Oleh Yulis Suryani Purwaningsih
Aku adalah anak pertama dari 4 bersaudara, adiknya semua laki-laki. Jadi aku satu-satunya perempuan. Memang berat berstatus anak paling besar. Aku harus bisa menjadi contoh bagi adik-adikku. Dari kecil ibu dan bapakku mengajarkan untuk hidup mandiri. Waktu itu aku masih SD kelas 4. Ibuku berjualan barang-barang pecah belah seperti piring, ember, dan keperluan alat-alat dapur. Walaupun waktu itu jumlah dagangannya belum banyak. Maklum modal ibu sama bapaku belum banyak. Aku pun sering membantu ibuku sepulang sekolah. Minimal membungkus barang dagangan yang sudah dibeli oleh langganan ibu. Sedangkan bapak waktu itu sebagai kepala desa di kampung. Kepala desa di kampung zaman dulu tidak digaji, pemerintah memberi bengkok, istilah di kampung. Bengkok adalah sawah dari pemerintah yang boleh diolah oleh orang menjabat kepala desa. Peristiwa ini sudah lama sekali sekitar 45 tahun yang lalu, sekitar tahun 1977.
Seiring berjalannya waktu akupun melanjutkan sekolah di SMPN 3 Karanganyar Kebumen, lulus tahun 1983, kemudian lanjut ke SMAN Gombong lulus tahun 1986. Karena rata-rata anak-anak seusiaku waktu itu setelah SMA mereka kuliah di Yogyakarta. Aku pun minta doa restu kepada bapak dan ibu supaya bisa diterima kuliah di Yogyakarta. Alhamdulillah aku diterima kuliah di Yogyakarta. Namun kuliah di swasta di Universitas yang terjangkau biayanya bagi bapak dan ibuku.
Selama sekolah dan kuliah tentunya banyak lika-liku yang aku alami. Terutama waktu kuliah. Aku harus pandai mengatur keuangan yang diberi oleh orang tuaku. Tiap hari masak dengan teman satu kamar. Nama teman satu kamarku Khamdiyah. Dia berasal dari Kroya, Colacap.
Karena kami tiap hari masak jadi agak berhemat. Uang yang dikasih orang tua bisa disisakan untuk beli buku. Beli bukupun cari yang murah. Kalau beli di toko buku Gramedia mahal menurutku. Mungkin kalau orangtuanya uangnya tebal tidak masalah. Aku, Khamdiyah dan teman-teman
kos rata-rata kalau beli buku yang disarankan dari dosen, belinya di Shooping Center. Bukunya sama hanya kertasnya buram. Bagi aku yang penting isinya. Shooping Center waktu itu dekat dengan Pasar Bringharjo, Malioboro.
Setelah lulus kuliah aku langsung menikah. Usiaku waktu itu 23 tahun. Ukuran orang kota aku nikah muda. Tapi kalau di kampung ya dianggap sudah tua. Rata-rata temanku yang di kampung nikah umur 18-20 tahun. Bahkan ada yang nikah umur 15 tahun karena keadaan ekonomi.
Setelah aku menikah, aku tinggal di Yogyakarta karena suamiku kerja di situ. Aku dan suamiku kos dekat dengan tempat kerja. Kosnya campur dengan anak-anak kuliah. Hanya aku yang sudah berkeluarga. Beruntung bapak kosnya mengizinkan walaupun hanya ngontrak 1 kamar. Selang 6 bulan adikku ikut kami. Jadi kami nambah 1 kamar. Otomatis kami ngontrak 2 kamar. Suamiku juga tumpuan keluarga, demikian juga aku. Jadi harus bisa membantu adik kami masing-masing.
Aku harus prihatin dan hati-hati dalam mengatur keuangan. Karena aku waktu itu baru lulus kuliah. Jadi belum dapat pekerjaan. Penghasilan bulanan hanya dari suamiku. Sementara pengeluarannya banyak. Setelah beberapa tahun, kami memutuskan berhijrah ke Irian. Kebetulan saya lulus CPNS dan ditempatkan di Manokwari, Irian (waktu itu namanya). Sekarang jadi ibu kota Provinsi Papua Barat. Setelah SK CPNS-ku keluar, aku takut merantau ke sana kalau hanya sendiri. Usia pernikahanku waktu itu menginjak tahun ke-5. Jadi aku udah punya anak 2, anak pertama perempuan usianya 3 tahun lebih, anak kedua masih bayi umur 1 tahun lebih. Alhamdulillah suamiku memberikan motivasi kepadaku, malah dia mau berkorban mengundurkan diri dari pekerjaan demi merantau denganku.
Tepat pertengahan tahun 1995 kami melangkahkan kaki menuju pulau impian. Kamipun naik kapal menuju ke Manokwari. Dermaga Tanjung Perak jadi saksi bisu kami awal merantau. Begitu berat untuk menuju ke sana. Namun harus aku jalani demi masa depanku sendiri maupun masa depan keluarga. Banyak pengalaman kami selama dalam perjalanan. Setelah kami masuk kapal kebetulan air laut masuk ke deck kami. Jadi barang-barang dinaikan ke tempat tidur kapal.
Pulau demi pulau kami lalui setelah dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Betapa bahagianya kami kalau lihat daratan. Karena baru pertama naik kapal jadi pusing. Sampailah sudah setelah 6 malam melalui samudra luas. Dengan suka dan duka aku lalui bersama keluarga.
Sujud syukur kami panjatkan kepada Allah SWT setelah sampai di tanah Papua. Suamiku begitu sampai di Pelabuhan Manokwari langsung sujud ke tanah yang dipijak, yang akan jadi ladang mengais rezeki nantinya.
Walaupun penuh rintangan dan hambatan
Namun aku tetap berjuang dan bertahan
Photo by Ashley Rich on Unsplash