Oleh : Nining Handajani
Matahari usai lengser ke barat dan tak lagi dapat membendung biasnya bintang yang mulai gemerlap. Bulan penuh, masih puas bercongkak walau hanya sekadar bersanding mengiba tertutup awan. Perlahan awan putih mengarak pergi awan hitam. Sepenggal yang hitam berupaya berkelebat hadir walau tertinggal gumpalan kawan-kawannya. Si hitam dan si putih asyik berganti, berebut ingin mendahului, berusaha saling menghindari. Putaran bumi yang seperti ini membuat Kabupaten Gampang Gantrungan mudah terusik, bergejolak, sedikit gamang dan punya rasa sungkan.
Sejak dulu semua kenal siapa Pak As, dan semua tahu bahwa keluarganya memiliki hubungan dengan banyak orang. Bahkan ada beberapa orang dengan beraninya memproklamirkan diri telah melewati tali silahturahmi sederhana, walaupun tidak memiliki ikatan darah maupun hubungan persaudaraan sekalipun. Tak terkecuali pejabat-pejabat Kabupaten Gampang Gantrungan yang merasa kepopulerannya kalah tersaingi, ternyata sangat sungkan untuk menilai kecakapan Keluarga Pak As. Bahkan pucuk pimpinan Kabupaten Gampang Gantrungan merasa gamang dan enggan ketika harus bertemu muka. Mungkin karena leluhur Pak As dianggap sesepuh pondasi berdirinya Kabupaten Gampang Gantrungan. Mungkin pula karena sifat Pak As yang nampak intelektual dan mampu menjala atensi walaupun bukan seorang pejabat tetapi wewenangnya melebihi kekuasaan seorang pejabat. Banyak orang berbondong-bondong berusaha berebut membina hubungan dengan aneka ragam alasan dan tujuan bahkan menawarkan bantuan tanpa diminta. Memilih bekerjasama mendirikan banyak kegiatan, berinvestasi puluhan hingga ratusan juta untuk diam-diam meraup keuntungan bersama. Mungkin juga karena putra-putrinya terkenal semeleh dan grapyak, tak heran jika banyak orang berebut simpati dengan mengacungkan jempol bagi sisi kehidupan sosialisasi mereka.
Kenyataannya sebagian besar orang lebih menghormati dan mengelu-elukan figur Bu As. Bukan karena Bu As bersifat polos, cantik dan nampak seperti titisan bidadari dari kayangan. Tetapi sebagai seorang isteri dan ibu bagi anak-anaknya, Bu As adalah sosok yang paling berpengaruh dan sukses dalam membuat pondasi kokoh bagi kelangsungan hidup keluarganya di masa yang akan datang. Hidup rumit dan susah yang pernah dilaluinya, tidak ingin ditularkan pada anak cucunya. Kasih sayang pada mereka melebihi kasih sayang seorang ibu pada umumnya. Kehebatan kasih sayang itu akan kabur maknanya kalau Bu As terlanjur among karsa [1] menentukan sikap dan menyiasatinya lebih dulu bahwa pepatah ‘one who cares for his children and grand children is a superior man, while an evil man has not the slightest consern of his children an grand children’ [2]. Bu As toh tidak ingin digolongan orang jahat karena mengabaikan masa depan anak cucunya. Bukankah sangat manusiawi apabila Bu As menumbuhkan semangat dan wawasan kesungguhannya mengayomi dan menebarkan kasih sayang pada banyak orang?
Bu As memang dominan tetapi punya banyak andil dalam kesuksesan keluarganya. Padahal Bu As hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang sekadar nampak beraktivitas sosial, bahkan tak dapat menghasilkan berlimpah uang. Kesehariannya terpantau hanya menyibukkan diri dengan tetekbengek kegiatan berumah tangga. Dibalik itu Bu As adalah orang yang paling tahu mengolah kesempatan dalam setiap celah kehidupannya. Selalu optimis dan pragmatis dalam bersikap…ide-idenya dianggap brilliant [3]…ah mirip sikap seorang ratu dari belahan bumi eropa yang baru saja wafat. Padahal pastinya Bu As tak pernah kenal apalagi sampai dekat dan ber‘soulmate’ [4] dengan sang ratu, atau mungkin saja tak ada yang tahu ketika Bu As melakukan korespondesi via email atau chatting [5]? Sikapnya yang tenang dan terkesan menunggu seakan-akan meredam permasalahan yang ada, sembari diam-diam menyelesaikan masalah hingga muncul keputusan yang dianggapnya paling tepat walaupun sangat rentan dengan rekayasa. Keputusan salah dan benar yang harus sesuai dengan sudut pandangnya. Seluruh anggota keluarga harus patuh dan tunduk pada peraturannya yang sok demokratis tetapi jelas otoriter dan sangat berkuasa. Tak ada yang mampu membela diri apalagi memberikan alasan dan kebenaran. Bu As lebih suka sibuk membentengi diri dengan segala kemajuan jaman hanya untuk mencanangkan diri pribadi dan keluarganya mutlak…tlak…benar, sukses dan meraup banyak keuntungan.
Bukan karena merasa menjadi panutan, tetapi Bu As memang paling mampu mengendalikan ketidaksukaan, ketidakpuasan maupun kemarahannya. Pendekatannya memang berbeda, tidak ada yang mampu menandingi, yang dihadirkan justru kata-kata manis dengan intonasi perlahan dan tegas walaupun dengan senyum di sudut bibirnya ada lekukan sinis. Tak pernah sekalipun dalam kalimat yang diucapkannya tiba-tiba oktafnya lepas bukan pada kunci G. Lebih senang melontarkan pujian daripada kritikan padahal dengan pujiannya Bu As mampu mencuri simpati lawannya bicaranya. Sikapnya yang luwes dalam memasang kuda-kuda usaha strategi hidup yang efektif, oleh karena aspek emotional intelligence [6] yang tinggi menjadi salah satu ciri kunci suksesnya.
Pak As lebih banyak mengalah, kesuksesan dan ketenarannya mencapai posisi terbaik dan disegani banyak orang adalah berkat kejelian Bu As menyiasati, memberi dukungan, tirakat dan doa restu. Tetapi Pak As sebenarnya adalah orang yang patut dikasihani, di bawah kendali Bu As karakternya nyata-nyata sangat pasif. Mungkin karena cintanya yang begitu besar pada Bu As, Pak As rela melepas haknya sebagai laki-laki, seorang suami termasuk haknya sebagai kepala rumah tangga. Kalau Bu As sudah angkat bicara, sanak saudara, kerabat, sahabat dan handai taulan hanya dapat menunduk dan tersenyum ragu. Apalagi putra-putrinya tidak seorangpun yang ingin menentang apalagi berkata jujur lagi benar. Karena kata-kata Bu As adalah pasal demi pasal dalam undang-undang yang harus ditaati. Bila tidak….wah bahaya! Subversif! Dan akan fatal akibatnya kalau sampai dicap anak tidak tahu diri, anak kurang ajar dan paling parah anak durhaka. Siapa yang tidak takut dikutuk oleh ibunya sendiri, bukankah surga terletak di telapak kaki ibu?
Sebagian orang saling memandang ketika kasih sayang, kepentingan dan tujuannya mulai tak jelas maknanya. Sinarnya benderang kemana-mana, sayapnya memiliki celah untuk berputar dan berkelit walaupun mahkotanya selalu jitu sasaran dan jeli meraih kesempatan. Menimbun banyak harta untuk kepentingan pribadi tetapi menyampaikannya dengan dalih untuk kepentingan masyarakat banyak. Investasi menggiurkan selalu dipromosikannya dalam berbagai kesempatan. Beberapa orang hanya mampu mengangkat bahu yang renta dan pasrah. Segelintir lagi hanya mampu sekadar menunduk, merasa memahami tapi tak mampu bicara. Bahkan yang lebih parah lagi banyak yang berdebat tanpa bunyi dan arti karena…tiba-tiba saja wabah bungkam merajalela Kabupaten Gampang Gantrungan.
