Teruntuk Ibu Pertiwi

Oleh : Winda Ariyanita

Jakarta, 22 April 2022

Teruntuk, ibu pertiwi

Salam takzim, wahai ibu pertiwi. Sebelum mengungkapkan isi hati, izinkan aku menyanyikan sebuah lagu tentangmu.

Kulihat ibu pertiwi

Sedang bersusah hati

Air matanya berlinang

Emas, intannya terkenang

Hutan, gunung, sawah, lautan

Simpanan kekayaan

Kini ibu sedang lara

Merintih dan berdoa

Apa kabar negeriku? Masihkah engkau berduka dengan dua ratus putra-putri bangsa? Kami di sini juga masih berjuang untuk hidup. Supaya engkau dapat tersenyum bahagia, bangga dan mampu berdiri dengan kaki sendiri tanpa campur tangan negeri lain yang menawarkan uluran tangan, namun memiliki niat terselubung nan mematikan.

Duhai ibu pertiwi, hampir 77 tahun kita diakui sebagai negeri merdeka, namun mengapa masih saja kita bergantung pada negeri lain? Apakah kemerdekaan yang kita dapatkan ini hanya tempelan belaka? Apakah bangsa kita sebegitu lemahnya? Ataukah karena banyaknya penduduk kita yang begitu takut tidak bisa makan esok hari jika menentang dunia?

Ini kenyataannya, duhai negeriku. Kita yang dahulu dikenal sebagai negeri agraris, sebagai macan Asia, saat ini bahkan seringkali mengimpor sembilan bahan pokok dari negeri lain. Kita negeri penghasil sawit terbesar, namun harga minyak sawit begitu mencekik berbagai kalangan masyarakat. Kita negeri kepulauan, bahkan pernah mengimpor garam demi masakan di meja makan kita tidak hambar. Kebun teh kita mampu menghasilkan kualitas terbaiknya, tapi sebagian besar rakyat kita hanya mampu menikmati rasa teh kualitas ketiga. Apakah ini yang disebut merdeka, wahai ibu pertiwiku?

Lalu bagaimana seharusnya perwujudan dari kata merdeka itu? 

Katanya, negeri kita sangat dihormati oleh negara-negara lain di dunia karena memiliki Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Tapi tahukah engkau? Beberapa masyarakat kita bahkan ada yang menginginkan Pancasila itu diubah menjadi Trisila. Yang sangat disayangkannya lagi, ungkapan itu datang dari elit poliitik yang pernah berkuasa. 

Duhai negeri, masih lekat di ingatanku cerita tentang Munir, seorang aktivis HAM yang meninggal di pesawat karena memperjuangkan hak rakyat. Dari peristiwa itu, ditambah tragedi Mei 1998, kupikir kebebasan berpendapat sudah mutlak dan dilindungi oleh Undang-Undang. Akan tetapi, hal itu sepertinya hanyalah ilusi. Lambat laun, sentimen terhadap pendapat yang berbeda dengan pemerintah terus dicecar dan disudutkan. Dianggap tidak nasionalis dan sebuah sikap separatis. Dianggap sebagai usaha memecah belah bangsa. Sedangkan para ulama kita, sang penerus perjuangan dakwah nabi banyak yang dikriminalisasi.

Aku tidak bercanda. Beberapa tahun belakangan ini, muncul banyak ulama berkualitas yang mampu membimbing ummat untuk berhijrah, beralih dari jalan yang gelap menuju cahaya Islam. Namun seakan tak mau kalah, dalam pesatnya pertumbuhan sisi kebaikan, keburukan pun juga mulai terang-terangan menunjukan taringnya. Beberapa kali masyarakat dipertontonkan kasus ulama dijebloskan ke dalam jeruji besi. Seolah dengan begitu, mereka yang membawakan kalimat-kalimat Allah tengah dinistakan. Salah satunya bahkan ada yang meninggal dunia karena memperjuangkan kebenaran. Bukankah cerita ini sangat miris? Kita, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, justru sangar menghadapi para guru dalam menuntut ilmu. Beberapa waktu lalu bahkan beredar daftar ulama yang disebut radikal, padahal kajiannya sarat dengan nasionalisme.

Entahlah, duhai ibu pertiwi. Aku pun tak habis pikir dengan semua ini. Seluruh cerita seperti mimpi buruk yang tak habis-habis. Kebohongan dan kebenaran seperti dibolak-balik. Dan bara kebencian itu, seperti ada yang menyemai dan merawatnya dari waktu ke waktu. Memikirkan hal itu, rasanya aku ingin menangis bersamamu, dipangkuanmu. Bolehkah aku?

Inilah sebagian isi hatiku. Jika esok kau tak melihatku beredar sebagai mana mestinya, kuharap kau bisa menolongku terlepas dari jerat kriminalisasi karena dianggap sebagai masyarakat yang berbeda pendapat. Tolong cari aku. Tolong perjuangkan aku.

Si rakyat jelata

Winda.


Photo by Khadim Fall on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *