Oleh : Nik Damayanti
Kubaca surat yang kutulis untuk diriku sendiri.
Halo, apa kabar? Kuharap dirimu selalu sehat dan bahagia. Sebelum kulanjutkan surat ini, aku ingin bertanya,”Siapakah kamu? Tolong jawab pertanyaanku ini, ya.
Aku termangu membacanya.
Siapakah aku? Pertanyaan yang sulit dan mengganggu pikiranku. Dalam renung gelisah, menunggu jawaban yang tepat, berbagai masukan saling bersahutan dalam hati. Kurang puas akan jawaban-jawaban di hatiku, akhirnya aku bercermin. Kutatap sosok di cermin dengan seksama.
Siapakah aku? Apakah aku sebutkan namaku, nama ibuku, dan nama bapakku? Sudah cukupkah itu menunjukkan jati diriku? Sepertinya tidak tepat. Bukankah itu hanya identitas?
Kembali kutatap sosok di cermin, kemudian merenung.
Siapakah aku? Bisikan dalam hati mengatakan,”Ceritakan saja siapa dirimu.”
O iya, aku ceritakan saja namaku, tanggal lahir, pendidikan, dan pekerjaan. Seperti halnya daftar riwayat hidup untuk melamar pekerjaan atau seperti bionarasi di bawah naskah cerpen. Ah … itu bukan sesuatu yang hakiki tentang diriku.
Kembali ada bisikan dalam hati. “Kenapa dibuat repot, sih? Jawab saja sesuai keinginanmu, tidak usah bingung.”
Cukup lega aku dengan saran itu. Mulai lancar menceritakan tentang diriku, masa kecil sampai dengan dewasa, bahkan sampai saat ini. Tanpa terasa sudah hampir satu halaman aku memperkenalkan diri. Di akhir surat aku tulis titimangsa dan siap kulipat untuk segera kukirim. Namun, bukankah surat itu kukirim untuk diriku sendiri?
Kembali aku merenung akan jawaban atas pertanyaan ‘siapa aku’. Di depan cermin kutatap lagi bayanganku, tampak wajah asliku. Inikah diri itu? Aku manusia biasa, tetapi kamu istimewa. Aku melakukan banyak kesalahan, tetapi kamu lebih baik daripada yang lain. Aku seringkali tidak peduli, tetapi kamu selalu sadar diri. Aku banyak merepotkan orang, tetapi kamu banyak membantu orang lain. Menerjemahkan rasa ke dalam kata memang tidak sesederhana membunyikan pikiran ke dalam suara.
Perdebatan antara Si Rendah Hati dan Si Sombong tiada henti dalam hati. Aku harus segera menghentikan ini. Kutenangkan diri, kutenteramkan hati. Berbagai peristiwa yang pernah kualami terputar secara otomatis. Tangis dan tawa begitu juga luka dan bahagia. Semua memang ada waktunya dan kita tidak perlu memaksakan kalau belum waktunya. Pengalaman itu akan menghidupkan keindahan, kebaikan maupun kebenaran yang menuntun perjalanan hidup.
Saat hati bersih, perkataan yang bijak keluar dari mulut yang akan menenteramkan hati orang yang mendengar. Namun, di saat setitik noda mengotori hati, perkataan yang keluar akan membuat orang terluka mendengarnya. Berarti tugasku adalah menjaga kebersihan hati sehingga tidak ada sedikitpun noda yang mengotori. Di saat terlena tentu akan timbul noda, aku harus segera membersihkan kembali. Untuk itu semua kubutuh cahaya. Aku harus menguatkan mata, menajamkan akal dan membersihkan hati, maka cahaya akan hadir kembali. Karena sebenarnya, cahaya tak akan ke mana, selain berputar mengelilingi jiwa.
Aku hanyalah manusia biasa, yang pernah khilaf sehingga tidak pantas jumawa. Berdiri setara dengan berjuta manusia yang lain. Tidak boleh merasa lebih maupun kurang. Saat merasa lebih tinggi maka petir akan menyambar dan saat terlalu rendah diri maka banjir akan menenggelamkan. Karena pada hakikatnya diri ini adalah tiada. Namun, kasih-Nya membuat kita ada. Itupun sementara.
Aku puas dengan semua yang kuungkapkan. Jawaban atas pertanyaan ‘siapa aku’ tidak lagi mengganggu pikiranku. Aku sudah lega dan rida dengan hidupku. Semoga aku bisa merasakan rida Allah yang tak terukur rahmanrahim-Nya.
Sidoarjo, 25/04/2022
Nik Damayanti
Photo by Emily Morter on Unsplash