaitu: Agnes Mo dan Cinta Laura. Dirinya berdiri sejajar dengan mereka. Memang sebelumnya, diberitakan diangkat menjadi Duta Iklim juga. Sedangkan yang di luar negeri yang diangkat adalah Blackpink.
Acara hari ini, Presiden sengaja dibuat untuk meminta bantuan mereka menyelamatkan Indonesia di masa yang akan datang.
Acara berjalan sempurna. Tanpa hambatan. Merasa jadi manusia. Presiden memperlakukan manusia sama. Juned mendengar Agnes Monica dan Cinta Laura membawakan lagu “Ibu Pertiwi” begitu merdu.
Sepulang dari Istana, senyum lebar tidak hilang dari wajah Juned. Bahagia menyertai perjalanannya hingga menuju rumah. Senyum indah…, berubah!
Dilihat sekitar rumahnya. Masih sama sebelum jadi Bank Sampah. Kosong. Dilihat dirinya masih memakai kaos rumah. Bukan batik dan celana panjang. Bukan kayak orang pulang dari Istana. Dilihat kantong kresek dan sapu lidi yang diberikan ibunya masih ada di sampingnya.
“Ada yang beli gak Jun selama ibu pergi anter pesenan tadi? Maaf, emak kelamaan. Diajak ngobrol dulu ma Mpo Arpah.”
Pertanyaan Emaknya membuat Juned tersadar kalau dari tadi dan semua gambar indah itu hanya ada di kepalanya. Demi menghilangkan rasa keanehan dalam dirinya, dia mengambil kantong kresek dan sapu lidi. Mulai membereskan sampah. Meninggalkan ibunya dengan kebingungan.
Inspirasi: Lagu Nasional – Ibu Pertiwi
Photo by John Cameron on Unsplash