Seorang dokter gigi mencoba berkolaborasi dengan ahli bedah mulut dalam keheningan, seluruh data dikumpulkan, dianalisa, hipotesa sementara menyatakan adanya virus pada lidah kebanyakan orang. Anti virus ditemukan, pengobatan diberikan. Gagal! Ramuan yang paling mutakhir disuapkan. Gagal lagi! Kali ini mereka bereksperimen dengan aneka macam resep tradisional. Gagal juga! Analisa ulang, kesalahan ditemukan mungkin adanya perseteruan fluoride [7] dengan abu gosok pada pasta gigi merek baru, mungkin juga kekeliruan hitungan pada kemiringan sudut sikat gigi, mungkin pula suspensi obat kumur bertabur tepung kanji yang tidak mampu membentuk antibodi bahkan semakin memperparah kadar bungkam. Mungkin…mungkin…dan mungkin…, wabah bungkam makin mengganas dan mulai menelan korban jiwa. Tim kolaborasi nyaris putus asa, faksimili detektif asing teman beradu akting Goerge Clooney-pun diterima, isinya ‘rest if you must, but don’t you quit!’ [8]. Giliran pemuda-pemuda gagah, tegap dan cerdik sekaliber Sherlock Holmes dibina. Mereka bekerjasama tanpa bersuara mirip adegan pantomim. Hasilnya lebih tidak memuaskan, banyak yang tidak kembali, sekadar menggelengkan kepala, berdecak kagum dan mengangkat bahunya yang kekar. Seorang paranormal on line dua puluh empat jam nekat mempertontonkan ajiannya. Akibatnya bisa ditebak, paranormal itu mati mengenaskan, matanya menyalak tajam, bibirnya terkatup sangat rapat seakan menahan serangan, rasa heran dan geram.
Kabupaten Gampang Gantrungan benar-benar mengalami masa yang paling menyedihkan. Semuanya tak lagi dapat dikendalikan, ingin bertanya tapi bungkam, berusaha menggerakkan bahasa tubuh malah dianggap pelecehan. Semuanya hanya mampu menduga-duga tapi tak mampu bertanya apalagi menyatakan kenyataan dan kejujuran.
Kini Peri Millenium yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul kembali di Kabupaten Gampang Gantrungan. Berbeda sekali dengan penampilannya saat masih menjadi Peri Millenium di Kademangan Sabrangan, walaupun tidak menor dandanannya tetap menunjukkan karisma yang luar biasa. Peri Millenium berjalan tenang menuju rumah besar dihadapannya. Beberapa orang memberanikan diri mengelus bodi kilap metalik kereta kencana milik sang peri. Bertahun-tahun yang lalu Peri Millenium masihlah sangat polos dan lugu mengantar ketentraman hati gundah gulana. Siapapun yang bertemu dengannya akan menatapnya berlama-lama, dan…tiba-tiba merasakan ketenangan batin yang luarrrr biasaaaa…dalam sanubari orang-orang yang penuh ketakutan. Tapi Peri Milenium yang dielu-elukan masyarakat Kademangan Sabrangan tiba-tiba lenyap tak berbekas, belakangan sang peripun kembali beraksi melebarkan kharismanya, meniti derajat, martabat dan harapannya sebagai sosok yang mulai merayap dan mampu membayangi kekuatan dan kepopuleran keluarga Pak As.
Peri Millenium telah mencapai pilar utama, diamatinya banyak orang yang telah berlalu lalang dan berkumpul disana. Sinyo Kampret seorang broker [9] nampak akrab bersama rekannya. Sinyo Kampret yang harus rela meninggalkan Kabupaten Gampang Gantrungan karena obsesinya dinilai menyesatkan banyak orang. Nampak pula Joka Joki, pemuda gagah yang tiba-tiba raib tak jelas keberadaannya dengan melarikan sejumlah perangkat eksperimental rahasia milik penguasa Kabupaten Gampang Gantrungan. Adapula DR. Kinyis Kinyis, seorang ilmuwan dengan sikap yang asertif [10] tapi sportif. Tak ketinggalan si bencong, Duhmimi yang sangat mengagumi self concept and self esteem theory [11] hanya sekadar aktualisasi diri demi mempertahankan gaya pribadi untuk diterima dalam setiap relasi sosial. Beberapa lagi asik berdiskusi, seperti ada yang mengkomando secara serentak pilar utama mulai penuh sesak bahkan satu dengan lainnya saling mendorong dan berusaha menerobos masuk pintu utama berlapis baja. Layaknya demo tanpa anggaran dana, mereka pun saling berteriak, bersahut-sahutan tiada henti. Melepas semua amarah seakan tak terkendali. Beruntung tak ada satu orangpun yang mengeram dan bertiwikrama [12] layaknya Sri Kresna yang tak mampu menahan amarahnya pada lakon Kresna Duta.
Sang peripun terbang lebih cepat melewati kepala banyak kerumunuan, buru-buru mengambil posisi terdepan dan berucap lantang. “Tenang…tenang….tenang…!”
“Saya ingin kalian semua bersabar, apakah benar keluarga ini telah melakukan korupsi?”
“Apakah dugaan kalian benar?”
“Apakah sudah ada yang mampu membuktikannya?”
Semuanya mengurangi gerakan dan keadaan berangsur angsur tenang.
Sayup-sayup terdengar merdunya suara Iwan Fals,
Sabar, sabar, sabar dan tunggu.
Itu jawaban yang kami terima.
Ternyata kita harus ke jalan,
Robohkan setan yang berdiri mengangkang.
“Kita berkumpul disini dengan tujuan yang sama. Jangan harapkan adanya tarian maupun upacara penyambutan”
“Sebaiknya mari kita segera meninggalkan tempat ini, kita tenangkan dulu pikiran dan perasaan…perasaan kita yang tak lagi perlu diuji”
“Tapi ingat, pengalaman yang sangat melelahkan selama ini sangatlah berharga dan akan mampu mengasah hati nurani kita dan menterjemahkan banyak kebijaksanaan….”
Suitan serta tepuk tangan dikumandangkan. Mereka paham maksud sang peri untuk tidak main hakim sendiri.
“Tak perlu lagi ada rasa gamang dan sungkan yang kita takutkan!”
“Sekali lagi tepuk tangan bergemuruh menyatu dengan suasana pilar utama”
“Kita patut prihatin dengan wabah bungkam yang diderita hampir seluruh masyarakat Kabupaten Gampang Gantrungan, tetapi kita wajib bersyukur karena wabah bungkam merajalela saat kita tidak berada disini”
“Bahkan…jangan sampai wabah bungkam menyerang kita!”
Tepuk tangan panjang berkumandang lagi.
Satu per satu telah meninggalkan rumah kokoh yang nyaris luluh lantak itu. Di balik kelambu ruang tamu, seseorang mengintip tak mengerti dengan tatapan matanya yang kosong. Di sudut sofa, seseorang meringkuk dengan rambut panjang tergerai, gemetar, rasa takutnya tak lagi rasional. Nampaknya pudar sudah harapan banyak orang yang ingin menawarkan sejumlah pengalaman, kebenaran dan kejujuran hati nurani mereka. Menagih janji-janji manis investasi di masa lalu. Mereka tak pernah tahu bahwa rumah kokoh yang memiliki sejumlah penangkal dan sangat sterilisasi itu juga tak mampu menghalau wabah bungkam. Hanya Peri Millenium yang tahu, tapi sang peripun tak hendak bicara apalagi mengungkapkan. Peri Millenium memilih bungkam untuk mengadili mereka. Bukankah ghibah adalah hal yang tak benar, sebaiknya menjaga lisan serta amalan perbuatan. Wabah bungkam itu telah merusak axon-axon di dalam sel-sel saraf keluarga besar Pak As, keluarga itu tak lagi mampu mengingat kembali pengalaman demi pengalaman hidup yang sudah mereka lewati dan telah mereka lakukan. Bahkan merekapun tak ingat lagi siapa mereka, dimana mereka dan untuk apa mereka hidup ini. Wabah bungkam yang ganas tak lagi sekedar menyerang sistem pengucapan dan kekebalan tubuh mereka….bahkan mampu menyortirnya menjadi kelompok manusia amnesia.
[ 1] niat kita
[ 2] orang yang menjaga anak-anak dan cucunya adalah orang yang unggul, sedangkan orang yang jahat, tidak akan sedikitpun memeperhatikan anak-anak dan cucunya
[ 3] cemerlang
[ 4] belahan jiwa
[ 5] mengobrol
[ 6] kecerdasan emosional
[ 7] mineral yang terjadi secara alami, membantu mencegah gigi berlubang
[ 8] istirahatlah jika itu harus, tetapi jangan pernah berhenti
[ 9] makelar
[10] kemampuan untuk menyampaikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain, dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain tanpa bermaksud menyerang orang lain
[11] teori konsep diri serta harga diri
[12] pengubahan diri menjadi raksasa (dalam cerita wayang)
Inspirasi: Swami dan Iwan Fals – Bongkar
Photo by Roth Melinda on Unsplash