Cerita Kepada Angin

Oleh Lia Nathalia

Wahai angin, aku angat merindukanmu saat sedang menulis surat ini, karena sedang mati angin. Ini terjadi karena kau tak sedang mampir seperti biasanya dengan lembut saat angin bertiup sepoi-sepoi.

Angin sepoi-sepoi yang selalu dengan baik hati menyampaikan pesan rindu pada mereka yang kurindu, saat jarak, ruang dan waktu menjadi pembatas pertemuan-pertemuan langsung maupun di dunia maya. Dan sebaliknya, kaupun dengan sukarela bersedia menjadi pengantar pesan rindu mereka yang merindu.

Hari-hari ini, kau kurasakan agak kurang bersahabat dalam lakumu. Tapi akupun dapat memahaminya karena kau bukan satu-satunya faktor penentu hujan angina. Masa ada peran matahari, gravitasi, awan yang mengumpulkan titik-titik air yang kadang mampu juga kau halau. Mungkin saat hujan angin terjadi, itu karena kau tak mampu menghalau awan karena sudah berubah menjadi nimbus.

Dalam keseharianku, sebenarnya aku lebih banyak berterima kasih padamu wahai angin. Kau adalah pelipur lara ketika hati merindu pada mereka yang tak mudah kutemui, aku dapat mengandalkanmu yang menemaniku, mendendangkan musik alam yang hanya dapat ditangkap kalbu dalam diam dan rasa yang lembut.

Wahai angin, terima kasih juga karena kerap kau memelukku dalam masa-masa pedih batin. Pelukan yang tak terlihat mata, namun terasa oleh sanubari yang pedih.

 Kau kerap menghiburku pula ketika membawa merdu lagu laut dan samudra dalam melodi yang melebihi karya Bach, Beethoven, Mozart sampai Chopin dan Handel. Atau melampau karya-karya lagu kekinian ala Dua Lipa atau Justin Bieber maupun BTS. Nyanyian ombak yang kerap kau kirim ke telingaku selalu membawa rasa damai di hati yang bahkan tak bisa kugambarkan dengan kata-kata, menenangkan, syahdu dan entah kata apa lagi yang dapat kugunakan untuk menggambarkannya, aku pun tak tahu karena rasanya diksiku terbatas.

Kau lah juga yang kerap menghapus butir-butir air yang tak jarang meluncur dengan deras dari kedua sudut mataku, yang kusembunyikan dari dunia. Terima kasih sudah menemaniku di hari-hari terbaik dan terendah di hidupku selama ini.

Kaulah yang terdekat selain sanubariku, pendengar terbaik degub jantungku. Kau saksi kemarahanku yang terburuk yang hanya dapat kulampiaskan pada diri sendiri ketika aku terpaksa harus menahan diri dan tak jarang harus menggenakan topeng kepura-puraan, bertentangan dengan kata hati.

Kau juga pendengar setia sumpah serapah yang keluar dari mulutku bahkan ketika mengutuki ketidakjelasan. 

Sudah lama juga aku ingin ungkapkan padamu wahai angin, terkadang aku marah padamu pada saat kau datang bersama hujan pada jam-jam aku harus bertemu para pesohor atau sekedar ingin memancing ketertarikan lawan jenis dalam dandanan neces bak putri keraton yang malu-malu, berpupur dan bergincu.

Ah sudahlah, akhirnya aku sadar, terkadang hal itu kau lakukan bukan karena kau cemburu, karena kau tak punya kecemburuan, melainkan menjadi penegas bahwa timing-nya belum pas atau belum waktunya sesuatu itu terjadi atau harus menjadi milikku.

Diantara begitu banyak jasamu, aku hanya meminta, melunaklah sedikit ketika kau berpapasan dengan nimbus, janganlah terlalu garang mengerang ketika kau hadir dalam hujan badai yang bisa memporakporandakan rumah-rumah, kebun-kebun petani dan mengalahkan tegarnya pohon-pohon tua berakar rapuh, atau bahkan menghantar banjir yang menyapu banyak tempat, meninggalkan sampah yang tak jarang disertai bau busuk dan lumpur bersenti-senti.

Lain dari itu, aku tak punya banyak permintaan padamu wahai angin. Kau adalah kesayangan dewa-dewa bahkan kesayangan Sang Pencipta. Bahkan aku pernah menemukan dari kitab-kitab bahwa Tuhan pun hadir ketika kau datang dalam rupa angina sepoi-sepoi.

Saat menulis surat ini, aku tiba-tiba merasakan hadirmu dalam angin malam yang sejuk saat hujan baru mulai reda.

Salam rindu selalu wahai angin

Photo by Marc Kleen on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *