Oleh Iecha
“Cell, Tasha beneran pulang hari ini?” tanya Dimas, sambal menyuap makan siangnya.
“Bener. Kemaren dia berangkat dari Belanda,” sahutku.
“Wah, udah nggak jadi pejuang LDR lagi dong?”
“Lagian, kuat banget sih, empat tahun LDR.” seloroh Rangga.
“Langsung nikahin aja, biar nggak kabur-kaburan lagi.”
Ucapan Rangga dan Jeffry membuatku tak urung menyunggingkan senyum seraya mengiyakan. Harapanku pun seperti itu: Tasha kembali bukan hanya untuk menghapus jarak Jakarta—Amsterdam, melainkan juga jarak antara kami.
Tidak ada satu pun temanku yang tahu jika aku dan Tasha sebenarnya sudah tidak bersama. Kami resmi putus seiring lepas landasnya pesawat Tasha ke negeri Oranye itu. Alasannya? Tentu saja karena jarak. Katakan saja aku lemah, tapi kenyataannya memang seperti itu.
Kami pernah bersepakat bahwa tidak ada long distance dalam hubungan cinta. Pasti ada kekosongan dan kesepian sekalipun kami tetap bertukar kabar. Masa perkuliahan bukan sehari-dua hari. Entah aku atau Tasha yang akan selingkuh nanti, itu lebih menyakitkan dibanding putus baik-baik.
Aku masih ingat betul hari itu, saat dia mengabariku kalau dirinya diterima di University of Amsterdam. Wajah gembira Tasha berbanding terbalik dengan wajahku. Bagaimana tidak? Membayangkannya saja sudah terasa berat.
“Kakak nggak seneng?” tanya Tasha, waktu itu.
“Seneng, sih.”
“Kok pake ‘sih’?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Kenapa kamu nggak ambil di Undip atau UI aja, Sha?”
“University of Amsterdam masuk lima besar kampus terbaik jurnalistik, Kak.”
“Iya, tapi jarak Jakarta—Amsterdam nggak sedekat Jakarta—Semarang. Kamu mau kita—“ Aku tidak sanggup mengucap kata-kata selanjutnya.
Tasha menunduk dalam. Bibirnya berkali-kali mengucap maaf padaku. Bukan putus yang dia inginkan, melainkan dukunganku atas rencana belajarnya.
Aku bisa apa selain memeluknya erat. Mustahil aku menghalangi cita-citanya. Apalagi dengan surel penerimaan dari kampus yang terpampang jelas di layar laptopnya.
Hari itu, kami sepakat untuk meneruskan status sampai Tasha berangkat, kemudian segala tentang kami hanya kenangan. Tasha memintaku untuk mencari kebahagiaan dan tidak menunggunya. Aku hanya mengangguk tanpa keyakinan, dan nyatanya aku memang tidak sanggup.
Sebutlah aku bucin karena nyata-nyata masih berharap pada Tasha. Bukan salahku sepenuhnya, karena Tasha yang memulai lagi komunikasi denganku di hari pertama dia tiba di Amsterdam. Ponselku penuh oleh foto-foto yang dia kirim. Kami kembali bertukar cerita keseharian. Ah, dia juga tidak pernah lupa mengingatkanku untuk makan.
“Indoor atau outdoor?” seloroh Rangga.
“Apanya?” tanyaku bingung.
“Minta saran ke Krishna aja. Dia kan punya wedding organizer.”
Astaga! Teman-temanku berpikir sejauh itu? Aku saja masih harap-harap cemas, apakah Tasha masih berminat melanjutkan cinta yang belum selesai ini. Empat tahun di Belanda, apakah dia masih yang aku kenal?
Selama setahun kemarin, pesan-pesan singkatnya mulai berkurang. Aku tahu, dia pasti sibuk menyelesaikan tugas akhir. Aku pun dulu seperti itu. Hanya saja, kerinduanku benar-benar tidak mau kompromi. Susah payah aku menahan agar tidak mengganggu Tasha, tapi hasilnya nihil.
