Peluklah Aku, Wahai Hati

Oleh : Winda Ariyanita

Jakarta, 28 April 2022

Hai, Lovely

Apa kabar hati? Tanpa bertanya lagi, harusnya aku sudah tahu. Harusnya aku sudah mengerti dengan segala yang tengah kau rasakan saat ini. Harusnya aku… lebih dari khatam memahami kondisimu. Wong surat ini kutujukan pada diri sendiri. Begitu kan pikirmu?

Tapi akuilah, hati, betapa banyak kejadian yang kita sangkal belakangan ini. Begitu riuh suara-suara sumbang itu berlalu-lalang di kepalamu-kepala kita. Suara-suara yang kau abaikan setiap hari. Suara-suara yang menurutmu lebih mengganggu daripada alarm, klakson mobil, sirene ambulance, atau rambu palang kereta api.

Penyangkalan itu lambat laun membuatmu keras. Semakin kesal karena ia tak mau pergi. Meski kau usir berulangkali, kau anggap ia mati, terkadang kau caci-maki, ia tetap eksis. Betapa benci kau dengan keberadaannya yang tak bergeser walau sesenti. Ingin rasanya kau bunuh ia dengan cara paling sadis yang bisa kau bayangkan. Andai iman tidak mengambil perannya, mungkin kau akan mengutuk keadaan. Aku tahu, kau telah melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Lalu kemudian beristighfar lagi dan lagi sebagai bentuk penyesalan.

Aku tak akan menyalahkanmu untuk hal itu. Namanya juga manusia. Iman kita seperti ombak. Kadang naik, seringkali turun. Keadaan berperan mengubahnya menjadi bentuk paripurna. Dengan syarat akal yang sehat, pikiran yang selalu tertuju pada-Nya, dirimu yang tenang dan ikhlas menerimanya.

Iya, kau harus tenang, meluaskan sabar. Satu kata yang mungkin sudah bosan kau dengar dari mulut orang lain, sehingga tak jarang kau bertanya “harus sesabar apa lagi aku?”. Pertanyaan yang menurutmu tak bisa kau temukan jawabannya. Kau pun kecewa. Memang hanya waktu yang bisa mengobatimu.

Aku tahu, kau orang yang keras terhadap diri sendiri. Hal itu kau lakukan agar tak cepat puas dengan pencapaian-pencapaian. Agar kau tak lantas jemawa lalu tak enggan mengenakan jubah-Nya. Agar kau tak lupa untuk tetap memijak dunia. Tapi kau harus tahu, dirimu juga butuh diberi sedikit penghargaan supaya ia tak murung dengan satu-dua kegagalan.

Kau tidak sepenuhnya buruk hanya karena gagal dan belum mendapatkan hasil. Kau hanya perlu bertahan lebih lama untuk melihat hasil jerih payahmu. Tak perlu membanding-bandingkan diri dengan orang lain seumuranmu yang sudah sukses. Setiap manusia punya waktu suksesnya masing-masing. Bukankah beberapa hal dalam hidupmu juga telah membaik dalam waktu sepuluh tahun ini?

Ada kesulitan orang lain yang kau mudahkan. Ada kekalutan orang lain yang kau tenangkan. Ada kegagalan orang lain yang kau maklumi. Ada juga kekhilafan orang lain yang kau maafkan. Itu bukti bahwa kau telah banyak memperoleh keberhasilan dibandingkan kegagalan. Maka janganlah kau terpuruk.

Kau juga harus tahu, bahwa Allah punya rencana terbaik dengan kondisimu saat ini. Yang dengan kau sadari itu, mudah-mudahan akan bertambah kuat keyakinanmu bahwa Dia tidak pernah mengecewakan hamba yang berdo’a, meminta, dan bergantung pada-Nya. Dia tak pernah ingkar janji. Tertulis abadi di dalam kitab suci Al-Qur’an yang kita imani. Lalu mengapa masih mendengarkan perkataan manusia yang rentan membuatmu rendah diri?

Sudahilah sedih dan gundahmu itu, wahai hati. Kau terlalu berharga untuk perasaan-perasaan yang bisa merusak diri. Biarkanlah ia mengalir dan menghilang bersama angin. Jika kau ingin jadikan ia sebagai cambuk penyemangat, bolehlah kau tulis ia di sebuah kertas dan kau pajang di kamarmu. Tapi ingatlah, ia ada hanya agar semangatmu tetap nyala. Bukan membuatmu takut lalu kembali berlindung di balik tempurungmu. Tidak. Jangan lakukan. Kau akan kesulitan jika harus memulainya dari awal lagi.

Tugasmu hanya harus istiqomah. Menjaga dirimu tetap dekat dengan-Nya. Menyerahkan segala impianmu pada-Nya, agar ia saja yang menentukan bagaimana akhir terbaiknya. Kau fokus saja berusaha tanpa membanding-bandingkan diri dengan orang lain dan tanpa mendengarkan suara-suara sumbang yang bisa membuatmu jatuh. Setuju kan?

Sekarang bolehkah aku meminta satu hal darimu? Peluklah aku, wahai hati. Dan jangan menjauh lagi.

Yang amat mencintaimu

Diriku


Photo by Michael Fenton on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *