Oleh : Muhammad Abdul Hakim Faqih
Jakarta, 25 April 2022
Hai Faqih,
Tak terasa akhir Bulan Ramadhan 1443 H telah di depan mata. Hari-hari yang kau renungi, kini tampak dengan beragam frasa. Rasa syukur dan kecewa atau merasa hina. Sebab tak ada amal yang amat sempurna.
Meniti perjalanan kehidupan akhir-akhir ini membuatmu termenung. Meski terkadang kau seolah lupa jalan menuju pulang. Tentang alam kekal yang hanya cukup berbekal amal, bukan uang yang kau simpan di saku belakang.
Kau mungkin telah menghabiskan waktu Ramadhan dengan sia-sia. Terlepas dari amal puasa yang kau kerjakan setiap harinya. Tapi apa daya, Tuhanmu berkata, “Puasa adalah milikku dan tiap amalnya aku akan memberikan ke tiap hamba dengan perhitungan yang berbeda,”
Ramadhan pun tak hanya sekadar memaknai dalam satu bulan belaka. Ada waktu-waktu lain yang dipertaruhkan. Esa dalam makna kisah dan kesah atau sekadar rasa syukur yang diharapkan luar biasa. Sehingga dapat menjadi bekal di bulan-bulan selanjutnya.
Ingatkah kau? Ketika ibumu berkata dalam ujung suaranya. Ketika ia meminta diberikan uang untuk membeli rendang atau kue beserta adonanya. Kau hanya berkata, “Tunggu Bu, uang belum cukup. Bisakah hanya rasa syukur yang menutup.” Tapi ibumu masih tetap berharap di ujung suaranya. Masih mengharap, anak sulungnya pulang dengan berbekal modal.
Kaupun berjanji di dalam dada, akan memberikannya uang. Sebagai modal untuk rasa syukur sebagai seorang anak. Meski dengan segala kurang di dalam benak. Tapi kau adalah anak dari seorang perempuan.
Ingatkah kau pula dengan tukang sampah di ujung Jalan Keselamatan. Sosok yang tertatih mengeruk sampah yang bergenang. Bau dan basah tercampur dalam aroma yang selalu terkenang.
Dalam benak yang tak terkuak, kau merasa ingin memberinya kado di akhir Ramadhan. Meski begitu, bisa kah kau memberinya hadiah yang dapat dikenang. Atau hanya sekadar janji yang makin tertumpuk dalam lembar-lembar catatan.
Semua janji-janji atau keinginan itu makin menggunung rasanya. Janji kepada ibu. Janji kepada tukang sampah di ujung Jalan Keselamatan. Termasuk janji kepada Ramadhan tahun ini. Namun, kau hanya bisa merenung dan menyesal. Meski masih ada 10 hari terakhirnya.
Apa kau bisa menebus hutang-hutang janjimu tersebut? Termasuk di dalamnya mengenai amal yang diharapkan bisa membentuk diri di luar bulan Ramadhan. Bukan hanya sekadar amal pada ibu dan tukang sampah itu. Ini soal rasa dalam beramal yang perlu dipatri dengan rasa. Sekaligus menambahkan esensi dalam tiap gerak dan rapal doa.
Kau dengan segala dimensi dosa terpaut akan waktu-waktu yang mulai binasa. Merenung tiap langkah dan juga nada yang keluar dari rongga tenggorokan. Masih saja kau merenung dan bersedih akan dosa-dosa yang sama. Bahkan sampai hari ini, saat kau sedang menuliskan perenungan yang tak tahu lagi artinya. Hanya sekadar tugas atau memang perenungan sejati.
Kita adalah bagian dari segala bentuk dosa dan amal. Kau menjadikannya pelajaran atau hanya sekadar kenangan di lintasan waktu. Lintasan yang menjadikan kita hanya menjadi bagian dari asing dalam tindakan. Menjadikan kita hanya sekadar terkenang dan terlupakan. Meski sekali lagi, kau terus berulang dalam perenungan dan dosa yang sama.
10 hari terakhir kian melaju. Kau hanya perlu melangkah atau terdiam dalam renungan tiada arti. Menyendiri dan menari dalam dosa-dosa yang terus kau renungi. Sambil terus mempertanyakan hal yang sama. Apa aku bisa berubah? Atau apa aku bisa menepati janji-jani yang kian menumpuk? Atau apa aku bisa menjadi lebih baik dari waktu-waktu yang berdetak.
Salam Sayang,
Muhammad Abdul Hakim Faqih
Photo by Matthew Henry on Unsplash