Ah, ingatkan aku untuk mengucap terima kasih yang tidak terhingga pada penemu teknologi, sebab penemuan mereka membuatku bisa menelepon Tasha tanpa butuh menguras banyak biaya, hanya menguras air mataku. Dia tidak pernah tahu jika aku merindukannya, dan mendengar suaranya saja sudah membuatku bahagia. Apakah akan seperti ini jika aku bertemu orang lain nanti? Aku tidak yakin.
“Kakak udah punya pacar lagi?” tanyanya.
“Belum. Kenapa?”
“Kakak harus ketemu orang baik. Aku nggak mau ya, kalau pacar Kakak orangnya nggak pedulian.”
“Hahaha, ada-ada aja kamu,” tawaku getir. “Kamu juga ya, harus ketemu orang baik.”
Dia hanya terkekeh, tidak merespon permintaanku. Diam-diam, aku berharap, orang baik itu aku. Jarak yang jauh membuatku punya kesempatan memperbaiki diri hingga Tasha hanya akan bertemu dengan versi terbaik dariku. Sekaligus, memantaskan diri untuk bisa di sampingnya sepanjang hayat.
“Lo nggak jemput?”
Pertanyaan Jeffry mngembalikanku pada kenyataan: berada di kantin bersama tiga teman, dengan piring kosong sisa makan masih berada di atas meja. Jeffry, Dimas, dan Rangga adalah teman SMA-ku. Kami hanya berpisah saat kuliah, lalu dipertemukan lagi di perusahaan yang sama. Takdir yang lucu. Namun, aku juga berharap jalanku dengan Tasha akan seperti itu.
“Budak korporat.”
Aku terkekeh getir, begitu juga teman-temanku. Tidak berlebihan jika julukan itu disematkan pada kami. Sejak bekerja di korporasi milik pebisnis andal negeri ini, kami belum pernah merasakan pulang kerja saat matahari masih bersinar. Terlebih, menjelang rapat tahunan untuk pemegang saham, pekerjaan seakan tidak ada habisnya. Aku cukup tahu diri untuk tidak mengajukan izin bolos demi menjemput Tasha.
Apa dia masih mencintaiku?
Pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku sejak Tasha mengajakku bertemu. Katanya, dia bawa oleh-oleh. Sejujurnya, aku tidak pernah terpikir oleh-oleh apa yang dibawa Tasha. Apa kaus dan gantungan kunci bergambar kincir angin? Bolehkah aku berharap oleh-oleh itu adalah dirinya?
Sabtu, pukul lima sore, aku berdiri di antara orang-orang pacaran di dermaga Ancol. Langit sore ini cerah. Banyak pasangan yang mengabadikan kebersamaan mereka dengan latar matahari bulat berwarna oranye. Aku masih setia menunggu bidadariku, dengan senyum yang sesekali merekah meski jantungku ribut tidak karuan.
Kalau dipikir-pikir, hubunganku dengan Tasha lucu juga. Kami bertemu di UKS saat aku mengantar teman sekelasnya yang pingsan. Dia sudah ada di dalam—sudah pingsan duluan dan sudah sadar—lalu memintaku menemaninya. Hari itu, hari pertamanya di SMA. Upacara penyambutan memang tidak pernah tidak memakan korban pingsan.
Tasha kelas sepuluh dan aku kelas dua belas. Selama setahun kami menjalin hubungan sebagai teman akrab, dua tahun sebagai pacar, dan empat tahun sebagai … mantan? Ah, tidak, tidak. Sepertinya kata ‘teman’ lebih tepat. Kami memulainya dari pertemanan, dan sekarang kembali lagi menjadi teman.
Jadi, saat ini, aku sedang menunggu temanku yang baru pulang dari Belanda, berharap dia membawa oleh-oleh cinta, lalu kami akan menjadi teman selamanya: teman hidup.
Apa dia masih mencintaiku?
Pertanyaan itu muncul lagi, mengobrak-abrik hatiku yang masih ribut. Cemas dan harap silih berganti menguasai pikiran. Detak jam terasa jauh lebih panjang saat menunggu dengan perasaan tidak menentu. Aku membalik badan, menatap laut Jawa dengan kapal-kapal kecil di atasnya, berharap gundahku hilang.
“Kak Marcello?”
