Anakku Tersayang

Oleh: Azzura Syifa

“Ibu… Ibu…huhuhu…Ibu.. sakit Bu..” 

jerit balita berusia tiga tahunan itu memanggil-manggil namaku, sambil meringis kesakitan menutupi keningnya yang terluka hingga mengeluarkan cairan merah, darah segar terus mengalir dari keningnya…

“Iya sayang, Ibu ada disini Nak”

“Ah.. sudahlah pergi kau, jangan kau dekati anakku lagi.. kau bukan Ibu yang bertanggung jawab” lelaki kekar itu terus mendorong ku, menepis tanganku yang hendak meraih balitaku.

“Maafkan Ibu, Nak…” tenaga pria itu begitu kuat mendorongku keluar dari klinik, aku tersungkur bersama tanah.

Tuhan… begitu berat ujian hidup ku ini. Aku hanya ingin memeluknya, dia anakku anak tersayangku… tolonglah hamba-Mu ini Tuhan, aku tak berdaya tanpa pertolongan-Mu. Lirih hati ku berdoa

“hey.. kenapa kau masih disini? pergi jauh kau dari Bima anakku. Aku akan membawa Bima sekarang juga bersamaku ke Medan” Pria itu kembali mengancam Ku.

“Tolong jangan kau bawa Bima sekarang, kasian baru saja Bima tindakan operasi karena luka di keningnya. Hari ini juga Kau mau membawanya pergi dariku. Kau manusia atau iblis? Hah? tak punya hati kau jauhkan aku dari anakku sendiri.”

Hatiku sudah sangat geram padanya. Kembali bertemu dengannya hanya membuat ku luka semakin dalam.

Pria berkulit gelap dengan wajah murka itu pergi meninggalkanku seorang diri yang masih berkecamuk. Air mata terus mengalir deras tak dapat terbendung lagi, pikiranku sudah sangat kacau berantakan. Seolah seperti kehilangan akal seha da harus menerima kenyataan pahit ini, berpisah dengan anak semata wayang yang sangat aku sayangi.

Apalagi harus merelakannya untuk hidup bersama pria bajingan itu. Walaupun pria itu adalah darah dagingnya sendiri, tapi ia tak lebih hina dari iblis. Aku tahu persis, tujuannya membawa Bima dari ku. Ya, semata-mata untuk menjaga nama baiknya. Seolah Ia adalah pria bertanggung jawab. Membawa kembali Bima di bawah ketiak Ibunya. 

Pria itu hanya menjadi boneka hidup Ibunya. Kebencianku pada Pria bajingan itu semakin menjadi-jadi. Pria itu yang dulu sempat menaburkan bunga-bunga indah semu untukku. Setelah dua tahun lamanya aku hidup berdua bersama Bima setelah peristiwa menyesakkan itu hadir dalam hidupku. Aku berusaha menjalani takdir hidupku yang baru bersama kesayanganku, Bima. 

Sekarang, pria itu hadir kembali untuk merampas kebahagiaanku. Malam itu, aku terkulai di atas rerumputan hijau di temani suara jangkrik. Malam tanpa rembulan hanya terisa kelam. Sekelam hatiku yang membeku.

Lamat-lamat aku menatap Bima di balik rindang pohon rambutan, tak kuasa aku melepasnya, ia benar-benar pergi tanpa bayangan. Bima yang masih membeku tak sadarkan diri karena efek obat bius pasca operasi dirangkul lemas oleh Pria biadab itu. 

Aku semakin tersungkur menangis sejadi-jadinya. Dunia ku pergi, Ia telah pergi.. Tuhan masih kah aku dapat hidup tanpa duniaku. Sepanjang malam aku menangis di bawah pohon rambutan di depan taman klinik. 

Dari sebelah timur matahari pagi mulai menampakkan diri. matahari mulai keluar dari persembunyiannya. Aku terbangun dari mimpi buruk. Berharap semalam hanyanya menjadi mimpi buruk. 

Terdengar suara kerumunan gaduh, sebelum akhirnya ku berhasil membuka mata sembab setelah semalaman menghabiskan sisa sisa air mata kehampaan. Mereka seperti menyaksikan pertujukkan di arena sirkus. Mata-mata sinis menatap garang tertuju pada diriku yang hampir mirip seperti gelandangan. 

Tak kuasa ku berlari mengamburkan kerumunan orang-orang asing itu. Aku terus berlari sambil beteriak memanggil-manggil anakku “Biiimmaaa.. dimana kamu nak, Ibu sayang padamu, jangan pergi Bima…” isak tangis sepanjang perjalanan menembus hiruk pikuk keramaian Ibu Kota Jakarta. 

Lelah, aku tak lagi kuasa berlari. Sejenak aku beristirahat di sebuah bangunan Masjid tua. Terlihat sepi tak ada satupun jamaah, kubasahi wajahku dengan air wudhu, kutatap diriku pada cermin. Benar saja semua orang melihatku sinis, karena mereka pikir aku hanya orang gila atau gelandangan yang mengemis di pinggir jalan. Mata sembab, tak ada cahaya bersinar di mataku. Aku hanya melihat kehampaan.

Ku kuatkan diri mendirikan sholat dua rakaat, entah meskipun sudah lewat waktu subuh. Aku berharap dari sholatku ini, ada ketenangan. Usai mengucapkan salam di rakaat terakhir. Ada seorang Wanita paruh baya ternyata sudah menungguku sejak tadi. Wajahnya tersenyum padaku menghampiriku sambil mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum, Mbak” sapanya lembut. 

“Waalaikum’salam.wr.wb Bu” 

“Mbak tinggal dimana? Seperti baru kelihatan di sini”

“Iya buk, saya  kebetulan tadi lewat jadi sekalian ke masjid”

“oh… jauh juga ya mbak sampai ke sini Mbak nya mau kemana sekarang?”

Telisiknya mencari informasi pribadiku.

“emm.. anu.. bu, saya … tak kuasaku menjawab pertanyaan semudah itu” 

Aku hanya Kembali tertunduk pilu.

“Ibu terlihat sangat lelah, ini ada air teh hangat dan sedikit makanan ringan untuk mengganjal perut Ibu” wanita paruh baya itu menyodorkan ku secangkir teh hangat dan roti kasur berbentuk persegi tertulis varian rasa keju dan srikaya.

“Terima kasih banyak ibu, hanya Allah yang dapat mengganti semua kebaikan Ibu. Maafkan saya jika merepotkan Ibu”

“jangan bilang seperti itu bu, sesama muslim kita harus saling tolong-menolong bukan?” 

MasyaAllah.. terima kasih Tuhan, Kau telah mengirimkanku orang baik. Di tengah keputusasaanku. Ada secercah cahaya, untukku melanjutkan hidup. Setidaknya aku belum jadi mati konyol.

Sering berjalannya waktu, ku sambut niat baik dan kehangatan ibu melly. Ya akhirnya aku mengenalnya. Ibu melly merupakan ketua jamaah taklim masjid Baitus Salam. 

Aku di perkenankan tinggal di rumahnya yang kebetulan juga ia hanya sebatang kara. Aku bekerja membantunya merapikan rumah, memasak dan sedikit banyak di percaya membantu usaha bakery  di rumahnya. Aku di ajarkan untuk mengelola membuat  berbagai jenis roti manis.


Dua tahun berlalu, usaha bakery milik bu Melly berkembang pesat. Di sela-sela aku bekerja, aku selalu memandangi foto berukuran 3 X 4 wajah mungil nan lucu. Wajah yang tak pernah dapat ku lupakan. Usia nya mungkin kini sudah lima tahun, batinku bertanya-tanya apakah ia masih menginggatku? Apakah ia membenciku? Sesekali kukirimkan kue kesukaannya melalui jasa pengantar makanan cepat.