Seketika aku menoleh. Bibirku tertarik, membentuk lengkung senyuman. Dia di depanku! Tasha benar-benar ada di depanku, merentangkan tangan, memintaku membawanya dalam pelukan. Tanpa berpikir dua kali, aku kabulkan permintaannya.
Di sini kami sekarang, menikmati olahan seafood dan semilir angin jelang malam di sisi utara Jakarta. Perbincangan kami hanya seputar hari-hari: hari-hari Tasha di Belanda, dan hari-hariku sebagai budak korporat. Sesekali kami tertawa bersama saat pengalaman itu terasa lucu.
Dia masih Tasha yang aku cintai dulu, hanya saja sekarang lebih dewasa. Sepanjang perbincangan, aku belum mendengarnya merengek, seperti yang biasa dia lakukan dulu. Wajahnya pun terlihat lebih cantik dibanding bocah baru lulus SMA yang aku lepas di bandara dulu.
Apa dia masih mencintaiku?
Haruskah aku menanyakannya sekarang? Di pertemuan pertama kami setelah empat tahun hanya bertatapan dengan layar ponsel?
Aku tatap lagi wajah lembutnya yang kini berhias make up. Mata kami bertemu dan saling mengunci untuk beberapa jenak, sebelum sama-sama tertawa. Gundahku lenyap. Keyakinanku menguat, bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
“Sha,” Aku kuatkan hati untuk menanyakan pertanyaan pentingku. “masih ada cinta?”
Tasha tersenyum, pipinya jadi bulat menggemaskan. “Kakak nunggu aku?”
“Menurut kamu?”
“Kakak kan pernah berharap aku ketemu orang baik. Aku ketemu, Kak. Namanya Marcus.”
Apa katanya?
“Kakak benar. Aku nggak nyangka bisa jatuh cinta sama Marcus. Andai kita belum putus, pasti aku udah sangat nyakitin Kakak.” Tasha menjulurkan tangan kirinya ke hadapanku. “Kami udah tunangan di Belanda. Terima kasih ya, Kak.”
Tunggu! Bukan ini seharusnya! Aku berharap telingaku hanya mendengar ‘aku mencintaimu’ darinya. Kenapa dia tidak memberitahuku lebih awal sehingga aku bisa menyiapkan diri? Kenapa dia tidak memberitahuku agar aku tidak perlu menanggapi ajakannya bertemu hari ini?
“Aku sengaja baru kasih tahu Kakak hari ini, karena aku maunya kasih tahu langsung, bukan lewat telepon,” katanya, seolah paham pikiranku.
“Sekarang, Marcus mana? Dia nggak antar kamu?”
“Marcus masih di Belanda, urus surat kepindahan ke sini, sekaligus urus berkas buat nikah. Minggu depan baru sampai sini.”
“Nikah?” ulangku, tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Tasha mengangguk. “Kakak bisa datang, kan?”
“Kapan?” tanyaku, pura-pura antusias.
“Bulan depan. Nanti aku kirim undangannya ke rumah Kakak kalau udah jadi, atau kita bisa ketemu kayak gini lagi, bertiga sama Marcus.”
Aku mengangguk. Meski hatiku porak poranda, aku harus tetap terlihat baik-baik saja dan tersenyum mendengar cerita Tasha tentang lelaki pujaannya. Ya, Marcus, bukan Marcello.
“Kakak sama dia tuh sama, sama-sama baik banget. Aku jadi nangis lagi.”
Tanganku merengkuhnya, membawa Tasha mendekat. Lirih, aku bisikkan selamat di telinganya, berharap aku juga turut bahagia atas kebahagiaannya. Namun, aku tidak bisa berbohong kalau saat ini aku hancur.
Sha, kamu memang tidak pernah mengkhianatiku, tapi sakitnya kehilangan kamu itu sama saja. Bahagia, ya. Aku tidak bisa berharap apapun lagi, karena kita bukan lagi kita sejak empat tahun lalu. Hanya aku yang enggan beranjak dari kenangan saat kita masih bersama.
Inspirasinya dari:
Kyuhyun – 7 Years of Love
Photo by Patrick Pahlke on Unsplash