Kuselipkan doa terbaik untuknya, kerinduan semakin mendalam. Tak dapatku bendung lagi. Dua pekan lagi Ramadhan segera tiba, pesanan kue juga roti dan aneka pastry terus berdatangan penuh keberkahan.

Ramadhan pertama tanpa Bima di sampingku, di sebuah bangunan masjid tua aku bersimpuh meminta keadilan pada Tuhanku berharap ada keajaiban yang dapat mempertemukanku Kembali pada Bima malaikat kecilku. 

Usaiku rapikan mukena setelah sujud Panjang dan bemunajat pada Tuhan pemilik jiwa dengan tubuh lemas aku keluar menuju pintu keluar masjid. Kepalaku masih tertunduk kaku ke bawah, takku pedulikan hiruk pikuk di sekitar selasar masjid. 

“Ibu…” suara anak kecil memanggil ibunya, mirip suara Bima jika memanggilku dengan sebutan Ibu. Suara itu semakin mendekat, aku yang masih menunduk pilu tak memperdulikan dari mana asal suara itu datang.

Ku kenakan sendal sekenanya, mencoba melangkah menatap ke depan. Bismillah  desirku dalam hati berucap, semoga hatiku tetap kuat menjalani semua ujian ini. Seiring kakiku melangkah terdengar lirik menggetarkan hatiku.

Ikhlasku beri apapun untukmu

Anakku tersayang…

Dalam doaku, kusebut namamu..

Agar kau selalu dalam lindungan-Nya

Aku tulus… mengorbankan tetes keringat air mata…

Demi kamu, takku hitung

Kasih sayangku dari hati…

Tak ku sadari air mata yang terbendung tumpah tak tertahankan lagi. Aku terdiam dan tak sanggup melangkah. Kakiku tercekat, aku pasrah Tuhan. Dalam kepasrahanku, lamunanku terusik melihat lamat-lamat dari kejauhan seorang bocah laki-laki berlari menuju ke arahku. Sambil memanggil “Ibu…”

“Suara itu, itu suara Bima…” kupicingkan mataku menatap ke depan menuju arah bocah lima tahunan itu. Aku ikut berlari menuju bocah berkoko putih lengkap dengan peci berwarna senada. Ternyata dari arah berlawanan sebuah mini bus berkecepatan tinggi melaju kearah ku. Brakk…

Aku tak sadarkan diri…

“Biiimaaa….” Teriakku Bahagia 

Ku peluk erat, tubuh kecilnya. Itukah kau nak? Rasa tak percaya. Ia sungguh-sunguh Bima, malaikatku permata hatiku.

“Ibu… jangan sedih ya, Bima kangen banget sama Ibu”

“Iya sayang, Ibu gak sedih lagi kok sayang. Ibu sudah berdua lagi sama Bima. Bima jangan tinggalin Ibu ya”

“Bima akan bawa Ibu  ke suatu tempat yang indah, yuk kita ke sana bu”

Ajak Bima menggandengku sambil setengah berlari, ia menarikku erat. Tempat yang sangat indah, aku seolah berasa di atas langit aku benar benar merasakan ketenangan, keteduhan dan aku tak ingin pergi lagi dari tempat indah ini. Sebuah pintu besar terbuka, kami menuju tempat berwarna putih berkabut tipis. Sajian hidangan buah-buahan segar tertata rapi, beberapa penjaga mempersilahkan kami untuk menikmati hidangan istimewa tersebut. Hari dimana tak lagi ku rasakan kesedihan, kebahagiaan abadi bersama Bima selamanya di tempat ini.  Terima kasih anakku telah mengantarkanku pada kebahagiaan yang sesungguhnya. 


Sebuah catatan perjalanan cinta seorang Ibu pada anaknya hingga ke dalam Jannah.


Inspirasi: Kotak – Bundaku


Photo by Bethany Beck on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *